Belum ditemukan sumber secara pasti bahwa KH. Ahmad Dahlan menyuarakan al-Ruju’ illa Al-Qur’an wa al-Sunnah. Namun upaya pemberantasan tahayul, bid’ah, churafat (TBC) yang dilakukan Muhammadiyah pada masa awal bisa saja mengkiaskan spirit untuk memurnikan ajaran Islam agar sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah Nabi Saw. Maka hal itulah yang menjadi kata kunci.
Kalimat al-Ruju’ illa Al-Qur’an wa as-Sunnah sendiri tidak lepas dari gagasan skriptualisme (merujuk teks) dari Muhammad Rasyid Ridha. Gagasannya termuat dalam Tafsir al-Manar, di mana tafsir tersebut merupakan hasil pemikiran Ridha dan dua tokoh lainnya, yaitu Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani.
Ridha memiliki satu persamaan metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan Abduh, yaitu “Al-Qur’an sebagai sumber aqidah dan hukum”. Akan tetapi dalam beberapa hal pula, Ridha memiliki perbedaan dengan gurunya tersebut.
Penafsiran al-Ruju’ Ridha dengan Abduh
Pertama, Ridha cenderung menjelaskan pengertian-pengertian yang dapat ditarik dari suatu susunan redaksi. Hal tersebut bilamana terjadi pada ayat yang berbeda redaksi tetapi masih membahas topik yang sama.
Quraish Shihab dalam Studi Kritis Tafsir al-Manar menemukan celah perbedaan metode Ridha dengan Abduh pada aspek keluasan pembahasan kosa kata dan ketelitian susunan redaksi.
Kedua, penggunaan permasalahan yang menyangkut masyarakat terhadap bidang hukum, perbandingan agama, sunnatullah, serta penggunaan perkembangan ilmu pengetahuan lain terdapat luas dalam tafsir al-Manar. Metode tersebut boleh juga menjadi kekurangan karena sebagian menganggap Ridha terlalu membenar-benarkan teori ilmiah meskipun itu belum mapan.
Ketiga, penafsiran Ridha cenderung terpengaruh oleh Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat dengan ayat lainnya. Adapun hal ini dikatakan sebagai cara yang tepat untuk memahami tafsir Al-Qur’an karena adanya keluasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
Keempat, keluasan pembahasan kemudian dilanjutkan penafsiran ayat-ayat dengan hadis. Ridha banyak menafsirkan Al-Qur’an dengan memaparkan hadis-hadis riwayat sahabat dan tabiin yang dinilai sahih. Periwayatannya pun tidak sebatas isi kandungan, tetapi juga sisi transmisi periwayatnya.
Perbedaan poin ketiga dan keempat itulah yang menyebabkan gagasan Ridha dinilai skriptualis. Sedangkan al-Ruju’ (kembali) menurut pemahaman Abduh, umat Islam harus kembali pada Al-Qur’an dan sunah sebagai ajaran yang benar. Kebenaran ajaran tersebut, menurut Abduh harus dikontekstualisasikan dengan keadaan modern.
Pendapat Abduh tersebut karena alasan Al-Qur’an tidak hanya berbicara pada hati, melainkan juga terhadap akal. Akal itulah yang melepaskan manusia dari tradisi jumud dan taklid, sehingga membawa umat Islam kepada kemajuan. Dengan pemahaman tersebut, berkembangnya umat Islam, perubahan nasib, adalah dengan usahanya sendiri.
Kiai Dahlan terdorong untuk mendalami pemikiran Ibnu Taimiyah dan Abduh usai berdialog dengan Ridha. Pendalaman pemikiran tersebut didapatkan Kiai Dahlan melalui publikasi majalah al-Urwat al-Wutsqa dan al-Manar. Dari sanalah muncul gagasan untuk memurnikan tauhid, gagasan tersebut mulai dikenalkan tahun 1905 hingga berdirilah Muhammadiyah.
Di mana Posisi Muhammadiyah?
Secara garis besar, orang-orang di Muhammadiyah menerima Al-Qur’an dan sunah sebagai ajaran, sumber, dan contoh untuk perilaku Muslim yang sempurna. Namun, ada perbedaan yang runcing ketika sama-sama menerjemahkan konsep al-Ruju’.
Ahmad Najib Burhani mengidentifikasi bahwa adanya dua kelompok di Muhammadiyah yang sedang berebut narasi al-Ruju’. Kelompok itu disebut sebagai “Islam Murni” dan “Islam Progresif”. Islam Murni mewakili kelompok yang menginginkan gagasan Islam yang ‘autentik’, literal, dan merujuk kepada segala sesuatu pada masa awal generasi Islam/Salaf al-Shalih.
Kubu Islam Progresif sendiri mewakili pemikiran pembebasan, keterbukaan, serta keinginan untuk menggapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Perdebatan kedua kelompok internal Muhammadiyah ini berkaitan dengan wacana tafsir mana yang benar ketika membicarakan konsep al-Ruju’ itu sendiri.
Setidaknya kelompok Islam Murni menekankan al-Ruju’ ialah kembali pada Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Rasul, Sahabat, Tabiin, dan orang-orang shalih terdahulu. Tidak ada tafsir yang autentik dibanding tafsir generasi awal Islam di atas. Sedangkan konsep al-Ruju’ Islam Progresif mengacu kepada keteladanan tokoh-tokoh pada masa awal Muhammadiyah yang berkepribadian Al-Qur’an dan sunah.
***
Perdebatan antara kelompok Islam Murni dan Islam Progresif tidak kunjung menemukan kesepaktan. Tentu saja hal tersebut berimbas pada ketidaksinkronan dalam menyikapi isu-isu seperti poligami, kepemimpinan perempuan, hubungan antar umat beragama, hingga praktik bernegara.
Kemungkinan akibat perdebatan ini yaitu kelompok Islam Murni berisiko tidak patuh terhadap keputusan Muktamar, Fatwa Tarjih Pimpinan, dan pedoman-pedoman Muhammadiyah lain apabila dianggap kurang sesuai dengan penerjemahan harfiah mereka. Dari kelompok Islam Progresif juga dapat berakibat memudarnya khazanah keilmuan Islam klasik di kalangan warga Muhammadiyah sendiri.
Dilema dalam menafsirkan al-Ruju’ illa Al-Qur’an wa al-Sunnah adalah buntut dari kegagalan Muhammadiyah dalam menawarkan ideologi yang tegas dan kokoh kepada warganya. Terlebih sebagian orang-orang Muhammadiyah mendapat pengaruh-pengaruh eksternal, atau lebih tepatnya membawa ideologi ‘bawaan’. Kini Muhammadiyah perlu posisi ideal untuk lebih mempertegas konsep al-Ruju’ illa Al-Qur’an wa al-Sunnah. Tentu saja sebisa mungkin perlu pengelaboraisan antara penerjemahan teks dan keterbukaan terhadap modernisme.
Editor: Yahya FR