Perspektif

Melawan Segala Bentuk Intimidasi terhadap Perempuan Pejuang HAM

4 Mins read

Masih terekam jelas dalam ingatan kita, ketika tahun 2022 Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa serangan terhadap perempuan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia terus meningkat.

Andy Yentriany, Ketua Komnas Perempuan menyebut ada 87 kasus kekerasan terhadap perempuan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dari 2015 hingga 2021. Mereka mengalami serangan dalam berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi.

Senada dengan itu, SETARA Institute dan INFID dalam survei Indeks Hak Asasi Manusia 2023 melaporkan bahwa ketiadaan perlindungan pejuang HAM oleh Pemerintah masih menjadi potret belum optimalnya penghormatan dan perlindungan terhadap hak atas keadilan.

Pemerintah, tulis mereka, juga belum memiliki kerangka jelas dalam pemenuhan, perlindungan, dan pemulihan cepat Hak para Pejuang HAM, bahkan belum ada upaya menginternalisasi dan mengadopsi United Nations Guidelines on Deinstitutionalization, including in Emergencies tahun 2022.

Kasus-kasus Intimidasi hingga Persekusi Perempuan Pejuang HAM

Dewi Yuri Cahyani dalam bukunya “Perempuan Pembela HA:” Berjuang dalam Tekanan” menyebut bahwa menjadi seorang pembela HAM di Indonesia merupakan sebuah keputusan yang menempatkan seseorang dalam hidup yang penuh resiko.

Serangan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, stigma, dan diskriminasi dalam berbagai bentuk, baik yang dilakukan oleh negara (pemerintah atau aparat penegak hukum), kelompok patriarki berbasis agama, kelompok nasionalis militeristik, serta korporasi kapitalis tampaknya telah menjadi bagian hidup mereka sehari-hari.

“Masih segar ingatan kita tentang Marsinah, seorang aktivis buruh yang diperkosa dan dibunuh. Atau Ita Martadinata – relawan untuk korban kerusuhan Mei 1998 – yang kasus pembunuhannya dianggap sebagai kasus kriminal biasa, bahkan Ita dituduh memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Atau pengalaman mama Yosefa – pejuang hak masyarakat adat di Papua – yang pernah direndam dalam tangki berisi tinja selama berhari-hari karena memimpin aksi damai di bandara Timika untuk memboikot operasionalisasi PT. Freeport Indonesia, tulis Yuri.

Baca Juga  Partai Keluarga Menjadi Primadona

Kasus-kasus terbaru seperti kasus Polda DIY tahun 2024 yang menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai tersangka. Penetapan ini berawal saat Meila melakukan pendampingan kasus Kekerasan Seksual di Yogyakarta. Alih-alih mendapatkan dukungan dan perlindungan dari penegak hukum, Meila justru ditetapkan sebagai tersangka.

Meila telah mulai melakukan pendampingan kasus ini sejak tahun 2020. Sebagai Pengacara LBH Yogyakarta, ia melakukan pembelaan terhadap 30 korban kekerasan seksual baik secara langsung maupun online yang diduga kuat dilakukan oleh satu pelaku.

Penatapan Meila sebagai tersangka oleh Polda DIY adalah serangan serius terhadap perempuan pejuang HAM, dalam hal ini Meila sebagai pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi keputusan buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual yang ada.

***

Di lain kasus, pada tahun 2019, Era Purnamasari Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendapatkan serangan berupa ancaman pembunuhan, intimidasi, persekusi hingga diserang berita hoaks yang bernada membunuh karakter dan moralnya.

Serangan itu mulai Era dapatkan sehari setelah ia melaporkan kasus penangkapan sejumlah petani Serikat Mandiri Batanghari (SMB) Jambi ke Komnas HAM di Jakarta.

Era bersama rekan dari YLBHI melakukan investigasi kasus dugaan penganiayaan dan kriminalisasi terhadap puluhan petani oleh anggota kepolisian yang juga merangkul personil TNI di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Tak hanya serangan yang Era, akses untuk kebutuhan mendampingi korban juga begitu sulit didapatkan, sebab yang ia lawan adalah penegak hukum.

Tampak secara jelas, betapa beratnya berada di posisi mereka (para perempuan pejuang HAM). Di tengah-tengah perjuangan mengadvokasi kasus-kasus HAM, tidak hanya kesejahteraan yang terabaikan, para perempuan pejuang HAM juga seringkali didera dengan kelelahan fisik saat berjuang, bahkan terganggu kesehatan hingga sakit dan meninggal.

Baca Juga  Ramadhan, Kita, dan Teater Kesalehan

Seperti yang dialami oleh Olga Hamadi, Pengacara HAM dan perempuan petani dari Papua Barat tahun 2016 dan Patmi dari Kendeng, Jawa Tengah 2017, yang keduanya meninggal karena sakit dan kelelahan saat menyuarakan isu-isu HAM di tanah air.

Sehingga, di sini, negara sebagaimana disebut oleh Dyah Kemala Hayati dalam “Human Right Deffenders: Tanggung Jawab Negara dan Perlindungan Hukum Pembela Hak Perempuan” gagal dalam tugasnya melindungi PPHAM.

Padahal Perlindungan negara terhadap pejuang HAM termuat dalam peraturan perundang-undangan antara lain pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), khususnya Pasal 28C Ayat (2), menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Melanggar HAM dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, melanggar Hak Asasi Manusia adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan. Sebab agama ini hadir sebagai rahmatan lil alamin.

Agama Islam hadir untuk memuliakan manusia. Sebagaimana firman Allah di bawah ini:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra’: 70).

Menurut Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, siapapun di Republik ini, termasuk negara dan warga negara tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia dan merugikan Hak Asasi Manusia.

Justru, menurutnya, sudah sepatutnya menjadi kewajiban bersama kita bagaimana Hak Asasi Manusia (HAM) baik yang bersifat universal maupun yang telah menjadi komitmen konstitusional dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 diwujudkan di dalam kehidupan kita sebagai bangsa.

Baca Juga  Benarkah Kesetaraan Gender Bukan Solusi?

Perempuan Harus Terus Bersuara

Kendati berjuang di tengah tekanan, serangan, ancaman, intimidasi bahkan persekusi yang kerap sekali dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk negara, perempuan pejuang HAM harus terus menyuarakan kritik mereka atas berbagai kasus-kasus HAM yang terjadi di tanah air.

Sebab, suara para perempuan pejuang HAM sangat penting bagi pemajuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia di negara yang katanya menjunjung tinggi kesetaraan manusia di mata hukum ini.

Masih dalam buku “Perempuan Pembela HAM: Berjuang dalam Tekanan”, Yuri merekam begitu baik bagaimana para perempuan pejuang HAM telah menemukan berbagai sumber kekuatannya, mulai dari kekuatan keluarga, hingga kekuatan spiritual.

Tak kalah penting, bahwa negara sebagai pemangku kebijakan punya peran penting dalam memajukan HAM di Indonesia, terkhusus mengenai perlindungan kepada mereka para perempuan pejuang yang selama ini tak mendapatkan perlindungan apapun.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD NKRI 1445, dalam Pasal 28I ayat (4) bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” 

Namun, sayang beribu-ribu sayang, negara belum punya cukup kesadaran akan hal ini. Padahal, Hak Memperoleh Keadilan menjadi salah satu indikator penting dalam Indeks HAM, seperti yang disebut oleh SETARA Institute dan INFID bahwa Indeks HAM menjadi gambaran aktualisasi nyata Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yang juga menjadi komitmen pemerintah Indonesia.

Sebab itulah, para perempuan pejuang HAM harus terus menyuarakan ini demi masa depan bangsa yang lebih berkeadilan bagi semua warga negara.

#INFID
#IBTimes.ID
#GapapaBeda
#KitaBikinInklusif
#KitaBikinPaham

Editor: Yafaro

Related posts
Perspektif

Pemuka Agama di Era Sosialita: Antara Gila Hormat dan Praktik Komersialisasi Agama

3 Mins read
Belakangan ini, jagat maya dihebohkan oleh aksi Gus Miftah, seorang tokoh yang dikenal sebagai pendakwah flamboyan sekaligus utusan khusus presiden. Dalam sebuah…
Perspektif

Mencegah Fenomena Hipokrisi di Pondok Pesantren

3 Mins read
Pondok (pesantren) secara umum diartikan sebagai lingkungan bersama sistem pembelajaran Islam pada Indonesia dengan edukasi-edukasi keagamaan, bahasa Arab dan seni belajar hidup…
Perspektif

Kecilnya Keterwakilan Perempuan di Tingkat Eksekutif: Komitmen Afirmasi yang Tidak Terealisasi

3 Mins read
Dalam visi misi dan kampanye publik pemilihan presiden kemarin, kita tentu ingat bahwa isu gender masuk ke dalam suatu topik khusus yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds