Belum genap dua pekan virus corona (penyebab penyakit Covid-2019) dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO. Baru sekitar sepekan gerakan social distancing digerakkan secara massal oleh berbagai kalangan di Indonesia. Pengaruh wabah corona belum lama hadir di Indonesia, namun efeknya mulai terasa.
Saat ini, mayoritas provinsi di Indonesia telah memiliki kasus positif corona. Dengan sebagian kecil daerah mengambil tindakan yang sangat ketat untuk semaksimal mungkin mencegah menularnya wabah. Kasus positif corona pun terus melonjak, menunjukkan tren menuju puncak persebaran. Meski begitu, sembari menghadapi semua realita ini, nggak ada salahnya kita melihat jauh ke depan. Membayangkan hidup kita seusai wabah corona berlalu di masa depan.
Artikel ini nggak akan membahas analisis dari sisi medis seperti yang banyak tersebar di medsos. Bukan dari sisi keagamaan seperti tulisan Pak Boy atau Mas Azaki. Juga bukan tulisan yang membaca dinamika kepemimpinan dunia seperti ditulis oleh sejarawan Yuval Noah Harari. Artikel ini sebatas menengok fenomena di sekitar kita, masyarakat Indonesia, di masa pandemi corona.
Kuliah dan Sekolah Online
Persiapan menghadapi wabah corona membuat kalangan pendidikan serba keteteran—kalau nggak menyebut sebagai “panik”. Perguruan tinggi ternama di beberapa provinsi (terutama Jawa) pada 13 Maret 2020 memutuskan untuk meliburkan atau mengganti aktivitas tatap muka dengan kuliah daring (online). Nggak lama kemudian, sekolah-sekolah di berbagai provinsi menyusul kebijakan sekolah di DKI Jakarta yang telah mengganti kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas dengan KBM daring.
Setelah sekitar sepekan berlangsung, KBM daring baik di sekolah maupun perguruan tinggi mulai terasa perbedaannya dengan KBM tatap muka. Rata-rata, siswa/mahasiswa merasa KBM daring banyak kekurangan di sana-sini. Mulai minimnya interaksi, pergerakan yang di situ-situ aja, tugas yang justru lebih banyak, sampai kuota yang gampang sekali habis.
Apa yang terjadi sepekan belakangan tentu perlu diperhatikan dan dievaluasi, karena KBM daring inilah gambaran penggunaan teknologi informasi untuk pendidikan, akan sangat membantu jika diterapkan dengan baik. Jika evaluasi dilakukan dengan baik, sangat mungkin kuliah dan sekolah daring bertambah masif dan efektif setelah wabah corona berlalu.
Sebaliknya, jika kualitasnya “jalan di tempat” maka seusai wabah corona, kelas-kelas tatap muka akan kembali seperti sebelum pandemi melanda.
Hoax dan Kepanikan
Terlalu banyak hoax di tengah masa-masa yang berat secara psikologis seperti pandemi corona ini. Nggak sendirian, kepanikan datang menyusul hoax yang tersebar dengan cepat. Mulai panic buying sampai bentuk kepanikan yang rasis dan menyudutkan orang lain.
Sisi baiknya, di masa pandemi ini, lebih banyak orang mulai peduli dengan hoax. Memperingatkan para penyebar di grup WA keluarga, kompleks, sampai teman kerja yang biasanya hanya menanggapi dengan “mohon maaf cuma forward”. Fenomena ini memaksa kita untuk membiasakan verifikasi informasi berulang-ulang setelah tahu bahwa siapapun—iya benar siapapun, bahkan juga public figure dan stafsus milenial Presiden—bisa jadi penyebar hoax.
Begitu pula dengan panic buying dan bentuk kepanikan lain. Kita dan masyarakat di sekitar kita berlatih untuk nggak terlalu lebay jika menghadapi situasi semacam ini. Perlahan namun pasti menegur perilaku-perilaku panik yang justru merugikan, bahkan jadi penyebab kematian tenaga kesehatan yang kekurangan alat perlindungan diri (APD) karena kepanikan masyarakat.
Masa-masa wabah ini jadi pelajaran untuk seluruh masyarakat meminimalisasi hoax dan kepanikan. Memang, nggak mungkin dunia dan medsos kita bersih dari hoax dan kepanikan. Tapi setidaknya kita tahu informasi mana yang merupakan hoax, juga perilaku seperti apa yang merupakan bentuk kepanikan.
Kita juga mulai memahami bahwa hoax nggak bisa dianggap sepele dan berpengaruh langsung dalam kehidupan kita. Lalu setelahnya menyadarkan orang-orang yang terjebak hoax dan kepanikan. Hal ini mulai tertanam, bahkan dalam pribadi generasi X yang biasanya paling getol menyebar hoax dan berbagi kepanikan.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Begitu corona mulai jadi bahasan di dunia, panic buying komoditas kesehatan langsung terasa. Masker dan handsanitizer habis di mana mana. Ini buruk sekali dampaknya bagi masyarakat maupun dunia medis, namun di sisi lain menandai kepedulian terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Masyarakat menerima informasi, sekaligus membiasakan cuci tangan yang benar. Diikuti dengan perlunya penggunaan masker bagi yang sakit, juga pemahaman bahwa tidak perlu menggunakan masker jika tidak sakit. Sampai membiasakan menjaga kondisi badan dengan memenuhi gizi dan istirahat cukup.
Pertanyaannya, apakah PHBS ini bakal jadi kebiasaan yang berkelanjutan setelah wabah usai? Melihat apa yang terjadi di sekitar kita, sepertinya PHBS akan segera dilupakan begitu wabah selesai. Namun, mengingat wabah ini bukan kejadian yang dirasakan setiap generasi, terbuka kemungkinan PHBS lestari. Bahkan jadi pintu untuk kesadaran akan kesehatan lebih jauh lagi.
Lebih dari itu, PHBS juga bisa mengantarkan pada penghargaan terhadap pekerja di bidang kesehatan karena kita belajar akan pentingnya peran mereka. Apalagi kita sama-sama tahu beratnya perjuangan para dokter dan perawat, juga nggak sedikit korban jiwa karena corona dari tenaga kesehatan.
Interaksi Langsung
Kalau yang satu ini jelas. Kita akan merasakan makna yang berbeda setelah wabah selesai. Sebelumnya, seringkali momen-momen ketemuan jadi momen yang terganggu dengan pesan masuk, telepon, sampai notifikasi di medsos. Setelah wabah berlalu, tentu kita akan merasakan makna yang berbeda.
Pemaknaan tersebut bisa kita dapatkan karena social distancing membuat kita merasakan momen-momen yang sangat menyiksa. Begitu pula dengan pasien positif corona maupun PDP, mereka merasakan betapa sulitnya momen isolasi. Bahkan berdasarkan beberapa informasi yang tersebar, rasa frustasi pasti hinggap dalam diri pasien isolasi corona.
Rasa frustasi di saat ini yang membuat pertemuan makin bermakna di masa depan. Karena saat wabah, meskipun hanya satu-dua kasus positif terjadi namun satu kota harus merasakan dampaknya atas dasar pencegahan penularan wabah.
Transaksi online
Pendek saja, wabah ini selain menegaskan pentingnya aktivitas daring secara umum juga menyadarkan manusia akan pentingnya transaksi daring nontunai. Makin mendorong transaksi daring yang memang sedang naik trennya.
Selain praktis dan minim kontak fisik, transaksi daring juga sangat berguna menemani masa-masa social distancing. Nggak sebatas order ojek, taksi, dan makanan, berdonasi dan mengakses layanan hiburan pun sekarang sangat bergantung pada transaksi daring.
Bahkan, saya sendiri nggak membayangkan jika kita berada dalam pandemi tanpa teknologi transaksi online. Mungkin kepanikan akan berteman dengan situasi kelaparan dan kurang hiburan. Bisa jadi menciptakan kekacauan jauh lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang.
***
Manusia tercatat pernah mengalami wabah yang jauh lebih menyeramkan—pendapat ini sama sekali nggak bermaksud menyepelekan pandemi yang terjadi saat ini. Bayangkan sepertiga populasi Eropa musnah karena pes di abad pertengahan. Atau diperkirakan 20-100 juta manusia mati karena flu spanyol setelah Perang Dunia I—bahkan korban jiwa karena flu spanyol lebih banyak dari korban PD I itu sendiri. Dua hal yang nyaris mustahil terulang melihat tren pandemi corona saat ini.
Nggak banyak yang dipelajari dari riwayat wabah sebelum flu spanyol selain kengerian luar biasa dan cerita mencekam yang terekam turun-temurun. Namun dengan banyaknya pesatnya kemajuan saat ini dibanding dua zaman tersebut, pemaknaan manusia terhadap pandemi akan jauh berbeda. Termasuk apa yang kita rasakan setelah wabah usai.