“Perempuan harus kerja lebih keras 2 kali, lebih baik 2 kali untuk mencapai level yang dianggap setara dengan laki-laki di dunia kerja. Sekarang, sebagian perempuan memang sudah berkarir, tapi produk kepercayaan lama bahwa dunia kerja bukanlah alamnya para perempuan masih belum sirna” (Najwa Shihab dalam ulasan Kartini Rules di Dunia Kerja, 2024)
Mungkin dahulu kala, mengapa perempuan acap kali di tempatkan sebagai warga negara kelas dua, bahkan muncul istilah “Dapur, Sumur Kasur,” karena memang keterbatasan pendidikan dan kapasitas perempuan. Maka seakan keterlibatan gender di ruang apalagi institusi publik lebih banyak diserahkan kepada laki-laki.
Saya secara pribadi berpandangan bahwa urusan keterwakilan perempuan dalam ruang dan institusi publik, atau pemimpin perempuan adalah persoalan hukum zhanniy, bukan qath’iy. Sehingga, tema ataupun isu mengenai keterwakilan perempuan, ialah persoalan yang sifatnya bisa dan sangat memungkinkan untuk ijtihad. Karena bukan dalam ranah ibadah pokok (mahdah), yang mutlak tidak ada ruang untuk berijtihad.
Oke, kita masuk ke pembahasan utama tentang bagaimana kemudian, apakah perempuan masih perlu kita “bela” dan dorong untuk menjadi masyarakat “setara” di institusi publik?
Saya iseng tanya kepada kawan laki-laki yang tidak mau disebutkan namanya. Ia mengaku sebagai laki-laki yang menjunjung tinggi nilai patriarkhi. Tapi, sejenak saya terhenyak mendengar jawaban pertanyaan saya perihal usaha membela dan memperjuangkan perempuan dalam ruang dan institusi publik.
“Ya menurutku walaupun aku orangnya tergolong laki-laki yang kata orang masih patriarkhi, sekarang dunia kerja yang dikedepankan adalah profesionalitasnya. Gender bukan lagi permasalahan yang dipersoalkan untuk batu ganjalan. Kamu pintar, kamu cerdas, kamu mampu bekerja secara profesional dan disiplin, ya kamu akan diterima di tempat kerja,” ujar kawan saya sambil senyum kecil.
Memang dunia kerja saat ini sudah sangat terbuka dan ramah terhadap semua gender. Tidak banyak jajaran middle manager bahkan top manager di perusahaan besar multinasional diduduki oleh perempuan. Katakan lah di Indonesia, beberapa perusahaan seperti perusahaan BUMN, ada beberapa yang dipimpin oleh perempuan. Misalnya perusahaan Pertamina. Perusahaan Pelat Merah tersebut dipimpin oleh perempuan bernama Nicke Widawati. Ia berhasil membawa perusahaannya mendapatkan penghargaann “Bintang Corporate Social Responsibility”. Semacam penghargaan terhadap perusahaan yang berhasil dalam mengelola CSR kepada masyarakat.
Maka, lain dulu lain sekarang. Anggapan bahwa kepemimpinan perempuan yang dahulu kala relatif sukar didengar. Masyarakat hari ini relatif sudah menerima kepemimpinan perempuan dalam jabatan-jabatan publik. Hampir sukar mendengar lagi pandangan yang mengharamkan pempimpin perempuan. Bahkan dari kelompok radikal-fundamental sekali pun.
Pasca order baru, perempuan yang masuk dalam perhitungan tokoh policy maker negara. Misalnya Sri Mulyani. Menteri Keuangan Republik Indonesia sejak zaman SBY hingga dilanjutkan di periode kedua Jokowi tersebut, merupakan salah satu srikandi policy maker strategis di antara pejabat eksekutif lainnya. Tanggung jawabnya untuk memastikan kas negara dikelola secara baik dan benar, membuat tak sembarang orang bisa duduk pada posisi tersebut.
Kalau di tataran legislatif, beberapa sosok perempuan juga sudah menjadi tokoh vital di dalamnya. Misalnya Puan yang duduk sebagai ketua DPR RI. Atau ada Meutya Hafid, Ketua Komisi 1 yang mengurusi perihal pertahanan dan kawan-kawannya. Serta masih ada beberapa nama lain yang juga posisi strategisnya sama dengan Puan, atau Meutya.
Hari ini, negara sudah tidak lagi alergi terhadap perempuan yang muncul di ruang dan institusi publik. Bahkan produk kebijakannya sudah mengarah untuk melindungi dan memberdayakan perempuan (baca: Disahkannya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Atau pun misal bicara lembaga negara, beberapa perlindungan sekaligus pemberdayaan perempuan sudah dilembagakan secara resmi. Misalnya terdapat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan.
Tetapi, kembali ke apa yang dikatakan oleh Najwa Shibab di awal, bahwa perempuan perlu kerja dua kali dari laki-laki untuk membuktikkan kualitasnya di ruang sekaligus di institusi publik. Ini alarm, jika memang alam bawah sadar dari masyarakat kita belum menerima jika memang perempuan menduduki posisi tertentu di institusi publik.
Ini tentu menjadi PR semua pihak, bukan hanya aktivis feminis yang berhak bersuara soal pengarustamaan gender di semua bilik-bilik institusi publik. Semua masyarakat, bahkan negara juga berkewajiban untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam institusi publik. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan untuk menghambat perempuan tampil di institusi publik. Apalagi mengintimidasi.
Karena sudah jelas, sebagaimana diktum Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang mewajibkan seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Dengan kita mendukung pola pengarustamaan gender, maka ke depan pasti akan lebih banyak lagi menteri, gubernur, bupati, hingga lurah dari unsur keterwakilan perempuan. Dengan demikian, produk kebijakan yang dihasilkan nantinya akan senantiasa tak melupakan esensi untuk melindungi serta memberdayakan perempuan.
*) Artikel ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan INFID