Mengamalkan Sunnah yang Bukan Cuma Ngutip Dalil Lalu di-Share. Hape macet-macet sudah mulai menunjukkan gelagat kalau memorinya perlu dibersihkan. Akhirnya saya menyeleksi berkas-berkas yang layak hapus. Tidak disangka menemukan file rekaman dari memori lebih dari 2 tahun lalu, oleh Ustadz Fajar Rachmadani, Lc., M.A. Ansyithoh Ramadhan Ma’had Ali bin Abi Tholib. Berikut adalah catatan yang coba merangkumnya.
Hilangnya Makna Sunnah
Hari-hari ini banyak kita jumpai pemakaian kata sunah dimana-mana, ada peci sunah, ada kemeja sunah dan adapula ustadz sunah. Di satu sisi ini pertanda baik bahwa sunah sudah kian akrab di telinga masyarakat. Tapi di sisi yang lain, sunah yang dipahami dengan penyematan pada baju, shampoo, atau parfum saja menjadi kehilangan maknnya.
Ustadz Fajar bercerita, suatu ketika ada mahasiswa gondrong diusir dari kelas oleh ustadz beliau. Bukannya nurut dan segera keluar, mahasiswa itu justru membela diri dengan mengatakan kalau rambut gondrong adalah sunah nabi. Panjang urusannya.
Memang sial betul mahasiswa satu ini, alih-alih meninggalkan kelas dengan tampang menyesal dan meminta maaf, ia justru menantang dosennya dengan argumennya yang lucu. Memang anak muda kadang masih lugu dan naif, kayak saya. Ustadz Fajar menjawabnya seperti saat beliau biasa memaparkan materi pelajarannya dengan runtut, singkat dan tepat sasaran.
“Apa yang kamu fahami tentang sunah?” tanya beliau.
“Ya pokoknya nabi rambutnya panjang, ya saya ikut nabi.” jawab bocah tadi.
“Nabi itu kendaraannya naqoh (unta). Kalau anda menganggap rambut panjang adalah yang dilakukan nabi, maka anda harus konsisten. Jangan hanya perkara-perkara yang sesuai dengan hawa nafsu anda lalu mengatakannya sunah nabi. Sedang yang tidak, anda katakan bukan sunah nabi. Itu namanya mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian yang lain,”
Beruntung bocah tadi tidak menambah perkara baru dengan bilang, “maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu” (apa yang tidak bisa didapat seluruhnya jangan tinggalkan seluruhnya). Panjang nanti urusannya.
Perbedaan Definisi Sunnah Menurut Ulama
Ulama sendiri berbeda pendapat dalam memberi definisi pada sunah. Definisi sunah menurut ahli hadis adalah kullu maa utsira ‘anin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama min qaulin, aw fi’lin, aw taqririn, aw siffatin khalqiyatin, aw khuluqiyatin, aw sirah (Semua yang pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam dari perkataan, perbuatan, keputusan, atau sifat fisik, akhlak, maupun perjalanan hidup beliau).
Sementara Ahli Fiqh mendefinisikannya, maa yutsabu ‘ala fa’ilihi wa laa yu’aqabu ‘ala tarikihi (Apa-apa yang mendapat pahala bila dikerjakan, dan tidak mendapat hukuman bila ditinggalkan). Biasa kita kenal dalam hukum taklifi yang lima itu.
Ahli Ushul punya definisi yang lain, maa udzifa ila An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam min qaulin aw fi’lin aw taqririn min maa yashluhu an yakuuna dalilan li hukmin syar’i (Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi dari perkataan, perbuatan, ataupun keputusan beliau dari apa sesuai untuk menjadi landasan hukum syariah).
Maka dari itu, perlu ada pembahasan lanjut untuk mengatakan suatu amalan adalah sunah. Nabi sendiri rambutnya sampai mankibain (kedua pundaknya). Apakah ini sunnah? Riwayatnya sahih, jelas. Sunah menurut definisi Ahli Hadis, iya.
Tapi belum tentu ketika anda mengamalkannya, anda mendapat pahala. Dan belum tentu ketika anda mengamalkannya, ada konsekuensi hukumnya. Apalagi kalau mempersempit makna sunnah dengan hal-hal yang bersifat aksesoris saja. Lha semua isi sahih Bukhori itu sunnah je. Tapi apa semuanya bisa dan boleh diamalkan?
Derajat Hadis dan Dalil
Lalu berkaitan tentang derajat hadis dan dalil, banyak orang-orang yang sudah canggih dan kritis sekarang. Tidak cukup ketika diberikan suatu dalil, rasanya ada yang gatal kalau tidak menanyakan derajatnya. Sahih ndak? Padahal nyambung huruf Arab saja belum bisa. Seakan-akan kalau sudah sahih, urusan sudah selesai, padahal sahih itu apa juga, mbuh.
Apa hukum salat? Ya, wajib. Apa dalilnya? Wal aa taqrabuz zina. Apa derajatnya? Sahih. Nah, yang semacam ini bermasalah dalam istidlalnya. Istidlal adalah metodologi memahami dan meletakkannya dengan benar.
Apa hukum kultum setelah tarawih? Harom. Apa dalilnya? Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa raddun. Kacau. Hal semacam ini bisa terjadi kalau dalam istidlal tidak dengan ilmu. Ini sudah tarawih pakai kultum, pakai slide lagi. Hadeeh..
Secara bahasa dalil berarti peta atau petunjuk. Maka kalau salah dalam memahami sebuah peta, bukan salah petanya. Barangkali orang itu salah dalam membaca peta. Sesuai Google Maps ya, mas.
Kalau cara memahami dalil sudah salah, kesimpulan (istinbath) yang diambil tidak jauh dari kekeliruan. Ini belum lagi bahas derajat hadis yang berkaitan tentang matan rawi dan semua yang terangkum dalam ulumul hadis. Belum lagi membahas ushul Fiqh, dengan kaidah-kaidahnya, nasikh-mansukh, ‘aam-khos, mutlaq-muqayyad dan nantinya baru sampai pada mengambil kesimpulan.
***
Berbekal derajat hadis yang didapat dari sosial media yang gambarnya memburam akibat di-share berkali-kali tidak cukup.
Jangan sampai ketika anda buang sampah sembarangan, lalu diingatkan anak TK, “Kak, an-nadzofatu minal Iman.” Lalu dengan mantap anda menjawab, “Dek, itu hadisnya dhoif.” Anak TK itu mungkin tidak akan tertawa melihat tingkah polah anda itu, karena memang tidak ada lucu-lucunya.
Sebenarnya masih ada beberapa bahasan menarik yang disampaikan Ustadz Fajar, tapi karena sudah cukup panjang, kapan-kapan disambung lagi.
Editor: Zahra