Dunia menyaksikan perkembangan manusia yang cukup signifikan di berbagai sisi. Ledakan revolusi digital yang ditandai dengan otomatisasi teknologi, percepatan globalisasi, dan penambahan produktivitas dari para pekerja terampil telah melahirkan berbagai krisis kemanusiaan.
Hal ini ditandai dengan bertambahnya ketidaksetaraan antara negara. Di mana pengusiran dan marginalisasi melalui kekerasan, perang, dan konflik antar etnis memberi dampak yang besar pada kemiskinan.
Kenyataan yang demikian sejatinya jauh dari makna berkembang dan modern yang diusung zaman ini, sehingga lembaga-lembaga internasional mulai memikirkan sisi perkembangan humanis yang tidak hanya berfokus kepada sisi material saja. Namun lebih dari itu, di mana perkembangan humanis bisa menyentuh aspek intelektual, moral, dan emosional.
Dari sinilah Sustainable Development Goals (SDGs) diusung dengan misi untuk menyajikan kepada dunia sebuah perkembangan yang setara, toleran, dan penuh tanggung jawab terhadap masyarakat. (Abdul Rashid Moten: 2021, xxi-xxii)
Diinisiasinya SDGs sedikit demi sedikit mulai menyentuh ranah hukum formal syariah. Dimulai dari bagaimana para pemikir Islam mencoba merekonstruksi hukum formal syariah lama agar dapat disajikan sebagai sebuah solusi yang menyokong terealisasinya SDGs.
Dalam hal ini, penulis mencoba memberikan istilah kepada usaha tersebut dengan sebutan “merelevansi”, karena hukum formal syariah yang sudah ada tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia masih bisa dijadikan batu loncatan dalam usaha “merelevansi” tersebut. Usaha ini ingin penulis kaitkan dengan tema maqāsid asy-syarī’ah, di mana tema ini memberikan nuansa baru dalam memandang hukum formal syariah.
Paradigma Syariah dalam Islam
Syariah yang secara bahasa berarti jalan, merupakan tuntunan yang harus diikuti agar mendapatkan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Perdebatan tentang konflik kepentingan yang terkandung dalam syariah menjadi sebuah diskursus yang semakin marak di kalangan ulama kontemporer maupun klasik.
Di masa kontemporer, Imam Ar-Raisuni dalam bukunya Az\-Z\arī’ah ilā Maqāsidi Asy-Syarī’ah mencoba memformulasikan kepentingan dari syariah itu dengan memunculkan pertanyaan: apakah syariah ditetapkan dan dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan merupakan kepentingan Sang Pencipta atau kepentingan manusia?
Untuk memulai perdebatan ini, Ar-Raisuni menukil pendapatnya Fakhruddin Ar-Razi yang menetapkan kebatilan poin pertama (syariah untuk kepentingan Tuhan) dan memilih poin kedua (syariah untuk kepentingan manusia) dengan pertimbangan bahwa pensyariatan sebuah hukum dikembalikan kepada kepentingan manusia dengan melihat tiga hal; apakah mendatangkan maslahat, mendatangkan mafsadat, atau tidak mendatangkan kedua-duanya.
Pertimbangan kedua dan ketiga adalah batil menurut akal, sehingga Fakhruddin Ar-Razi menetapkan pertimbangan yang pertama. Dengan kata lain, apa yang disyariatkan Allah dalam sebuah hukum ditujukan untuk mendatangkan maslahat kepada manusia. (Ahmad Ar-Raisuni: 2015, 13)
***
Selain Fakhruddin Ar-Razi, Ar-Raisuni menukil pendapat Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah yang penulis anggap melengkapi pendapatnya Ar-Razi. Menurutnya, asas dan fondasi syariah adalah hikmah dan maslahat bagi manusia di dunia maupun di akhirat. Maksud dari hikmah dan maslahat yang di sini adalah adanya keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah yang menyeluruh pada syariat tersebut.
Dengan kata lain, jika ada suatu masalah dalam syariah yang justru keluar dari keadilan dan condong kepada kezaliman, atau keluar dari rahmat dan condong kepada lawannya, atau keluar dari maslahat dan condong kepada mafsadat, atau juga keluar dari hikmah dan condong kepada kesia-siaan, maka ia bukan bagian dari syariat walaupun masalah tersebut dimasukkan ke dalam kategori syariat melalui takwil. (Ahmad Ar-Raisuni: 2015, 14)
Sebagai kesimpulan bagian ini, penulis menukil kalimat pamungkas dari Ar-Raisuni yang menyatakan bahwa, jika maksud-maksud dari pensyariatan pada asalnya dan secara umum adalah demi mencapai kemaslahatan manusia, maka ia sepantasnya berlaku dan direalisasikan pada setiap babnya, dan berkesinambungan pada setiap hukum partikularnya.
Mendefinisikan Maqāsid Asy-Syarī’ah di Era Industri 5.0
Syariah dengan penetapannya yang penuh dengan kepentingan manusia berupa manfaat ataupun maslahat sudah seharusnya menjadi yang terdepan dalam menyelesaikan problem-problem yang ada di era ini. Oleh karena itu, perlu adanya penentuan wilayah yang mampu dijamah oleh maqāsid asy-syarī’ah, sehingga setiap permasalahan diselesaikan sesuai dengan jalurnya.
Wilayah maqās}idu asy-syarī’ah terbagi menjadi lima dimensi, yang padanya masih bisa bertambah dari waktu ke waktu. Secara umum, lima dimensi tersebut adalah: h}ifz}u ad-dīn (agama), h}ifz}u an-nafs (jiwa), h}ifz}u an-nasl (keturunan), h}ifz}u al-‘aql (akal), dan h}ifz}u al-māl (harta). Kelima dimensi ini menjadi tolak ukur perkembangan dan kesejahteraan manusia, dengan syarat masing-masing dimensi saling berinteraksi satu sama lain.
Lima dimensi ini pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan program SDGs yang dicanangkan terealisasi pada tahun 2030. Namun, karena berkembangnya pemikiran serta masalah yang ditimbulkan di era industri 5.0 ini. Maka dibutuhkan formulasi maqāsid yang lebih dari sekedar lima dimensi tersebut, sehingga beberapa ulama kontemporer seperti Ibnu ‘Asyur dan Ar-Raisuni, serta ulama-ulama lainnya bisa mengekstrak sisi humanis maqāsid asy-syarī’ah yang belum disentuh oleh lima dimensi di atas. Dengan begitu, maka definisi maqāsid perlu diperluas sehingga menghasilkan prinsip-prinsip dasar yang global.
Yusuf Al-Qaradhawi misalnya, mencoba memperluas makna maqāsid yang tadinya berkutat pada kemaslahatan manusia secara personal melalui lima dimensi di atas, merambah kepada kemaslahatan manusia secara sosial.
Lebih jauh lagi, Yusuf Al-Qaradhawi menambahkan bahwa maslahat yang termasuk ke dalam objek syariat (maqāsid) adalah maslahat yang seluas perkara dunia dan akhirat, mencakup materi dan ruh, seimbang antara individu dan sosial, antara generasi dan umat secara keseluruhan, antara kepentingan etnis dan kepentingan humanis universal, dan seimbang pula antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. (Jamaluddin ‘Itiyyah: 2001, 100)
Mengangkat Maqāsid Asy-Syarī’ah ke Permukaan
Pemaparan di atas seakan-akan mengesankan bahwa maqāsidu asy-syarī’ah merupakan perkara yang eksklusif. Hal ini terlihat dari bagaimana usaha untuk mengekstraksi nilai maslahat tersebut dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam yang memiliki kompetensi mumpuni dalam bidang Fiqih dan Usul Fiqih.
Jika demikian keadaannya, maka bagaimana merealisasikan nilai maqāsid ini sebagai sebuah landasan pola pikir umum di kalangan masyarakat Muslim. Sehingga maqāsid ini tidak sebatas teori di atas kertas yang nihil implikasi.
Mengutip dari pendapat Ar-Raisuni, penulis mencoba memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas. Dari pembacaan terhadap Ar-Raisuni, ada dua jenis buah maqās}id yang bisa disimpulkan dari sumber-sumber hukum Islam. Pertama, adalah buah maqāsid yang tinggal makan. Buah yang pertama ini merupakan konsumsi umum tanpa diolah dengan keilmuan dan kepakaran tertentu, sehingga dengan sedikit perhatian dan kesadaran saja. Buah maqāsid ini dapat diekstrak menjadi sebuah praktik dan pola hidup individu maupun sosial. Kedua, adalah buah maqāsid yang perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan dilakukan dengan keilmuan dan kepakaran tertentu, sehingga nilainya baru dapat dijadikan sebuah praktik dan pola hidup ketika sudah berupa produk hukum. (Ahmad Ar-Raisuni: 2015, 10)
Dengan beberapa pembagian di atas, Ar-Raisuni sebenarnya ingin menekankan bahwa mengetahui maqāsidu asy-syarī’ah merupakan kepentingan semua mukallaf dan memberikan faidah kepada mereka. Oleh karena itu, maka penanaman maqāsidu asy-syarī’ah dalam cara pandang masyarakat, khususnya masyarakat industri 5.0 yang dimanjakan dengan berbagai kemudahan dan keinstanan, haruslah dengan bentuk yang sesederhana mungkin, sehingga diterima dengan pemahaman mereka dan dekat kepada pemahaman bahkan pemahaman tersebut semakin dalam hingga tidak bisa tercerabut. (Ahmad Ar-Raisuni: 2015, 10-11)
Referensi:
Ar-Raisuni, Ahmad. 2015. Az\-Z\arī’ah ilā Maqās}idi Asy-Syarī’ah. Kairo: Darul Kalimah.
‘Itiyyah, Jamaluddin. 2001. Nah}wu Taf’īlu Maqās}idu Asy-Syarī’ah. Damaskus: Darul Fikr.
Moten, Abdul Rashid. 2021. Humanising Education:Maqās}idu Asy-Syarī’ah and Sustainable Development. Kuala Lumpur: IIUM Press.
Editor: Soleh