Opini

Membaca Inklusivitas Tafsir Muhammad Abduh

3 Mins read

Pemahaman terhadap teks Al-Qur’an seringkali terasa elitis. Al-Qur’an, yang pada dasarnya diturunkan sebagai petunjuk untuk semua kelas manusia, seolah-olah hanya boleh dipahami oleh segelintir kaum terdidik yang mempelajari Al-Qur’an selama bertahun-tahun. Masyarakat awam hanya bisa membaca teks diam, dengan makna yang seolah-olah kabur dan tak tergapai oleh sanubari mereka. Namun, apakah benar praduga bahwa makna Al-Qur’an sedemikian jauh sehingga teksnya hanya menjadi pajangan sunyi yang tak bisa menjadi penerang bagi kaum marginal?

Suara Pembaharuan dari Mesir

Dari kedalaman satu abad silam, satu suara bangkit menyanggah praduga itu. Adalah Muhammad Abduh (1849-1905), tokoh pembaharu dari tanah Mesir, yang tak sudi bila hidayah Al-Qur’an hanya mentok di kaum elit. ”Allah, melalui Al-Qur’an,” kata Abduh, “mengajak bicara orang-orang yang berada pada masa turunnya, dan tidak mengkhususkan ajakan bicara itu kepada kelompok tertentu.” Pada paragraf yang sama ia berkata, “Sungguh wajib bagi setiap orang untuk memahami ayat Al-Qur’an semampunya, baik orang alim ataupun jahil.”

Di tengah gempuran tradisi beku pada masanya, yang memenjara tafsir Al-Qur’an dalam labirin linguistik dan perdebatan teologis, Abduh hadir sebagai suara baru. Bagi Abduh, tujuan utama dari tafsir sejatinya agar Al-Qur’an bisa menjadi kitab suci petunjuk bagi semua kalangan demi meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Ia menyebut tujuan itu sebagai tujuan paling mulia (al-maqshid al-a’la) dari tafsir. Adapun yang lain, hanyalah alat dan sarana guna menggapai tujuan tertinggi itu.

Kritik terhadap Formalisme Tafsir

Abduh berpandangan bahwa terlalu banyak menerapkan pendekatan formal guna memahami teks kitab suci justru akan mengaburkan esensi sesungguhnya dari teks itu. Menurutnya, obsesi berlebihan pada tata bahasa, bentuk literal, dan semacamnya tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas hanya akan menjadi tirai yang menghalangi pemaknaan hakiki.

Baca Juga  Apa itu Tafsir bil Isyari?

Keresahan Abduh akan terasa bila melihat kitab-kitab tafsir yang lazim pada zamannya. Kitab tafsir pada zaman itu memang utamanya menggunakan pendekatan formal dalam memaknai teks Al-Qur’an. Dampak dari itu, pemaknaan Al-Qur’an terkesan ekslusif karena hanya bisa dijamah oleh orang-orang dengan kemampuan intelektual mumpuni. Makna Al-Qur’an, yang sejatinya ditujukan untuk orang banyak, jadi terkungkung dalam lini yang terbatas.

Ini yang tak diinginkan Abduh. Berkali-kali, dalam catatan muridnya Rasyid Ridha, Abduh menekankan agar tafsir seyogyanya tidak keluar dari pokoknya. Tafsir yang terlalu fokus pada bentuk literal teks dan pendekatan formal digolongkan Abduh sebagai tafsir kering yang bisa menjauhkan dari Tuhan (jaffun mub’idun ‘anillah). Tafsir sejati, bagi Abduh, adalah yang setia pada tujuan aslinya sebagai sarana untuk menyampaikan maksud Al-Qur’an untuk semua kalangan, yang menjelaskan maknanya dengan cara yang ‘memecut ruh dan menuntunnya kepada hidayah serta amal saleh’.

Tafsir Muhammad Abduh

Abduh nyatanya tak hanya mengkritik dan mengggagas. Dalam tulisan-tulisan tafsirnya, Abduh benar-benar menerapkan pandangannya dalam menafsirkan teks Al-Qur’an. Tercatat, Abduh pernah menerbitkan dua tafsir dari tulisan tangannya sendiri, yaitu Tafsir Juz ‘Amma dan Tafsir Al-‘Ashr. Selain itu, pengajian tafsir Al-Qur’an yang disampaikannya di Masjid Al-Azhar di kisaran tahun 1317-1323 Hijriah dicatat rapi oleh muridnya Rasyid Ridha dan dituangkan dalam tafsir monumentalnya, Tafsir Al-Manar.

Bila menelaah Tafsir Juz ‘Amma Abduh, semisal, kita bisa membaca bagaimana semangat Abduh dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan memberikan pemaknaan yang relevan dan tanpa menitikberatkan pada pendekatan formal. Pendekatan gramatikal dan linguistik yang Abduh terapkan tidak terkesan berlebihan sehingga menggeser makna utama dari ayat atau surat.

Justru, dibanding menyampaikan tafsir dengan bualan-bualan teoritis, dalam banyak tempat Tafsir Juz ‘Amma Abduh mencoba melakukan penafsiran dengan kacamata praktis sosial. Misal, ketika mengomentari ayat ke-9 Surat Adh-Dhuha, Abduh mengurai latar belakang sosial yang menjadi alasan dilarangnya menghardik anak yatim. Menurut Abduh, menghardik anak yatim, mengabaikan pendidikannya, akan berpotensi menghadirkan hama bagi strata masyarakat di masa depan. Sehingga anak yatim, demikian pula anak-anak yang lain, harus dirawat dan dididik dengan baik sebagai bakal individu masyarakat.

Baca Juga  Mana yang Lebih Tepat, Islamisasi Ilmu atau Islamisasi Ilmuwan?

Tidak seperti banyak corak tafsir sebelumnya, Abduh lebih memilih untuk tidak terlalu menyelami perkara-perkara gaib serta riwayat-riwayat tak valid. Pola yang akan kita temukan dalam Tafsir Juz ‘Amma bahwa tiap kali bertemu dengan ayat berkenaan perkara gaib, Abduh tak banyak berkomentar dengan dalih bahwa ‘kita tidak dituntut untuk menelusurinya lebih jauh’. Inilah yang menjadi pemisah antara Abduh dengan banyak tafsir sebelumnya yang terlalu jauh membahas perkara gaib dengan menyertakan berbagai riwayat asing sehingga memburamkan esensi ayat.

Keseimbangan Corak Tafsir Muhammad Abduh

Meski begitu, bukan berarti Abduh mau meniadakan sama sekali pendekatan formal dalam penafsiran Al-Qur’an. Sebagaimana yang telah disinggung, bagi Abduh, pendekatan formal menjadi sarana guna mencapai tujuan tertinggi yang dikehendaki dari tafsir. Ini mengimplikasikan perlunya fragmen sentuhan pembacaan gramatikal, literal, dan sebagainya itu dalam menafsirkan Al-Qur’an, sesuai dengan kadarnya. Bahkan, dalam banyak paragraf di bagian akhir mukadimah tafsir Tafsir Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya pendekatan bahasa dalam tafsir.

Rasyid Ridha secara gamblang menuliskan pandangan Abduh ini: “Aku (Abduh) katakan kini: Sesungguhnya Al-Qur’an adalah hujah Allah yang dahsyat atas agamanya yang hak. Maka Islam tak akan bertahan kecuali dengan memahami Al-Qur’an secara benar, dan tak akan ada pemahaman yang benar kecuali dengan hidupnya bahasa Arab.” (Bagian mukadimah tafsir dari Tafsir Al-Manar, hal. 29)

Inklusivitas tafsir yang ditawarkan Abduh adalah inklusifitas yang seimbang dan berjalan di tengah-tengah. Muhammad Abduh, sebagai sosok yang dicap sebagai reformis (mujaddid) di berbagai belahan dunia Islam, memang lekat dengan sikap moderat dan nirmemihak. Dalam pandangan tafsirnya, moderatisme itu bisa kita lihat secara jelas. Abduh mengakomodir pendekatan formal, utamanya pendekatan bahasa, sebagai pintu gerbang menuju makna. Tetapi, Abduh secara sadar melihat gerbang tetap sebagai gerbang dan bukan tujuan. Tujuan utama pemaknaan Al-Qur’an, bagi Abduh, tetap pada terealisasikannya Al-Qur’an sebagai petunjuk umat manusia, yang awam maupun tidak, sehingga hidayah tak lagi mengerucut pada elit tertentu.

Baca Juga  Pembelaan Muslim Terhadap Filsafat

Editor: Soleh

Daffa Allamsyah
1 posts

About author
Mahasiswa Sarjana di Jurusan Linguistik Arab Universitas Al-Azhar Kairo
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Profil Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *