“NKRI harga mati!”
Begitulah kata-kata yang sering saya dengar dari ceramah-ceramah dan pidato-pidato kebangsaan. Bahkan, kata-kata tersebut akan kita temukan di spanduk-spanduk, dan di tembok-tembok pagar pinggir jalan. Tapi pernahkah kita berpikir siapa pencetus slogan ‘NKRI harga mati’?
Kata ‘NKRI harga mati’ sudah tentu tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Kata-kata itu telah merasuk dan menjadi slogan bagi masyarakat Indonesia yang menolak ideologi pancasila dirubah.
Pencetus Kata ‘NKRI Harga Mati’
Kita barangkali tidak mengira bahwa pencetus kata ‘NKRI harga mati’ adalah seorang kyai ndeso yang nyentrik dan sederhana. Orang-orang biasa memanggil kyai yang suka berpakaian seragam TNI dan sarungan itu dengan panggilan Mbah Liem. Mbah Liem memiliki nama lengkap K.H Muslim Rifai Imampuro. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti.
Awal mula tercetusnya kata ‘NKRI harga mati’ bermula ketika tahun 1980-an muncul ideologi Islam radikal di Indonesia.
Sekelompok masyarakat itu adalah al-Ikhwanu al-Muslimun (IM) dan Hizbut Tahrir (HT) yang masuk Indonesia pada kurun waktu yang sama. Kelompok Islam radikal itu menyebut Pancasila, bendera, dan lagu Indonesia Raya sebagai thaghut dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah.
Untuk melawan kelompok Islam radikal itu, Mbah Liem tidak melawan dengan kekerasan, namun beliau melawan melestarikan simbol-simbol nasionalisme dan mengajarkan materi ke-Indonesiaan dan kebhinekaan di sela-sela dakwah Islamnya.
Dengan menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi pada masyarakat, itu merupakan caranya menjaga warisan para pendiri bangsa dan ulama yang ikut memperjuangkan memerdekakan Indonesia. Karena, bagi Mbah Liem, Islam mengajarkan cinta tanah air. Dan dengan Pancasila, Islam yang rahmatan lil alamin justru benar-benar bisa diterapkan.
Beliau menolak dengan keras paham khilafah dan selalu berdoa begini, “Mugo-mugo NKRI aman makmur damai harga mati.”
Dari doa itulah, slogan ‘NKRI harga mati’ menjadi populer hingga saat ini.
Mbah Liem: Tokoh Humanisme Indonesia
Gus Dur dan Mbah Liem adalah dua sosok manusia yang tak dapat dipisahkan. Meskipun tidak mengakuinya, Mbah Liem adalah sahabat sekaligus guru spiritual Gus Dur. Jika Gus Dur dikenal sebagai tokoh kemanusiaan dan ikon toleransi Indonesia, maka itu tak terlepas dari ajaran dan pengaruh Mbah Liem.
Mbah Liem adalah sosok manusia yang menghargai dan menerima setiap orang. Beliau selalu mengajarkan untuk ‘nguwongke uwong, gawe legane uwong’.
Ajarannya selaras dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Dalam ajaran nguwongke uwong, gawe legane uwong terdapat dalam sila kedua dan firman Allah di Q.S. al-Isra ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Mbah Liem mengajarkan sesama manusia harus saling tolong menolong, meneguhkan solidaritas, membina rasa cinta kasih sayang dan toleransi, jauh dari kedengkian, arogansi, dendam kesumat, tipu muslihat, pengkhianatan, serta mencegah tindakan semena-mena dan menolong orang-orang yang membutuhkan.
Dulu, mayoritas penduduk lingkungan desanya adalah orang awam yang sebagian besar adalah simpatisan PKI. Maka, tatkala pembantaian kaum komunis terjadi, ia pasang badan melindungi penduduk desa. Tak hanya itu, setiap kali ada tamu, baik pejabat maupun tokoh yang lain, Mbah Liem selalu menyambut dengan hangat siapapun orangnya tanpa pandang bulu.
Mbah Liem dan Ideologi Pancasila
Mbah Liem dan Pancasila tidak bisa dipisahkan. Boleh dikatakan Mbah Liem adalah Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mulai dari sila ketuhanan yang Maha Esa hingga sila keadilan sosial, semua terdapat dalam jiwa Mbah Liem.
Nilai pancasila dalam diri Mbah Liem dapat kita temukan hingga sekarang di pesantrennya. Dari nama pesantrennya saja, Pondok Pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti, kita sudah bisa tahu betapa Mbah Liem memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Jika kita mengunjunginya, kita akan menemukan sesuatu yang unik dari pesantren yang beliau dirikan. Simbol-simbol nasionalisme akan selalu kita jumpai di Pondok Pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti.
Setiap sebelum dan sesudah kegiatan belajar mengajar pendidikan kepesantrenan, kita akan selalu mendengar lantunan lagu Indonesia Raya, Pancasila, pembukaan UUD 1945 digaungkan oleh santri-santri. Tak hanya itu, bahkan setiap sehabis salat lima waktu, kita akan mendengar doa kebangsaan yang dipanjatkan santri-santri tiada henti-hentinya. Bayangkan, sudah berapa juta doa yang melangit karena cinta Mbah Liem pada tanah air Indonesia?
Kita tak akan pernah bisa mengukur cintanya pada NKRI. Dan sudah selayaknya kita harus bersyukur, karena pemikiran Mbah Liem tentang keutuhan bangsa dan negara masih langgeng hingga kini.
Pembawa Pesan Perdamaian
Sejak tahun 1998, Mbah Liem kerap mengadakan pertemuan dengan para tokoh lintas agama. Pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti menjadi tempat titik temu bagi tokoh agama dan kepercayaan. Tujuan pertemuan itu tak lain untuk menjaga persaudaraan antar manusia, sekalipun berbeda agama dan kepercayaan. Pada hakekatnya setiap manusia adalah ciptaan Allah, sama-sama anak Nabi Adam, dan sama-sama penghuni NKRI–sebagaimana pesan yang tertulis di Joglo Perdamaian.
Meskipun Mbah Liem sudah wafat, namun jiwa semangatnya dalam mencintai dan menjaga tanah air akan tetap terus tumbuh dan tak akan pernah pudar. Mbah Liem percaya dengan menjalankan Pancasila melalui nilai dan normanya akan mengantarkan Indonesia ke jalan agama.
***
Sudah selayaknya kita meniru jejak beliau untuk untuk mengajak semua lapisan masyarakat menjaga dan mencintai tanah air. Jika bukan kita, siapa lagi?