Falsafah

Menemukan Kebahagiaan Hakiki ala Socrates

4 Mins read

Socrates adalah salah satu pendiri filsafat barat dan salah seorang filsuf paling terkenal di dunia selain muridnya Plato dan Aristoteles. Socrates hidup di era Yunani kuno antara tahun 470-399 sebelum masehi.

Namun faktanya, dia tidak pernah meninggalkan tulisan apapun dalam hidupnya. Apa yang tersisa dari ajaran filsafatnya hari ini, sebenarnya berasal dari muridnya Plato yang mengumpulkan dialognya dengan berbagai orang di Athena.

Ajaran-ajaran Socrates yang sampai pada hari ini dikumpulkan menjadi satu tulisan yang disebut sebagai “Dialog Socrates”.

Bagi Socrates, filsafat adalah perjalanan mencari kebijaksanaan. Dalam dialog Socrates, dia sering menguji kepercayaan orang-orang yang diajak bicaranya. Caranya dengan mengajukan pertanyaan kembali tentang hal-hal dasar yang dilakukan para pemuda kala itu, atau yang sering disebut dengan “Scepticism Philosophy”. Sebuah sikap mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat tidak pasti.

Tidak hanya kebijaksanaan yang tergambar dalam diri Socrates, tetapi juga keberanian sejati. Bayangkan saja, ketika dia sudah tua, dia dipenjara setelah pemerintah Athena menuduhnya merusak pemuda-pemudi yang diajaknya berdialog dan gagal untuk mengakui Dewa resmi yang dianut masyarakatnya pada saat itu. Alih-alih mencoba melarikan diri, dia malah memilih untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Setelah itu dia harus menerima hukuman mati dari kerajaan.

Pengendalian Diri: Pokok Ajaran Socrates

Mengajar dan menyebarkan filsafat adalah misi hidupnya. Socrates juga mendorong semua orang untuk mempelajari filsafat dan mengajarkannya ke semua orang bagaimanapun resikonya. Salah satu ajaran pokok yang terdapat dalam filsafatnya adalah tentang pengendalian diri.

Menurut Socrates, kebijaksanaan sejati juga memungkinkan  setiap orang untuk mampu mengendalikan dirinya dan melakukan apa yang benar dalam hidup mereka. Untuk mencapai pengendalian diri, orang harus bebas dari nafsu duniawi  atau tidak terlalu mengikuti kesenangan jasmaninya, seperti makan, minum, seks, atau kenyamanan fisik lainnya. 

Contohnya Socrates terkenal dengan kesederhanan hidupnya, dia bertelanjang kaki dan berpakaian sederhana setiap harinya. Dia berhasil mengendalikan nafsu, hasrat dan keinginannya sendiri. Dia hidup jauh dari kemewahan dan memilih disiplin dengan kesederhanaannya.

Baca Juga  Ludwig Wittgenstein: Menyemai Perdamaian dengan Permainan Kata

Kehidupan seperti itu mungkin sulit untuk diikuti dalam kehidupan modern saat ini. Sebab bagi banyak orang gaya hidup seperti itu tidak praktis dan tidak di nginkan karena jauh dari rasa pemuasan diri.

Meskipun demikian, dia masih bisa mengajari kita untuk meningkatkan kontrol diri dan mengendalikan keinginan tubuh kita. Socrates berkata “jika anda tidak mendapatkan apa yang anda inginkan, anda akan menderita, jika anda mendapatkan apa yang tidak anda inginkan anda juga menderita, bahkan ketika anda mendapatkan apa yang anda inginkan, anda tetap akan menderita karena anda tidak bisa mempertahankannya selamanya

Socrates mengingatkan kita bahwa keinginan individu harus ditunda atas nama cita-cita yang lebih tinggi. Salah satu ungkapan Socrates mengenai hal ini adalah “kesenangan tubuh (jasmani) bukannya tidak berharga tapi sebisa mungkin, kita harus menghindarinya”. Karena mereka mengalihkan perhatian dan mempengaruhi kapasitas penalaran kita. Jika kita tidak memiliki kendali rasional atas keinginan kita, kita tidak akan dapat membuat keputusan cerdas dalam hidup ini dan justru akan membawa kita menuju ketidakbahagiaan.

Menemukan Kebahagiaan Hakiki

Kunci menuju kebahagiaan dan kebajikan sejati menurut Socrates adalah mengalihkan perhatian kita dari kesenangan jasmani yang bersifat sementara menuju pada ketentraman jiwa yang bersifat jangka panjang.

Kenikmatan tubuh meliputi memanjakan diri dengan makanan, minuman, seks, kemewahan atau apapun yang memberi kita perasaan sangat puas secara fisik. Sebaliknya, ketentraman jiwa meliputi mencari ilmu, belajar filsafat, beribadah, dan menjauhkan diri dari perbuatan buruk.

Dalam beberapa hal, Socrates merekomendasikan gaya hidup mengasingkan diri, cukup dengan kesederhanaan dan  sangat keras dalam melawan nafsu. Misalnya, dia mengatakan bahwa para filsuf menentang tubuh dalam segala hal yang bersifat sementara, dan mereka memilih menghindari kesenangan, keinginan, rasa sakit, dan ketakutan sejauh mungkin.

Menurut Socrates, orang biasa atau non filsuf, memiliki jiwa yang tidak murni, selalu diperbudak oleh keinginan tubuh dan nafsu syahwat mereka serta membiarkannya mengganggu tindakan mereka sendiri, bahkan ketika sepenuhnya sadar. Orang-orang seperti itu, akan dengan mudah bertindak untuk mencapai kesenangan duniawi mereka.

Baca Juga  Stoikisme: Kebajikan Tidak Digapai dengan Malas Berpikir dan Rebahan

Sebaliknya, para filsuf berfokus pada kesenangan belajar; mengumpulkan pengetahuan, memahami kebenaran tentang apa arti keadilan dan kehidupan. Dengan demikian, mereka lolos dari penjara kenikmatan jasmani.

Sama seperti ajaran filsuf lainnya yang sejalan dengan Socrates “dalam kesenangan jasamani atau pada keinginan tubuh , kita perlu menemukan tujuan yang lebih tinggi dalam hidup ini“, artinya mengejar sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, daripada memenuhi keberadaan sementara kita saat ini.

Mamaknai Kehidupan Sementara

Jika kita hidup di dunia hanya untuk mengejar keinginan pribadi, apalagi mengejarnya satu persatu, kita tidak akan pernah bisa bahagia. Tidak peduli berapa banyak yang bisa kita penuhi, karena jika kita tidak dapat memenuhinya, kita akan menderita, jika kita memenuhinya karena pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak dapat mempertahankannya selamanya.  Bahkan jika kita memuaskannya, keinginan baru akan tetap datang kembali. Itulah prinsip nafsu, tidak akan pernah puas tanpa kita bisa kendalikan sendiri.

Tidak peduli berapa banyak makanan yang kita makan sekarang ini, tapi setelah beberapa jam, kita akan merasa lapar lagi. Ataupun jika kita membangun hubungan hanya didasarkan pada ketertarikan fisik semata, pada akhirnya hal ini akan memudar seiring waktu dan akan ditinggalkan dengan seseorang yang lebih dari kita. Akibatnya hubungan kita tidak akan bahagia, dan kemungkinan besar akan berakhir dengan pahit sebelum waktunya.

Begitupun jika kita mendapatkan banyak uang dan terperangkap dengan gaya hidup kaya, uang sebanyak apapun tidak akan pernah cukup. Semakin banyak uang yang kita hasilkan, semakin banyak barang akan kita inginkan untuk dibeli. Lebih baik menemukan tujuan hidup yang melampaui diri kita sendiri.

Membangun Visi Sejati

Jika banyak orang berfokus menghasilkan uang yang banyak hanya untuk menikmati liburan, membeli mobil mewah atau rumah besar, kita akan lebih bahagia dalam jangka panjang jika kita fokus menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik untuk ditinggali.

Baca Juga  Al-Ghazali & Kekuasaan (1): Pandangan dan Teori

Apapun profesi kita saat ini, alih-alih berjuang untuk mendapat pekerjaan dengan gaji paling tinggi di sebuah perusahaan, sebaiknya kita berfokus untuk mendapatkan pekerjaan atau memulai bisnis dimana keterampilan dan bakat kita akan memiliki dampak positif tertinggi bagi masyarakat.

Dalam kasus membangun hubungan asmara, daripada berfokus pada kesenangan fisik seperti kecantikan dan bentuk tubuh, lebih baik kita fokuskan pada hubungan yang bisa dijalani bersama. Misalkan saling mengisi satu sama lain, mencari pasangan dengan visi hidup yang sama, atau  hobi dan tujuan hidup yang selaras. Dan jika kita memilih untuk memutuskannya, bangunlah keluarga bersama dan membesarkan generasi berikutnya atas dasar kesamaan dan keberterimaan. 

Kesimpulannya, kita perlu mengikuti falsafah hidup Socrates yang bisa keluar dari penjara keinginan dan kepentingan pribadinya untuk tujuan yang lebih besar, kita juga perlu memperluas bidang minat, visi hidup, dan merumuskan tujuan yang lebih besar daripada keberadaan pribadi kita saat ini.

Kita tidak akan pernah benar-benar bebas dan bahagia jika kita diperbudak oleh keinginan tubuh kita sendiri. Kita hanya dapat mengendalikan diri dan hidup kita, jika kita tidak membiarkan keinginan jasmani mengarahkan hidup kita. Jangan sampai kesenangan sesaat memberikan dampak penyesalan hidup selama-lamanya, hanya karena terbuai dengan kebahagiaan fisik yang sementara.

Referensi

Hasan, Fuad, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, 1996.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisus, 2002.

Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT Gramedia, 1984.

Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius,

Sarwono, Sarlito, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan
Bintang, 2002.

Tjahjadi, Simon Petrus L, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Editor: Soleh

Faruq Abdul Qudus
1 posts

About author
Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Bidang Pengkajian Dakwah & Komunikasi)
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds