Tafsir

Mendudukkan Kembali Makna Hadits dan Sunnah

4 Mins read

Dalam artikel ini akan diuraikan mengenai konsep hadits dan sunnah. Pembahasan dalam tulisan ini lebih memfokuskan pada deskripsi serta analisis untuk membedah makna hadits dan sunnah. Tentunya bersandar pada pendapat para ulama yang muktabar.

Kemudian didasari dengan beberapa pertanyaan, apa itu makna hadits dan sunnah? kemudian bagaimana para ulama menjelaskan dua konsep ini? Adakah persamaan atau terdapat pula perbedaan dalam pandangan ulama hadits dan ushul? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas dan dijawab dalam tulisan ini.

Definisi Hadits

Menurut lughatan, dalam kamus Lisan al-Arab seperti yang dikutip oleh Prof. Muhammad Husain Mahasnah dalam karyanya yang sudah dialihbahasakan menjadi “Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam” hadits secara bahasa diambil dari kata hadatsa yang mempunyai arti dhiddu qadim atau lawan dari qadim yang berarti sesuatu yang baru.

Ia juga bermakna kabar yang datang dari seorangan atau banyak dan bentuk plural­-nya adalah ahadits. Prof. Husain kemudian mensitir kalamullah dalam surat adh-Dhuha ayat 11 di dalam ayat tersebut tersemat kalimat fahadits (fi’il amr) di ujung ayat, yang mempunyai makna ungkapkanlah, sebutlah, nyatakanlah.

Dari makna ini terkonfirmasi bahwa kata hadits adalah sesuatu yang diungkapkan oleh manusia. Lebih dalam lagi, hadits adalah perkataan yang keluar dari orang yang bicara kemudian ditransmisikan melalui riwayat atau tulisan. Dan hadits dinisbatkan kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Secara istilah, Prof. Husain meminjam pemaknaan kata hadits kepada Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Ilm Hadits” dijelaskan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah, baik perkataan (qawl), perbuatan (fi’il), persetujuan (taqrir), sifat khalqiyyah (fisik) dan sifat khuluqiyyah (perangai).

Lebih lengkap lagi, semua yang dikatakan Rasulullah bila itu berupa kabar maka wajib meng-amini-nya. Apabila berupa penetapan hukum (tasyri’) apakah itu wajib, haram, atau mubah maka wajib diikuti. Kewajiban mengikuti apa yang datang dari Rasul ditegaskan dalam firman Allah surat al-Hasyr ayat 7:

Baca Juga  Apa yang Harus dan Tidak Harus Diteladani dari Rasulullah Saw?

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. Mengenai ayat ini, maka setiap yang datang dari Rasul wajib ditaati.

***

Jika melihat penjelasan pengertian hadits di atas, dapat diklasifikasikan, bahwa ini adalah pengetian hadits menurut ulama ushul. Di mana hadits di dalamnya terkandung qawl, fi’il dan taqrir, sifat khalqiyyah (fisik)serta khuluqiyyah (perangai) yang terhubung dengan hukum syar’i.

Ditegaskan kembali, menurut analisa Dr. Munzier pengertian di atas adalah pengertian dari ulama ushuli, dikatakan hadits apabila ia hanya berkaitan dengan hal-hal ketentuan Allah yang telah disyariatkan. Dengan kata lain hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘Aiaihi Wa Sallam sebagai Rasulullah. Ini menurut mereka (ulama ushul) harus berbentuk sabda, perbuatan serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan seperti manusia biasa lainnya tidak tergolong dalam hadits.

Kembali meminjam pendapat dari Dr. Munzier dalam bukunya “Ilmu Hadits”, bahwa pengertian hadits mempunyai makna segala perkataan, perbuatan, dan ihwal (karakteristik) yang hanya dinisbatkan Nabi. Namun, menurut sebagian al-Muhadditsin, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas tidak hanya sebatas yang disandarkan kepada Nabi saja (marfu’), melainkan bisa juga untuk sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mauquf) dan juga kepada para tabi’in (maqthu’).

Definisi Sunnah

Sunnah secara lughatan bermakna siroh hasanah, atau jalan yang baik atau cara yang baik. Makna ini diafirmasi dalam sabda Rasulullah;

قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

Baca Juga  Mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin: Pilar Kedua Dakwah Rasul

Barangsiapa yang mengadakan suatu jalan yang baik di dalam Islam lalu (jalan itu) diikuti oleh orang sesudahnya, maka ditulis pahala baginya sebanyak pahala baginya sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu cara yang buruk di dalam Islam lalu (jalan itu) diikuti oleh orang sesudahnya, maka ditulis baginya sebanyak dosa orang-orang yang mengikutinya, dengan tidak kurang sedikit pun dari dosa mereka”. (HR.Muslim)

Menelaah penjelasan di atas, dapat diidentifikasi bahwa sunnah secara bahasa yaitu cara atau jalan yang baik maupun yang buruk, dan jika disebarkan berimplikasi kepada pelaku yang menunjukan cara atau jalan itu. Jika cara yang ditunjukan itu baik, maka akan mendapat balasan yang baik dan juga sebaliknya.

Dr. Munzier menginventarisir ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan kata “sunnah” seperti dalam QS. al-Kahfi (18): 55, QS. al-Isra (17): 77, QS. al-Anfal (8): 38, al-Hijr (15): 13, al-Ahzab (33): 38, 62. QS. al-Fathir (35): 43, al-Mu’minun (40): 85, dan QS. al-Fath (48): 23. Ayat-ayat tersebut terkandung di dalamnya kata sunnah.

Menurut Ulama Hadits, Mustafa al-Siba’i dan Muhammad Ajjaj al-Khatib, seperti yang dinukil oleh Dr. Munzir, bahwa makna sunnah secara istilah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, akhlaq, perjalanan hidup (siroh) sebelum menjadi rasul (kemuliaan budi pekertinya) maupun sesudahnya.

***

Jadi dilihat dari pengertian sunnah di atas, dapat diidentifikasi bahwa makna sunnah dan hadits adalah murodif, sinonim atau sama dalam ranah istilahnya. Sebagai catatan tambahan; dalam hal ini ulama hadits membawa makna sunnah kepada seluruh kebiasaan Nabi Muhammad, baik yang melahirkan syara’ maupun tidak.

Baca Juga  Mengambil Hikmah dari Pernikahan Rasulullah

Dikuatkan dengan argumen Prof. Syamsul Anwar dalam bukunya “Ushul al-Fiqh (dirasah naqdiyah fi iktisyaf al-ahkam asy-syar’iyah) yang diterbitkan oleh Madrasah Muallimin. Menurutnya, sunnah adalah sumber hukum dalam syariat Islam setelah Al-Qur’an al-Karim. Istilah hadits dan sunnah menurut para ulama ushul dan ulama hadits bermakna sinomin. Apabila disebut hadits, maka yang dituju adalah sunnah dan sebaliknya.

Namun berbeda dengan para ahli ushul, mereka mengatakan sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum syara’ saja. Ini didasari oleh pendapat Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam buku “Ushul Hadits”, bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad selain Al-Qur’an; baik perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang bisa dijadikan dalil hukum syar’i.

Lebih jelas, bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, maka yang dimaksudkan ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasulullah. Dan apabila disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksud Al-Qur’an dan Hadits.

Kesimpulan Hadits dan Sunnah

Jika diulas secara ringkas, maka secara bahasa dan istilah hadits adalah sesuatu yang baru berbentuk sabda, perbuatan serta persetujuan. Kemudian ini dikabarkan kepada yang lainnya, dimana semuanya itu dinisbatkan kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Lebih detail lagi, karena berkaitan dengan perbuatan Rasul, maka berkaitan pula dengan sifat khalqiyyah dan khuluqiyyah serta mempunyai konkesuensi untuk menaatinya dan menurut para ulama hadits. Hadits bukan saja apa-apa yang dinisbatkan kepada Nabi, namun bisa juga kepada sahabat dan tabi’in.

Adapun lebih ringkas, definisi sunnah menurut para ulama hadits adalah apa-apa yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad sebelum masa kerasulannnya dan sesudahnya. Namun, ulama ushul memberikan pengertian bahwa yang dimaksud sunnah adalah sebatas apa-apa yang bisa dijadikan hukum syar’i.

Editor: Saleh

Alvin Qodri Lazuardy
13 posts

About author
Ka. SMP AT TIN UMP (Berbasis Pesantren), Kab. Tegal dan Pengasuh PPM. AT-TIN UMP Pengkaji Pemikiran, Pendidikan Islam dan Kepesantrenan Alumni Ushuluddin UNIDA Gontor dan Magister PAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto Penulis Buku Merawat Nalar Salim dan Pandangan Hidup Islam Sebagai Dasar Mencintai Lingkungan
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds