Perspektif

Manusia Digital (1): Benarkah Semakin Individualistik?

4 Mins read

Manusia dengan segala potensi dan keunikannya terus mengalami dan berada dalam sebuah kondisi yang disebut “perubahan”. Perubahan adalah sebuah keniscayaan atau kepastian yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia.

Manusia, kini memasuki sebuah era yang bisa disebut era digital, era revolusi industri 4.0 atau bisa disebut peradaban digital. Disebut era digital karena pada dasarnya, hari ini manusia identik dengan instrumen teknologi digital dalam melakoni dinamika kehidupannya.

Manusia setiap hari dalam mewujudkan efektifitas dan efesiensi kerja dan interaksinya dengan sesama, tidak terlepas dari bantuan perangkat teknologi digital. Bahkan untuk memenuhi ketenangan dan kesenangann hidupnya, manusia menjadikan teknologi digital sebagai alternatif utama.

Teknologi digital terus berkembang bahkan perkembangan inilah yang mengantarkan manusia sampai pada revolusi industri. 4.0. Revolusi industri 4.0 telah membangun pilar-pilarnya yang luar biasa antara lain: robot cerdas, artificial intelligent (kecerdasan buatan), Internet of Things (IoT), Big Data dan Cloud Computing.

Perubahan dan kemajuan kolosal teknologi digital ini, seakan tidak lagi tunduk dalam kehendak dan pengaruh manusia. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Manusia berada dalam kendali dan pengaruh perkembangan teknologi digital.

Bentuk Perangkat Digital

Smartphone sebagai salah satu bentuk perangkat teknologi digital, bukan lagi merupakan barang mewah. Bahkan tanpa batasan klasifikasi usia dan strata sosial, teknologi ini telah dimiliki oleh hampir seluruh manusia. Jika dulu ada sejenis aksioma “hidup tanpa cinta bagaikan malam tak berbintang”. Hari ini dan itu lebih terasa khususnya generasi millennial “hidup tanpa smartphone bagaikan hidup di tengah kegelapan”.

Smartphone dan media sosial–sebagai salah satu entitas era digital atau produk revolusi industri 4.0–kini berada dalam genggaman hampir semua orang. Apa yang berada dalam genggaman ini mempengaruhi pandangan, sikap, pemikiran dan perilaku manusia dalam berinteraksi dan merespon realitas. Pengaruhnya ada yang positif dan tidak sedikit bersifat negatif.

Baca Juga  Manusia Digital (2): Bisakah Menundukkan Teknologi?

Sahrul Mauludi dalam buku karyanya Socrates Café (2018) mengutip dari Jones & Hafner (2012) bahwa “media sebagai kepanjangan dari manusia manusia telah memberikan banyak pengaruh dan perubahan yang mendalam. Media mempengaruhi apa yang kita lakukan (doing), bagaimana kita memaknai sesuatu (meaning), bagaimana kita berhubungan (relating), bagaimana kita berpikir (thinking), dan bagaimana kita menjadi (being)

Ketika dinamika multidimensional manusia mengarah pada atau identik dengan peran teknologi digital. Secara sederhana ini bisa disebut sebagai peradaban digital. Heri CS dan termasuk Suryatin Setiawan melalui tulisannya di kompas.id bisa disimpulkan bahwa tahun 2020 adalah awal daripada peradaban digital. Meksipun saya sendiri berkesimpulan bahwa beberapa tahun sebelumnya, sesungguhnya kita sudah berada dalam peradaban digital.

Dalam peradaban digital ada banyak hal positif yang bisa dirasakan oleh manusia. Terutama kemudahan mengakses informasi, memberikan kemudahan dalam bekerja dan terjadi koneksi atau relasi kehidupan manusia yang lebih dekat.

Ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Sehingga untuk urusan apapun yang bersifat profan bisa dilakukan hanya dengan berdiam diri di rumah. Kelas rebahan pun kini punya peluang sukses membangun “bisnis raksasa”-nya.

Di antara hal positif sebagai dampak daripada peradaban digital, ada pula hal negatif yang menjadi spektrum peradaban digital.

Information Overload

Sebagaimana Jones & Hafner dalam Sahrul Mauludi (2018) bahwa teknologi digital telah memunculkan fenomena yang disebut information overload (kelebihan informasi).

Information overload ini adalah sebuah kondisi yang dicirikan dengan meningkatnya level stress, kebingungan dan kesulitan dalam membuat keputusan. Biasanya yang diakibatkan karena terlalu banyaknya informasi.

Terkait ini, contoh kongkret yang bisa saksikan dalam realitas sosial hari ini. Di tengah pandemi Covid-19 banyak masyarakat yang bingung menyikapinya, karena terlalu banyak informasi bahkan informasi yang saling menegasikan dan kontroversi.

Baca Juga  Bulan Suci di Tengah Pandemi

Dalam peradaban digital, kehidupan manusia mengalami transformasi dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Sederhananya bisa dipahami bahwa kehidupan ekspansif itu adalah ketika seseorang mendapatkan sebuah informasi maka mereka melakukan upaya menelesuri sumber informasinya.

Berusaha mencari lokasi kejadian, mengklarifikasi dan mengkonfirmasi kebenarannya kepada sumber yang dinilai otoritatif, valid dan terpercaya. Berbeda dengan kehidupan Inersia, cenderung tidak melalukan apa yang disebut tabayyun.

Peradaban digital, dimana manusia lebih sering bermesraan dengan perangkat digital, berselancar di dunia maya. Sehingga relasi psikologis, hubungan kemanusiaan mengalami reduksi dan bahkan bisa sampai mereduksi tingkat empati dan kohesivitas sosial. Bahkan oleh Prof. Syafig G. Mughni, orientasi manusia terhadap teknologi salah satunya yang menyebabkan krisis spiritualitas.

Manusia Semakin Individualistik

Kecendrungan manusia era sekarang terhadap teknologi digitas, dunia virtual yang memantik manusia menjadi semakin individualistik dan narsistik. Baudriliard yang dikutip oleh Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia Yang Dilipat (2011) guna melihat tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat.

Tiga tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat menurut Baudriliard; Pertama, tahap alamiah (nilai guna), segala sesuatu bercermin dari alam, dan nilai-nilai disusun berdasarkan pemanfaatan dunia secara alami; Kedua, tahap komoditi (nilai tukar), nilai-nilai disusun mengacu pada logika komoditi.

Hadi Saputra, dalam esia Mazhab Nazaruddin, mengatakan dalam tahapan kedua inilah, agama pun oleh sebagian manusia tak bertanggungjawab hanya menjadikannya sebagai religion tainment dan pseodu religious. Agama hanya sebagai alat dan tempat pelarian, mencari perlindungan ketika sedang dirundung masalah.

Ketiga, tahap struktural (nilai tanda atau nilai semiotis), nilai-nilai disusun berdasarkan tanda, kode dan model. Pada tahap ketiga ini, lahir peran simbol orinetasi citra atau citraan. Bahkan dalam tahap kedua dan ketiga ini paradigma konsumerisme, bagi saya menemuka ruang signifikansinya.

Baca Juga  Manusia Modern: Kehilangan Makna Hidup

Ternyata dalam kehidupan hari ini, meskipun Yasraf menyebutnya era transparansi global –tetapi bagi saya itu sama saja dengan peradaban digital– telah melewati tahap keempat (yang belum diungkap oleh Baudriliard) yaitu tahap fraktal (viral). Yaitu nilai –nilai yang berkembang bia melalui pelipatgandaan tanpa akhir.

Dalam tahap keempat ini dengan dukungan paradigma yang mengikuti logika kecepatan, speed/power, –bukan lagi hanya knowledge/power sebagaimana yang dirumuskan oleh Michael Foucault– illiterasi digital masyarakat, krisis empati digital dan perkembangan pesat media sosial. Sehingga kebohongan, ujaran kebencian, dan hal negatif lainnya lebih cepat viral daripada konten positif lainnya.

Ini di antara problematika dari peradaban digital yang membutuhkan solusi yang tepat dan berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Problematika peradaban digital muncul sebagai akibat kesalahan manusia menyikapi. Terkait hal tersebut diuraikan pada bagian kedua tulisan ini.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

17 posts

About author
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Sulawesi Selatan Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds