Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin tentu saja memiliki watak universalitas bagi para pemeluknya untuk merangkul dan mengayomi alam semesta dan seisinya.
Terhadap danau, pohon, binatang, dan juga terhadap sesama manusia, umat muslim mesti mengimplementasikan sikap tersebut. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa manusia sebagai khalifah fi al-ard malah merasa gagah dan pongah, karena menganggap bahwa dirinya berada di puncak piramida penciptaan.
Piramida Penciptaan
Piramida penciptaan yang dimaksud ialah hierarki makhluk berdasarkan daya-daya yang dimiliki setiap entitas dan makhluk.
Pertama, tingkatan paling bawah adalah entitas-entitas abiotik dan benda-benda padat (jamadat) seperti bebatuan. Kedua, tingkatan di atasnya ialah tetumbuhan (nabatat) yang memiliki daya tumbuh.
Ketiga, tingkatan setelahnya adalah hewan-hewan (hayawanat) yang selain memiliki daya tumbuh, juga memiliki daya bergerak dan mengindra. Keempat, tingkatan paling tinggi yaitu manusia, karena selain memiliki semua daya yang ada di tingkatan bawahnya, juga dianugerahi nalar (‘aql).
Dengan demikan, karena berada di tingkatan tertinggi, manusia kerap kali merasa bahwa semua entitas dan makhluk di bawahnya berada dalam genggaman dan kuasanya.
Perasaan semacam itu pada akhirnya mendorong manusia beranggapan bahwa selain dirinya, makhluk lain hanyalah suatu alat yang dapat digunakan untuk memenuhi kehausan dan kerakusan duniawinya semata.
Hal itu tentu saja berbahaya dan mengerikan. Dibilang berbahaya karena memang berisiko pada rusaknya tatanan alam yang harmonis. Hewan-hewan turun ke kota karena habitatnya telah rusak, dan mata air menjadi kering karena pohon tidak diberi hak untuk tetap mengakar. Sedangkan, dibilang mengerikan karena semua dampak dari ulah destruktif manusia akan menimpa manusia itu sendiri.
Konsekuensi Menjadi Khalifah di Muka Bumi
Allah tentu saja menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi dan mengamanatkan bumi seisinya agar manusia mengolah dan merawat apa-apa yang ada di bumi sebagai media untuk tetap bisa beribadah kepada Allah, bukan malah sebaliknya.
Bukan agar manusia mengeksploitasi dan merusak apa-apa yang ada di bumi, sehingga manusia malah terlena dengannya dan lalai untuk beribadah kepada Allah.
Sebagai khalifah, manusia memang rentan merasa superior. Konsekuensinya, kepada segala sesuatu selain dirinya dianggap inferior.
Tak heran apabila dalam sejarah panjang bumi, manusialah yang paling berpengaruh mengubah keseimbangan bumi. Hal ini tentu saja dengan sendirinya menurunkan nilai mulia dari kekhalifahannya, yang seharusnya bertanggung jawab untuk merawat dan menjaga keseimbangan bumi.
Selain itu, manusia sebagai muslim yang mengemban misi rahmatan lil-‘alamin menjadi gagal. Penyakit utamanya adalah karena manusia merasa superior dan menepuk dada.
Merasa superior dan tindakan menepuk dada pernah dilakukan oleh iblis yang ketika diperintahkan oleh Allah untuk bersujud kepada Adam, ia malah membangkang, “Aku lebih baik darinya. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. al-A‘raf [7]: 12)
Karena merasa superior dan tindakan menepuk dada itulah, iblis dideportasi dari surga. Hukuman semacam itu bisa juga terjadi pada manusia, yang sebagai khalifah, malah berupaya meniru sifat iblisme.
Oleh karena itu, semestinya manusia harus memandang segala sesuatu, entah itu pohon, sungai, hutan, binatang, atau bebatuan sebagai makhluk yang setara atau sederajat, dalam arti sama-sama sebagai ciptaan Allah.
Dengan pandangan kesetaraan seperti itulah manusia bisa menghargai keberadaan makhluk dan entitas lain yang ada. Sebenarnya, berkenaan dengan hierarki makhluk, Ibn ‘Arabi memiliki pandangan paradoksikalnya sendiri.
Posisi Terbalik, Manusia Menempati Tingkat Paling Bawah
Dilihat dari dimensi spiritual dan perspektif khusus, hierarki tersebut, yang meletakkan manusia di tingkat paling atas, sepenuhnya menjadi terbalik. [Toshiho Izutsu, Sufism and Taoism, 1984, 241-243]
Galibnya, manusia dipandang sebagai makhluk tertinggi di antara semua maujud adalah karena manusia memiliki nalar (‘aql). Padahal sesungguhnya, dilihat secara spiritual, justru nalarlah yang menyebabkan manusia berada di tingkatan paling bawah.
Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa nalar manusia itulah yang mengonstruksi “ego” (ananiyah) dan kehendak. Sehingga, ketika ego terpancangkan sedemikian rupa, ego tersebutlah yang merintangi manusia untuk dapat mengetahui dan menyaksikan Allah (al-Haq).
Sementara itu, benda-benda mati (jamadat) tidak memiliki daya apa pun, sehingga mereka tidak memiliki daya lain selain hanya diam dan patuh mutlak.
Oleh karenanya, penghambaan (‘ubudiyah) mereka terhadap Allah menjadi amat sempurna. Dalam kesempurnaan penghambaan itulah yang menempatkannya di posisi tertinggi.
Tingkatan di bawahnya adalah tetumbuhan, karena dalam batas tertentu mereka memiliki daya tumbuh, menyerap makanan, dan berbuah. Sehingga, daya tersebut menciptakan jarak kepatuhan mutlak kepada Allah.
Kemudian, tingkatan di bawahnya lagi adalah binatang. Mereka berada cukup jauh dari Allah, karena selain memiliki daya tumbuh, juga memiliki aktivitas indriawi dan kehendak instingtif.
Kendati demikian, manusialah yang paling jauh dari Allah, karena hanya manusia yang memiliki nalar (‘aql). Dari nalar tersebut, manusia memiliki kehendak untuk tidak patuh. Dengan memakai perspektif khusus Ibn ‘Arabi ini, hierarki makhluk sepenuhnya menjadi terbalik, manusia menjadi makhluk di tingkat paling bawah.
Dengan perspektif khusus Ibn ‘Arabi tersebut, kita dapat mengambil standpoint untuk bisa menghilangkan perasaan superior dan tindakan menepuk dada. Menyadari bahwa kita manusia hanyalah makhluk paling inferior, membuat kita menghormati dan segan mengeksploitasi makhluk-makhluk lain yang tingkatannya berada di atas kita.
Terhadap pohon, danau, hiu dan lumba-lumba, serta terhadap tanah lapang dan batu-batu tambang, kita bisa berupaya mereduksi. Bahkan hingga meniadakan sifat rakus dan sikap eksploitatif kita, dengan menyadari bahwa mereka semua sedang dalam keadaan taat dan patuh kepada Allah lebih dari kita manusia yang sebagai khalifah.
Dengan demikian, manusia kembali ke fitrah kekhalifahannya, yaitu merahmati alam seisinya.
Editor: Lely N