Riset

Membaca dan Menulis itu Wajib: Catatan Pengalaman Selama Kuliah di Indonesia dan Australia

2 Mins read

Dulu, selama menjadi dosen pengampu matakuliah Filsafat di UMM, saya seringkali menasehati mahasiswa agar membaca buku ini dan itu, serta mengerjakan ini dan itu. Karma rupanya menimpa diri saya. Terutama, ketika saya kuliah di Australia.

Sebagai mahasiswa yang belajar di The Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), College of Arts and Social Sciences (CASS), The Australian National University, saya “terpaksa” harus bangkit dari tidur nyenyak yang panjang. Tentulah, pada saat itu, saya diwajibkan membaca bahan-bahan kuliah sepuluh kali lebih banyak, lebih susah, dan membuat catatan yang lebih panjang dan njelimet.

Lebih dari satu dekade yang lalu, selama belajar di Jurusan Syariah, Fakultas Agama Islam (FAI) UMM, setiap mahasiswa dididik untuk tahu banyak hal, walau semuanya bersifat pengantar. Tentu ini penting sebagai pemetaan ilmu pengetahuan (mapping).

Matakuliah yang wajib diambil sebanyak lebih dari sepuluh. Sementara dari setiap matakuliah, buku yang harus dibaca cukup satu, selama satu semester penuh. Lalu selama ujian, karena memang mendalami ilmu hukum yang bersifat doktriner, mahasiswa dituntut untuk hafal dan memahami secara praktis hal-ihwal mengenai hukum yang ada. Baik itu hukum Islam, hukum Indonesia, hukum kolonial Belanda, dan hukum internasional.

Tepat sejak di CAIS-ANU, matakuliah yang harus ditempuh pada setiap semester hanya empat. Setiap matakuliah yang ada, diampu oleh ahli di bidangnya yang terbaik di dunia. Beberapa di antaranya adalah peraih nobel. Para profesor yang mengajar, sudah mempersiapkan rancangan perkuliahan, modul atau buku rujukan (satu atau dua buku), dan materi-materi bacaan dari pelbagai bagian buku, jurnal, naskah penelitian, dan sumber ilmiah lainnya.

Dari setiap matakuliah ini, ada banyak buku dan jurnal yang harus dibaca “setiap harinya.” Atau setidaknya, 12 jam setiap hari, selama seminggu penuh (Sabtu dan Minggu libur). Lalu selama ujian, mahasiswa dituntut untuk berpikir serius, melakukan refleksi intelektual yang mendalam dan menghasilkan terobosan-terobosan baru yang berdaya guna bagi dunia.

Baca Juga  Kemerdekaan Mengelola Perguruan Tinggi

Selama di UMM, mahasiswa yang rajin dengan mudahnya menyelesaikan semua bacaan dalam waktu dua minggu. Sisanya, waktu yang masih panjang itu bisa digunakan untuk berolahraga, jalan-jalan, menyibukkan diri sebagai aktivis organisasi kemahasiswaan, dan bahkan nongkrong berlama-lama di warung kopi. Dengan hidup yang serba santai ini, karena pikiran juga tenang, tugas-tugas kuliah seperti makalah bisa diselesaikan dengan cara yang serba instan, cepat, dan hemat waktu.

Tentu saja, setiap dosen tidak terlalu peduli dengan hal ini. Walau sebagian ada yang menasehati dan bahkan kerap marah-marah, tapi nyatanya mereka tetap menerima dengan ikhlas semua makalah yang diajukan. Bahkan, tidak jarang mereka tetap memberikan nilai yang bagus.

Ketika di ANU, rasanya masih belum cukup memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Sekitar 12 jam waktu yang ada, habis begitu saja digunakan untuk membaca lima hingga tujuh bahan bacaan (buku atau jurnal), dan membuat catatan kritis tentangnya. Padahal, setiap matakuliah, memiliki 10-15 bahan bacaan setiap minggunya. Total rata-rata yang harus diselesaikan setiap hari kurang lebih 400-500 halaman. Ini semua harus diselesaikan sebelum mengikuti perkuliahan di kelas.

Masalahnya adalah, bukan sekedar harus menyelesaikan halaman tebal, atau berjuang melawan waktu yang serba “pas” (tidak kurang atau lebih). Tetapi terkadang, ada teks-teks yang susah betul dipahami. Sementara untuk makalah, bervariasi antara 4000-6000 kata pada setiap matakuliah, yang dikerjakan selama kurang lebih tiga bulan. Akan tetapi dengan standar akademik yang tinggi.

Setelah makalah mendapatkan feedback dari profesor, lalu melalui proses revisi dan pengeditan. Makalah tersebut sangat berguna, karena bisa diajukan ke jurnal. Tentu saja jika diterima (in review), maka harus siap menempuh proses pelik selanjutnya.

Baca Juga  Berpikir Kritis ala Imam Ghazali

Jika tidak membaca dan menulis, kemungkinan tidak lulus besar sekali. Beasiswa akan dicabut dan mustahil akan mencapai happy ending.

Editor: Arif

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds