Bulan Ramadhan adalah bulan yang diagungkan oleh umat Islam. Mereka meyakini bahwa pada bulan itu terdapat banyak keutamaan. Oleh karenanya, umat Islam meningkatkan frekuensi ibadah mereka lebih tinggi dan masif dibanding pada bulan-bulan lainnya.
Salah satu yang dilakukan oleh mereka adalah dengan memperbanyak sedekah, shalat malam, berdiam diri di masjid, sampai ibadah wajib yaitu berpuasa dari terbit matahari sampai dengan tenggelamnya.
Ibadah Puasa dalam Kaca Mata Sosiolog Durkheim
Dari kacamata ilmu pengetahuan, salah satunya sosologi, pengkultusan umat Islam kepada bulan Ramadhan cukup menarik untuk dikaji. Mengapa? Sebab sosiologi berupaya untuk mencari pengetahuan tentang bagaimana pengaruh agama dalam kehidupan sosial dan individu. Dan, salah satu sosiolog yang tertarik dengan hal semacam ini adalah Emile Durkheim (1858-1917). Sosiolog asal Prancis ini memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam bidang sosiologi.
Sosiolog yang dianggap sebagai salah satu dari pendiri sosiologi modern ini pertama-tama membuat pemisahan antara yang sakral dan yang profan. Hal ini dicetuskan untuk menjelaskan apa yang menjadi penting bagi dimensi agama.
Yang sakral adalah sesuatu yang superior, berkuasa, dan harus mendapatkan penghormatan yang tinggi. Sedangkan yang profan sebaliknya, yaitu hal yang biasa saja. Beberapa bulan dalam kalender hijriah, salah satunya Ramadhan menjadi bulan yang dianggap sakral bagi umat Islam.
Ketika bulan Ramadhan disakralkan sebagai bulan yang suci, maka tidak heran jika semua mendadak serba islami; dari acara televisi, artis-artis yang memakai hijab, orang pacaran yang enggan melakukan aktivitas berduaan, sampai penutupan paksa diskotik dan bar.
***
Semua hal itu dilakukan oleh masyarakat karena mereka ingin bulan yang suci jangan sampai ternodai. Tindakan masyarakat yang demikian ini seakan membenarkan pemikiran Durkheim bahwa agama berfungsi sebagai perekat sosial.
Masyarakat seperti tergerak bersatu melakukan tindakan-tindakan untuk menghormati dan menjaga apa yang sakral bagi mereka. Di sini, kohesi sosial pun meningkat.
Kohesi sosial juga tercermin dalam aktivitas ibadah masyarakat seperti memperbanyak sedekah dengan cara memberikan makanan dan minuman untuk berbuka puasa atau kegiatan menyantuni panti asuhan.
Kegiatan-kegiatan ini, dalam konsep solidaritas sosialnya Durkheim, merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Tindakan-tindakan atau amalan-amalan yang mereka lakukan merupakan wujud kepedulian antar sesama kelompok ataupun individu yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara indvidu dan atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, ikatan kolektif yang sama, dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional.
Hubungan Sosial dan Individu
Dalam melihat hubungan sosial dan individu, Durkheim berpandangan bahwa seorang individu tidaklah bebas. Ia terikat dengan fakta sosial di dalam masyarakatnya. Fakta sosial ini didefinisikan sebagai cara bertindak, merasa, dan berpikir yang berada di luar diri individu dan bersifat memaksa dan dapat melakukan kontrol sosial.
Saat bulan Ramadhan, semua mengetahui bahwa puasa itu wajib. Hal ini mengontrol individu untuk mau tidak mau akan melakukannya juga. Seseorang yang tidak berpuasa jelas akan dicemooh masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa fakta sosial memiliki kontrol atas individu.
Mereka yang tidak menaati fakta sosial tersebut, akan menderita konsekuensi seperti penolakan sosial bahkan hukuman. Maka dapat dipahami bahwa seseorang yang tidak berpuasa, lalu makan dan minum secara diam-diam, juga merupakan salah satu upaya untuk menghindar konsekuensi sosial.
Sampai sini, kita sedikit paham bagaimana kacamata sosiologi –dengan meminjam gagasan-gagasan Durkheim- dalam melihat masyarakat beragama. Analisis di atas menunjukkan bahwa agama ternyata memiliki beberapa fungsi sosial, seperti kontrol sosial dan perekat kohesi sosial.
Fungsi sosial agama yang seperti ini, membuat Durkheim berpikiran bahwa ada dimensi lapisan dasar sosiologis di bawah permukaan teologis. Menjadi menarik jika pertanyaan semacam “Apakah puasa di bulan Ramadhan murni adalah ritual agama?” karena bisa saja puasa menjadi sekedar simbol. Simbol di sini maksudnya adalah sebagai sesuatu yang mewakili ekspresi keagamaan tertentu, yang dilakukan untuk menegaskan bahwa seorang individu adalah bagian dari masyarakatnya atau tidak.
Durkheim sendiri pada akhirnya juga menyatakan bahwa ritual dalam agama adalah ekspresi simbolis dari sebuah realitas sosial. Sesuatu yang mungkin akan menganggu telinga orang-orang beragama.
Namun di balik irasionalitas doktrin-doktrin dalam sebuah peribadatan, agama oleh Durkheim dianggap mampu memberikan kepuasan manusia dalam memenuhi kebutuhan sosial. Kita juga harus mengingat bahwa manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan lingkungan sebagai tempatnya bertahan hidup.
Ibadah-ibadah di dalam bulan Ramadhan, intinya dapat berfungsi menguatkan jiwa dan mental. Selain itu, juga dapat memberi perasaan bersatu bagi masyarakat sebagai sebuah komunitas masyarakat. Terlebih dalam ibadah di bulan Ramadhan, mereka yang menjalankannya akan merasakan eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat.
Editor: Yahya FR