Filsuf agung dari Timur, Lao Tzu, pernah menuturkan petuah yang menggugah kesadaran terdalam: “Menguasai orang lain adalah kekuatan; menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati.” Dalam dunia yang semakin gaduh oleh perebutan pengaruh dan kekuasaan, pesan ini terasa kian relevan. Krisis kepemimpinan tidak hanya melanda jagat global, tetapi juga menyusup hingga ke ruang-ruang sempit organisasi. Banyak orang berlomba-lomba memimpin orang lain, tetapi abai untuk terlebih dahulu memimpin dirinya sendiri.
Ironisnya, banyak yang bercita-cita menjadi nakhoda kapal besar, tetapi tak pernah tuntas belajar mendayung perahu kecil bernama diri sendiri. Padahal, kepemimpinan yang sejati bermula dari kemenangan atas diri. Inilah inti dari gagasan self-leadership yang ditawarkan Charles C. Manz (1983): kemampuan menata batin, mengelola dorongan, serta mengarahkan langkah pribadi sebelum mengatur laku kolektif.
Self-Leadership
Neck dan Manz (2004) mendefinisikan self-leadership sebagai proses untuk memengaruhi dan memimpin diri sendiri melalui pengarahan strategi perilaku dan kognitif tertentu. Dengan kata lain, seseorang yang tengah menjalankan self-leadership seharusnya mampu mengelola pikirannya sendiri, membentuk kebiasaan, memotivasi diri sendiri, serta mengambil tindakan yang relevan dengan tujuan dan nilai-nilai yang hendak dituju tanpa harus bergantung pada orang lain.
Pemimpin sejati mampu memengaruhi orang lain, namun sebelum itu, ia harus mampu membaca denyut hatinya sendiri. Kemampuan untuk memimpin diri sendiri itu berputar pada tiga poros utama: kesadaran diri (self-awareness), kepercayaan diri (self-confidence), dan efikasi diri (self-efficacy). Ketiganya berpadu dan menopang laku kepemimpinan seseorang, baik pada level privat maupun publik.
Kesadaran diri itu ialah kemampuan untuk menyelami batin terdalam, menyentuh alasan-alasan eksistensial tentang mengapa kita bergerak atau enggan bergerak. Kesadaran diri itu bukan hanya berkaitan dengan kemampuan untuk mengenali pikiran, tetapi juga menyangkut perjumpaan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi niat diri. Pemimpin yang memiliki kesadaran diri tingkat tinggi paham bahwa setiap langkah bukan hanya soal strategi, melainkan juga bagian dari laku spiritual dan tanggung jawab moral.
Pemimpin Tanpa Topeng
Dari akar kesadaran itulah tumbuh kepercayaan diri yang matang. Bukan lah sebentuk kepercayaan diri yang tumbuh dari fanatisme atau narsisme, melainkan dari pengenalan yang jujur atas kekuatan dan kelemahan pribadi. Pemimpin seperti ini memahami bahwa di setiap kelebihan itu menyimpan tanggung jawab dan dalam kelemahan selalu ada ruang untuk bertumbuh. Dengan kesadaran itulah, pemimpin seperti ini tidak akan berfokus pada citranya di publik; ia fokus untuk menyusun kompas pengembangan diri dengan penuh kesabaran dan keteguhan.
Sementara efikasi diri menjadi pilar ketiga yang menopang ketangguhan. Ia adalah keyakinan yang teguh bahwa setiap rintangan yang bisa dilampaui bukanlah karena kita selalu kuat, melainkan karena kita tidak berhenti untuk terus berusaha. Model pemimpin seperti ini memahami bahwa hidup adalah serangkaian pertaruhan, dan sebagai pemimpin, ia bersedia untuk hadir sepenuhnya dalam pertaruhan tersebut.
Self-leadership ialah latihan untuk menjernihkan mata hati. Di era ketika kata-kata dan penampilan bisa direkayasa, pemimpin sejati harus sanggup kembali pada titik awal: ketulusan. Sebab hanya dengan ketulusan itu, kepercayaan (trust) publik bisa terus bertumbuh. Kejernihan hati itulah yang secara pelan menyadarkan bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menguasai orang lain, melainkan jalan sunyi untuk melayani (servant leadership).
Memimpin Publik
Di tengah riuh-rendah panggung politik dan hiruk-pikuk gelanggang publik dewasa ini, kekuasaan kerap menjelma sebagai medan perebutan ego—tempat di mana ambisi pribadi tumbuh tak berbatas, dan pengabdian sering kali tersisih oleh nafsu pencitraan. Padahal, dalam lanskap kepemimpinan yang visioner, tugas utama seorang pemimpin bukanlah meraih tampuk kuasa semata, melainkan menaklukkan keakuan demi menyatu dalam denyut visi kolektif.
Dalam ranah pemikiran Anthony Giddens (2009), kehendak pribadi adalah ekspresi dari agensi—ruang gerak individu yang penuh kesadaran—sementara visi kolektif adalah cerminan dari struktur sosial yang menata arah hidup bersama. Keduanya bukan entitas yang saling bertolak belakang, tetapi berdialektika dalam medan sejarah: saling meneguhkan, saling menyesuaikan. Maka, kepemimpinan sejati mensyaratkan kematangan jiwa untuk menjembatani keduanya; menyublimkan kehendak diri ke dalam cita kolektif.
Jejak sejarah bangsa memperlihatkan bahwa para pemimpin agung lahir bukan karena hasrat berkuasa, tetapi karena panggilan jiwa untuk berbakti. Mereka adalah pribadi-pribadi yang mampu menjadikan kebesaran bangsa sebagai cermin kejayaan dirinya, bukan menjadikan kuasa sebagai cermin pembesaran dirinya. Kepemimpinan sejati bukanlah proyek pengabadian nama, melainkan ikhtiar pengabdian tanpa pamrih demi terbangunnya peradaban bersama.
Memimpin dengan Keteladanan Moral
Soekarno (1959) pernah menegaskan, “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya… Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu, jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas—agar kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas.” Sebuah ajakan spiritual untuk mentransendensi ego menuju orientasi langit: kebajikan, kemajuan, dan kebersamaan.
Spirit ini meniscayakan sejumlah langkah praktis yang tak bisa dielakkan. Pertama, organisasi harus menjadi ruang hidup yang merawat kesadaran reflektif dan membuka percakapan otentik. Visi bersama tak mungkin tumbuh dari dikte sepihak; ia tumbuh dari dialektika kesadaran yang melibatkan semua. Kedua, perumusan visi hendaknya bersifat partisipatoris, menjembatani idealisme dengan kenyataan, menghubungkan impian bersama dengan aspirasi individu. Ketiga, narasi kolektif harus dikembangkan bukan sekadar sebagai slogan, tetapi sebagai suluh perjuangan yang memandu arah gerak bersama. Dan keempat, kepemimpinan harus berbasis keteladanan moral—bukan sekadar instruksi formal. Pemimpin adalah ruh yang mengilhami, bukan sekadar lidah yang memerintah.
Bila langkah-langkah strategis tersebut dijalankan, kepemimpinan niscaya berjalan secara efektif dan membebaskan. Kepemimpinan yang tidak hanya berorientasi pada kekuasaan belaka, melainkan juga tercapainya visi kolektif melalui kepemimpinan yang efektif. Hal tersebut mendesak sebagai solusi di tengah krisis kepemimpinan saat ini.
Editor: Assalimi

