IBTimes.ID – Tidak ada agama tanpa media. Setiap agama memiliki media utamanya sendiri. Agama-agama besar memiliki kitab suci sebagai media utama. Sedangkan agama-agama lokal memiliki upacara, tarian, otoritas, dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak media baru yang muncul. Termasuk dalam kelahiran Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Kelahiran dua organisasi ini dibantu oleh media majalah. Para pendiri dipengaruhi oleh majalah-majalah keislaman yang menyuarakan ide-ide pembaharuan Islam.
Hal ini disampaikan oleh Martin Slama, antropolog di Institute for Social Anthropology, Austrian Academy of Sciences, Wina, Austria. Ia menyampaikan dalam kegiatan International Conference on ‘Aisyiyah Studies 2020 dalam Webinar Series ketiga.
Antropolog yang konsen di media keagamaan ini mengatakan bahwa munculnya radio, televisi, internet, hingga media sosial memiliki konsekuensi-konsekuensi terhadap pembentukan otoritas keagamaan. Seperti lahirnya gerakan reformis Islam adalah konsekuensi dari menyebarnya majalah-majalah reformis.
Menurut Martin, media sosial memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan otoritas keagamaan, tidak hanya di Indonesia namun juga di dunia. Tidak hanya pada Agama Islam namun juga pada agama lain.
“Sehingga orang yang tidak memiliki pendidikan agama yang tinggi, orang yang tidak berasal dari keluarga agamis, atau orang yang baru saja belajar agama juga memiliki otoritas untuk bicara agama bahkan menjadi terkenal. Kita kenal dengan istilah ‘ustadz seleb’,” jelasnya.
Ia menyebut ustadz seleb adalah fenomena yang menunjukkan bahwa selebriti mulai tertarik dengan agama, belajar agama, dan menyebarkan nilai-nilai keagamaan, hingga dia menjadi terkenal dan memiliki banyak pengikut karena aktivitas agamanya. Hal-hal seperti ini akan sulit terjadi jika tidak ada media sosial.
Menurut Martin, media sosial menjadi media utama untuk tokoh-tokoh Islam zaman sekarang. Baik mereka memiliki latar belakang ormas, pendidikan agama yang tinggi, atau sama sekali tidak memiliki latar belakang studi agama. Semua berkumpul di media sosial.
Ciri paling penting media sosial adalah memungkinkan komunikasi secara dua arah. Memungkinkan dialog sekaligus pertengkaran. Dampaknya, orang yang aktif menyampaikan agama di media sosial juga bisa dipertanyakan dan dilawan di media sosial.
“Orang yang pengetahuan agamanya tidak begitu baik dapat beraktivitas di dunia dakwah melalui media sosial. Jadi, yang terjadi adalah pluralisasi atau demokratisasi otoritas keagamaan, dimana orang dengan sangat cepat bisa meraih otoritas keagamaan. Ini adalah fenomena baru pasca kemunculan media sosial,” imbuh pria
Martin mencontohkan fenomena baru yang lain seperti Gerakan One Day One Juz yang muncul di berbagai kota. Gerakan ini mengajak pengikutnya untuk membaca 1 juz dalam 1 hari. Anggota yang mengikutinya harus menunjukkan disiplin yang tinggi karena harus melaporkan bacaannya.
“Media sosial bisa digunakan untuk mendisiplinkan diri. Orang yang tidak mengikuti gerakan ODOJ mungkin tidak membaca Alquran. Namun karena mengikuti melalui media sosial, mereka menjadi rajin membaca Alquran,” jelasnya.
Ia berpesan agar ‘Aisyiyah harus memposisikan diri agar mulai memperhatikan media sosial. Mengingat posisi media sosial menjadi sangat penting belakangan, terutama dalam pembentukan otoritas keagamaan.
Reporter: Yusuf