Beberapa waktu lalu saya ditugasi mengantar satu kelas mahasiswa Internasional untuk menjalankan short course di Malaysia. Teman-teman terdekat saya bisa menebak bahwa saya gundah. Saya bukan orang yang senang dengan perjalanan. Walaupun pernah studi di Australia, namun harus diakui, naik pesawat saja saya mudah mabuk.
Sampai tibalah hari perjalanan itu. Saya telah siapkan semua; satu strip tablet antimo, sebuah topi hitam, dan jaket tebal untuk di pesawat. Saya mencoba tenang meski was-was sepanjang perjalanan. Bagaimana jika nanti masuk angin, pusing, atau sulit tidur. Pasti tersiksa!
Sebab itu sudah saya siapkan satu video berdurasi 1.5 jam konser Tulus. Akan saya putar berulang sampai mendarat di Kuala Lumpur International Airport. Headset nirkabel khusus dengan suara bass kuat dan anti-noice cancellation juga melingkupi telinga. Saya kira, semua masalah ketika mengudara sudah terantisipasi.
Semua baik-baik saja sampai guncangan pesawat mengusik dan menyadarkan saya dari lagu ‘Monokrom’. Awalnya goyangan kecil yang pelan dan sebentar, lambat laun bertambah menjadi keras dan lama. Gemuruh di dalam kabin terasa menakutkan. ‘Tunggg’, bunyi microphone Pilot,’Pesawat sedang melewati cuaca yang buruk. Harap tetap sedia di tempat duduk dan mengencangkan sabuk pengaman’.
Doa dan Taubat Menjelang Maut
Saya ingat dalam suatu dokumenter dijelaskan bahwa di hampir semua skenario, kecelakaan udara akan menghancurkan tubuh penumpang. Cara untuk mengenali ‘sisa-sisa’ korban yang terbaik adalah dengan nomor kursi itu. Artinya, anjuran Pilot untuk merapatkan sabuk pengaman bukan tanda keselamatan, tapi keputusasaan. Paniklah saya!
Komat-kamit saya ucapkan istighar sembari membayangkan dosa-dosa yang lalu. Mokel air wudhu waktu kelas lima SD selepas main bola siang hari. Lalu bolos tarawih untuk bermain tamagochi ramai-ramai di pos kamling depan rumah Mbah Sunari. Belum lagi memasukkan kodok ke sepatu Yeni yang buat dia trauma masuk sekolah berhari-hari. Duh, neraka pasti.
Sial, goncangan pesawat tidak juga berhenti. Malah kian kencang dan keras. Hati saya memanjatkan doa cepat-cepat. ‘Ya Allah, saya bersumpah jika selamat aku akan makin rajin ibadah. Kutambahkan sholat malam, kulewatkan makan-minum tiap senin-selasa, serta kuperlama dzikir. Aku berjanji Ya Allah, maka ku mohon selamatkan aku. Ya, aku saja, yang lain tidak usah’
Tiba-tiba goncangan itu menghilang. Kaca jendela menampilkan langit biru cerah. Awan pekat sebelumnya telah sirna. Lampu tanda lepas sabuk pengaman berubah hijau. Suara Tulus yang merdu kembali merasuk ke dalam telinga,”Lembar monokrom hitam putih…”
Kelalaian Manusia yang Berulang-Ulang
Begitu melemparkan tubuh di ranjang kamar suites, saya terngiang pengalaman di pesawat tadi. Bukan pertama kali kondisi yang mendesak membuat kita begitu ingat Allah, mengemis memohon bantuannya, untuk kemudian kita abaikan setelah masalah itu berlalu.
Menyebutnya bisa jadi daftar yang panjang. Yang sifatnya akademik mungkin paling mudah dikenang. Waktu ujian kelulusan di SD, SMP dan SMA. Saat menunggu pengumuman kelulusan masuk kampus negeri. Saat sedang ujian skripsi. Sampai seperti saat nyawa sedang terancam, entah ketika melayang di udara dengan kilatan halilintar menyambar atau mengapung di lautan dengan ombak besar menghadang.
Dalam setiap kondisi itu kita seperti tiba-tiba dekat dengan Allah. Mencari-cari diri-Nya dalam doa. Berjanji, bernadzar bermacam-macam. Yang akhirnya tidak sungguh-sungguh kita lakukan. Seperti peringatan banyak sufi, demikian watak manusia yang senantiasa lalai.
Al-Qur’an tidak ketinggalan mengonfirmasi sifat buruk manusia itu dalam Surah Yunus [10] ayat ke 22-23,”……’Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur’. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar….”
Menghancurkan Kebiasaan Merusak
Pada satu sisi, berbagai kondisi di atas menyadarkan kita bahwa keyakinan agama merupakan sesuatu yang secara intuitif begitu nyata. Manusia dapat mengingat eksistensi Tuhan yang Maha Besar karena pengetahuan dan kesadaran itu sudah tertanam dalam sanubari. Hanya saja, kesibukan duniawi-pribadi yang remeh-temeh membuat kita lalai.
Banyak dari kita yang terjebak dalam berbagai pikiran dan perilaku buruk, baru berpikir untuk berubah ketika terdesak. Kita sering berpikir bahwa hidup kita masing panjang dan segalanya akan baik-baik saja. Bahwa selalu ada waktu untuk bertaubat, selalu ada kesempatan untuk menjadi diri yang lebih baik. Bahwa kematian bisa kita duga datangnya.
Seorang Sufi bernama Jamal Rahman mengingatkan yang sebaliknya. Ketimbang di udara, ada jauh lebih banyak ancaman bagi kehidupan kita saat di darat. Artinya, kematian dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Kematian bukan sesuatu yang bisa kita atur. Buktinya, korban jiwa kecelakaan di darat ratusan kali lebih banyak ketimbang kematian oleh kecelakaan pesawat.
Dengan menyadari bahwa maut begitu dekat, kata Imam Jamal, maka kita akan jauh lebih disiplin dalam menjalani laku perubahan diri. Malah, kita akan menjadikan proyek perbaikan diri sebagai prioritas di atas berbagai kepentingan lain: ekonomi, studi, hingga sosial. Sebab kita tahu bahwa dengan memperbaiki diri, kita turut memperbaiki aspek-aspek kehidupan lainnya itu.