Oleh: Akmal Ahsan*
Di tengah-tengah dunia yang “ribut” informasi dan surplus pengetahuan, kita justru tak sungguh paham perihal pengetahuan yang jelas dan rabun. Dalam perayaan akan teknologi informasi, kita berhadap-hadapan dengan fatalnya kebenaran subjektif. Keberadaan internet memang menggembirakan, tetapi tidak untuk kebenaran itu sendiri. Dalam banyak kesempatan, keberadaan internet membuat kedunguan merajalela.
Tom Nichols tiba tepat dalam kebingungan dan paradoks pengetahuan abad ini. Melalui karya Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya”, Nichols hendak mengajak kita untuk berselancar dalam samudera realitas. Setidaknya untuk memahamkan para pembaca bahwa dunia telah mengalami “keributan” justru sebab kemajuan teknologi dan informasi.
Setidaknya Nichols menulis buku ini karena merasa khawatir dengan fenomena di mana manusia tidak lagi memiliki argumentasi yang lahir berdasarkan data dan fakta. Ini terlihat dari pengetahuan dasar rata-rata orang Amerika yang kian menurun drastis hingga menembus lantai “tak dapat informasi”, meluncur dan melewati “salah informasi”, hingga terhempas pada “ngawur secara agresif”.
Mula-mula, di awal bukunya, Tom Nichols menyentil para “pakar” yang tidak pakar. Ialah beberapa orang yang teramat percaya diri untuk menyatakan dirinya mampu dalam ketidakmampuan. Mereka menyangka dirinya pakar secara gegabah, bahwa kepercayaan pada adagium “semua orang dapat menjadi pakar” adalah sangat berbahaya. Mungkin benar bahwa hampir semua orang dengan kemampuan tertentu bisa mengembangkan pengetahuan khusus. Pada kesempatan tertentu, patut dipatuhi orang lain. Akan tetapi menjadi suatu masalah ketika semua orang mulai percaya bahwa mengetahui sedikit tentang sesuatu adalah “kepakaran” (hal.4).
Perihal demikian telah menjadi gambaran keadaan manusia sekarang. Sifat percaya diri memang baik, tetapi menjadi masalah saat orang-orang percaya pada kemampuannya secara emosional, tidak objektif. Inilah yang menyebakan beberapa guru agama telah menjadi “analisator” politik, tetapi secara gegabah berujar kekeliruan. Sifat percaya diri yang demikian telah menegaskan sikap anti-intelektualitas. Oleh informasi yang mudah menyebar, pengetahuan telah gampang didapatkan, segampang kebodohan kita imani.
Kedunguan Merajalela
Dalam kaburnya pengetahuan inilah, kita tak cukup mampu untuk membedakan ilmuan yang pakar dan manusia yang awam. Justin Cruger dan David Dunning membantu Nichols untuk mengidentifikasi keadaan. Sehingga ditemukanlah istilah “Efek Dunning-Cruger”. Secara singkat, istilah ini mengatakan bahwa semakin bodoh anda, semakin anda yakin kalau anda sebenarnya tidak bodoh. Mengutip tulisan Jutsin Cruger dan David Dunning “mereka bukan hanya salah dalam menyimpulkan dan membuat pilihan; inkompetensi juga merampas kemampuan mereka menyadari kesalahan tersebut. (Hal. 52)
Rendahnya pengetahuan ditambah memuncaknya rasa percaya diri bukan hanya membawa manusia pada kesimpulan informasi yang keliru. Tetapi juga menutup pikiran untuk memahami kesalahan tersebut. Mengedepankan sisi emosional telah menambah persolan. Bahwa sangat sukar untuk menasihati kebenaran kepada orang-orang yang mengedepankan perasaan daripada rasionalitas dan fakta.
Orang-orang emosional, individu yang mengedepankan perasaan telah mengganggu akses kebenaran untuk dihidangkan kepada masyarakat. Masyarakat luas lalu mengkonsumsi dengan gegabah pengetahuan yang keliru. Membuat kedunguan makin merajalela.
Konsumsi pengetahuan yang keliru adalah konsumsi banyak kepala. Dengan modus “kesepakatan”, pengetahuan telah dibajak. Orang-orang mungkin saja bijaksana dalam melihat realitas. Akan tetapi, tidak semua hal bisa diputuskan dengan suara terbanyak. Internet menciptakan pandangan yang keliru bahwa pendapat orang banyak setara dengan “fakta”.
Matinya Kepakaran Merusak Demokrasi
Matinya kepakaran telah mengganggu jalannya proses demokrasi suatu negara. Menggunakan kata-kata Ilya Somin, Nichols mengutip, “Ketika kita memilih pejabat pemerintah berdasarkan ketidaktahuan, mereka menguasai bukan hanya orang-orang yang memilih, melainkan seluruh masyarakat. Dengan demikian, kita memiliki tanggung bjawab moral untuk memilih, setidaknya berdasarkan alasan-alasan yang informatif (hal. 275).
Matinya kepakaran berimbas luas. Dalam keawaman, masyarakat arus bawah telah menjadi korban. Misalnya pemilihan umum yang mencondongkan dua calon. Dalam ketidakpahaman akan kualifikasi kandidat, kemenangan kandidat terpilih bukan hanya membuatnya berkuasa atas orang-orang yang memilihnya, namun semua lapisan. Termasuk yang berlawanan dengan kandidat terpilih.
Nichols menambahkan, Anti-intelektualisme sendiri adalah alat untuk memperpendek usia demokrasi. Sebab, demokrasi yang stabil di setiap kebudayaan selalu bergantung kepada publik yang benar-benar paham dampak pilihannya sendiri. (hal. 280)
Tom Nichols, lewat karya tulisnya layak diberi apresiasi, ia telah menjadi penerang diantara kebingungan kita. Ia menggambarkan dengan jelas keadaan yang tidak hanya membahayakan intelektual sebagai individu, namun juga suatu kondisi yang membumihanguskan pengetahuan didepan mata orang awam.
Tentu kita tak serta-merta menyalahkan teknologi dan informasi sebagai “tersangka” atas keadaan-keadaan ini. Kita merayakan pengetahuan, tetapi yang lebih penting ialah mencari metode yang benar untuk mengidentifikasi surplus data dan informasi. Setidaknya untuk sejenak menepi dari “ribut”nya pengetahuan. Kemudian datang dengan pikiran yang siap untuk memahami pengetahuan. Tidak hanya sebagai penelusuran yang ambisius, tetapi sebagai susunan informasi yang bisa saja salah.
*) Kabid RPK PC IMM AR Fakhruddin Yogyakarta