Perspektif

Menanggapi Sekularisme di Tengah Umat

2 Mins read

Kalau saja orang-orang menyimak fenomena historis di Indonesia terkait konteks perdebatan cendekiawan muslim mengenai sekularisme. Mungkin mereka akan mengatakan perdebatan tersebut sudahlah usang. Sebab, perdebatan tersebut telah dianggap selesai pada dekade 1970-an.

Sekularisme dalam Dialektika

Pada dekade 1970 sampai 1980-an telah terjadi dialektika internal di antara para pemikir Islam. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, antara lain tradisionalis, modernis, dan reformis.

Dalam hal menanggapi isu modernisasi, beberapa pemikir Islam terpengaruh oleh ilmu-ilmu sosial barat yang menawarkan sekularisme. Mereka menilai umat Islam pada masa itu ada kecenderungan ideologis yang sangat kuat. Sehingga dipersepsikan umat tidak akan mampu menghadapi atau terlibat dalam arus modernisasi.

Lalu. para pemikir Islam yang oleh Kamal Hasan disebut sebagai “kaum reformis” menentang cita-cita sekularisme tersebut. Pendek kata, para cendekiawan muslim tersebut akhirnya sepakat bahwa nilai-nilai Islam mampu diintegrasikan dengan sesuatu apa pun. Karena menjadi muslim tidak perlu menjadi sekuler.

Masalahnya, hal itu tidak tersosialiasikan dengan baik. Dalam artian tidak dimengerti oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan, orang-orang yang kita biasa sebut “kaum intelektual” yang mengaku muslim telah banyak yang terpengaruh dengan cita-cita sekularisme tersebut.

Tradisi Sekularisme

Secara sederhana, jika kita lacak dari akar historisnya. Sebenarnya sekularisme adalah tradisi dari barat. Dalam konteks kebudayaan barat, sekularisme merupakan konsekuensi logis dari timbulnya sistem dan cara berpikir rasional.

Hal ini dikarenakan agama Kristen dalam dirinya tidak mampu mengakomodasikan rasionalitas dengan dogma. Disebabkan hal ini lah, maka sekularisme menjadi sebuah keharusan sejarah yang mutlak harus ditempuh untuk terciptanya masyarakat rasional.

Usaha Penawaran

Kuntowijoyo, dalam buku “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi” menyatakan bahwa sistem pengetahuan Islam yang murni, yaitu sebelum beradaptasi dengan simbol-simbol paleoteknik. Sebelum Islam bercampur dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Atau sebelum berakomodasi dengan budaya magis dan mistis. Sesungguhnya Islam mempunyai cara berpikir rasional dan empiris.

Baca Juga  Islam: Melebur dalam Seni dan Budaya Indonesia

Dalam Alquran misalnya disebutkan, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Yusuf: 111). Saya coba menafsirkan bahwa ajaran Islam menganjurkan pentingnya penggunaan akal pikiran dan pencarian pengetahuan melalui observasi atau kajian yang empirik.

Dalam konteks ini, kajian tersebut untuk menemukan makna dalam kisah-kisah yang secara implisit tertulis dalam teks Alquran. Perintah-perintah itu mengisyaratkan kepada kita bahwa Alquran sesungguhnya penuh dengan cita-cita rasional dan empiris.

Di sini kita bisa bangga, berkaca dari ajaran-ajaran islam. Utamanya Alquran, menyimpulkan bahwa bagi islam, sekularisme bukanlah konsekuensi dari rasionalisme. Cita-cita rasionalitas dan empiris bagi Islam tidak dimaksudkan untuk terciptannya masyarakat sekuler.

Teologi Rasional Islam

Sebagai contoh misalnya, salah satu aliran dalam Islam yang mengedepankan rasionalitas tapi tetap tidak sekuler dan tetap maju adalah aliran Muktazilah. Aliran Muktazilah, menurut Kusnadiningrat, dalam “Teologi dan Pembebasan” disebutkan bahwa kelompok inilah yang mengembangkan ilmu kalam seperti yang kita kenal sekarang.

Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah bahkan menegaskan bahwa ilmu kalam adalah keahlian khusus kaum Muktazilah. Karenanya dalam perkembangannya, sebutan teologi rasionalIslam selalu merujuk pada corak aliran Muktazilah.

Islam Melingkupi Segala Aspek

Keutuhan islam, menurut Kuntowijoyo dalam buku “Maklumat Sastra Profetik” tidak dapat disusutkan ke dalam unsur-unsurnya yang disebut rukun (syahadat, salat, zakat, puasa, haji). Islam yang utuh itu harus juga meliputi seluruh muamalahnya. Istilah populernya, Islam mengatur segalanya, untuk kemanusiaan itu sendiri.

Jelaslah bahwa nilai-nilai Islam adalah all-embracing. Islam melingkupi segalanya, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Jadi jangan takut jika Islam tidak memiliki relevansi terhadap suatu hal.

Islam adalah ajaran yang melampaui zamannya. Tugas kita hanya perlu memberi tafsir baru terhadap ajaran tekstual untuk dapat menanggapi realitas kekinian dan memberi arah atau petunjuk sesuai nilai-nilai islam. Setujukah anda? Selamat menafsir dan berpikir!

Baca Juga  Sudahkah Kita Mengamalkan Al-Ma’un di Tengah Pandemi Covid-19?

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

2 posts

About author
Mengidolakan bapak sendiri, ingin hidup seperti bapak.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds