Oleh: Muhammad Abdullah Darraz
Dari al-Asymawi, al-Jabiri, dan Syahrur, kita mendapati bahwa konsep-konsep kunci (ajaran-ajaran inti) yang ada dalam al-Quran itu telah sedemikian rupa mengalami penyimpangan (tahrif al-kalim ‘an mawadhi’ih).
Penyimpangan
Kini, konsep-konsep yang mulia tersebut telah dimanipulasi oleh kelompok ekstrimis untuk melegitimasi praktek-praktek biadab yang berujung pada kekerasan dan berbagai tragedi kemanusiaan. Tentu, ada tujuan-tujuan politik-ekonomi sesaat yang mereka miliki di balik berbagai tragedi tersebut. Akhirnya, konsep-konsep yang sejatinya mulia ini berada dalam kehinaan di bawah titik nadir, karena telah disalahgunakan untuk kekejaman dan kebiadaban.
Untuk mengubah dan mengembalikan konsep-konsep tersebut pada tempat yang semestinya, menurut mereka, kita tidak bisa hanya mengandalkan usaha di wilayah hilir. Perlu adanya “pembongkaran epistemologis” di wilayah hulu dan di wilayah tengah antara hulu dan hilir. Produk-produk epistemologis pasca Nabi wafat yang dihasilkan sejak masa sahabat hingga hari ini, mesti dilihat ulang dan dipikirkan kembali. Pun demikian dengan derivasinya, baik itu berupa produk hukum, sejarah, budaya, dan berbagai pemikiran terkait Islam.
Misalnya, terkait sumber ajaran Islam itu sendiri, mungkin bisa dikatakan semua bersepakat bahwa al-Quran merupakan satu sumber utama untuk memahami Islam dengan mengakomodasi berbagai pluralitas penafsiran yang tidak saling menegasikan. Tapi, bagaimana dengan sunnah? Orang seperti Syahrur jelas memiliki sikap yang lebih kritis; bisakah sunnah diterima sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Quran tanpa pertanyaan apapun yang menggelayutinya?
Manipulasi Ajaran
Tentu, karena sunnah itu baru dikodifikasi 1-2 abad setelah Rasul wafat dalam bentuk kitab-kitab hadits yang kita terima saat ini. Maka keberadaan sunnah itu tidak serta merta bisa diterima begitu saja. Karena pertanyaannya adalah, apakah betul sunah-sunah yang selama ini kita anggap bersambung dan merupakan praktek Rasul itu benar adanya, ataukah itu merupakan Sunnah Sahabat, atau sunnah para Imam Maksum (dalam tradisi Syiah), atau juga Sunnah Tabiin, atau Sunnah Tabiittabiin, atau juga sunnah para Imam Mazhab, juga para ulama setelahnya yang kebetulan disambung-sambungkan kepada Rasul?
Dalam hal ajaran al-walla wa al-barra (loyalitas dan pembangkangan), misalnya, menurut Syahrur—dengan mengutip pendapat al-Jahizh (w. 868 M) dan Ibn Abd al-Hakam (w. 870 M) serta Ibn Abd Rabbih al-Andalusi (w. 940 M)—penyimpangan ajaran tersebut dari makna Qurani menjadi makna yang lebih politis telah terjadi sejak peristiwa Saqifah Bani Saidah. Di mana loyalitas politis yang dibalut dengan “loyalitas teologis-keagamaan” dibangun di atas prinsip tribalisme dilakukan oleh golongan Quraisy-Muhajir-Makkah dengan meminggirkan Kaum Anshar-Madinah. Juga terjadi pada “loyalitas-pembangkangan sektarian” antara Sunni-Syi’i yang berlaku sampai hari ini. Seterusnya penyimpangan konsep ini berlanjut yang dimalpraktekkan oleh kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS hari ini.
Begitu pula yang terjadi dengan konsep dan ajaran kunci lainnya seperti jihad, khilafah, bay’ah, amar ma’ruf nahi munkar, bughah, qisas, riddah, dan lain-lain. Beberapa konsep ini mengalami manipulasi dan boleh juga dikatakan politisasi dalam artian dimanipulasi untuk kepentingan politik dan kekuasaan tertentu. Wallahu a’lam.
*) Penulis kader intelektual Muhammadiyah, peraih The Asia Foundation Fellowship 2019
Editor: Arif