Membangkitkan kesadaran bersejarah, keputusan penetapan hari – hari nasional termasuk penetapan Hari Pendidikan Nasional dianggap beberapa pihak terjadi pengaburan fakta, a historis dan ada upaya de Islamisasi.
Hari Lahir Kiai Dahlan dan Hari Pendidikan
Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959 pada tanggal 28 November 1959 tentang penetapan tanggal 02 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional dengan didasarkan hari kelahiran pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara.
Timbul pertanyaan menarik, kenapa hari pendidikan nasional tidak didasarkan pada hari kelahiran K.H Ahmad Dahlan yang mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah 10 tahun lebih awal dari berdirinya Taman Siswa (1922) atau tanggal kelahiran Muhammadiyah yang pengaruhnya lebih luas dan besar hingga saat ini?
Satu tahun sebelumnya berdirinya Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan sudah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1911 di Yogyakarta. Selanjutnya beliau mendirikan sekolah agama (Muallimin, Muallimat, Diniyah Ibtidaiyah, Diniyah Wustho, Sekolah Tabligh, Kuliyatul Muballighin) dan sekolah umum ( Volkschool, Vervolg School, Normal School, Cursus Voor Volks Onderwijzer, HIS, Mulo, AMS, Hollandsch Inlandsche Kweekschool).
Gerakan dakwah pendidikan Muhammadiyah ini salah satu kontribusi paling nyata dalam mengawal pendidikan nasional. Saat ini Muhammadiyah sudah membangun sebanyak 4.623 TK, 5.264 sekolah (tingkat pendidikan dasar dan menengah ), 67 pondok pesantren, dan 177 perguruan tinggi. Jumlah yang tidak sedikit dalam berkontribusi mencerdaskan anak bangsa membangun peradaban Indonesia berkemajuan.
Belah Bambu Pendidikan Indonesia
Era penjajahan, siasat “Belah Bambu” (memecah belah untuk menguasai) juga terjadi dalam pendidikan. Siasat dilakukan melalui diskriminasi sistem pendidikan kolonial didasarkan status etnis, strata sosial dan hereditas antara bangsawan dan rakyat. Awalnya, pendidikan pribumi hanya untuk kalangan priyayi ningrat, melalui akses belajar/sekolah ongko siji dan ongko loro.
Waktu belajarpun hanya 3 tahun yang mengajarkan baca, tulis, dan hitung sederhana. Maksudnya menempatkan pribumi sebagai petugas administrasi kolonial dengan upah yang rendah. Pribumi dari kaum ningrat dan rakyat biasa dibuat semakin berjarak.
Munculnya politik etis, dengan dalih modernisasi pendidikan dan kolonial Belanda mendirikan sekolah pribumi untuk mengalahkan pesantren. Mematikan peran ulama dan tradisi keilmuan di kalangan Islam serta memunculkan sikap balas budi yang tujuan utamanya menumbuhkan loyalitas pribumi terdidik kepada penjajah.
Sebenarnya, tujuan pendirian sekolah pribumi bukan untuk memberikan ruang belajar bagi pribumi. Melainkan agar pribumi terutama muslim tetap terbelakang, rendah diri, dan keinginan penjajah (Belanda) tetap ingin menunjukkan superioritasnya.
Perlakuan berbeda, etnis Cina mendapat kesempatan membangun sekolah Hollands Chinese School (HCS) dan Ambon diizinkan mendirikan sekolah khusus yakni Ambonsche Burger School (ABS). Bagi kolonial, Cina adalah warga negara kelas kedua dan Ambon dianggap bagian strategi kolonial untuk memecah belah antar pendidikan pribumi.
Perbandingan Taman Siswa-Muhammadiyah
Muhammadiyah dikenal Gerakan Islam Modernis yang berasal dari elit agama kesultanan Ngayogyakarta. Pada fase awal berdiri, Muhammadiyah mencurahkan kegiataannya pada usaha–usaha pendidikan, tabligh/syiar nalar agama berkemajuan, sosial, dan literasi. Maka dibentuk Hoofdbestuur bahagian Sekolah, Hoofdbestuur bahagian Tabligh, Hoofdbestuur bahagian Penolong Kesengsaraan Oemat dan Hoofdbestuur Pustaka.
Khusus di pendidikan, mulanya perkembangan Muhammadiyah terkesan lambat dikarenakan benturan, tentangan hirarkhi pemerintahan dan keagamaan baik ekstern dan intern Islam yang menolak ide–ide Islam modernis.
Pendidikan Nasionalisme Islam modernis ala Muhammadiyah dihadangkan dengan Nasionalis Jawa yang secara umum menolak model nasionalisme Islam. Reaksi terhadap arus pasang pembaharuan muncul dari Suwardi Surjadiningrat, tokoh yang kemudian dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
Membaca ulang buku “Sejarah Indonesia Modern ”, menurut M.C Riklefs kehadiran Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922, merupakan upaya penolakan terhadap gerakan Islam Pembaharuan Muhammadiyah melalui jalur pendidikan.
Ki Hajar Dewantara bergabung dengan kelompok mistik Jawa “Seloso Kliwon” di Yogyakarta. Kelompok ini menganggap pentingnya sistem pendidikan baru yang bersifat lebih pribumi, non pemerintah dan non pendidikan Islam modernis.
Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa, yang memadukan pendidikan gaya eropa dengan pendidikan jawa tradisional. Akan tetapi tidak menerapkan kurikulum pemerintah hingga menolak dana bantuan pendidikan pemerintah karena mengutamakan kebebasan.
Muncul simpati terhadap model sekolah Taman Siswa dari kalangan terdidik yang kebanyakan dari Jawa yang menganggap bahwa Islam, dan tentunya Islam Modernis tidak cocok/bukan awal kebangkitan Nasionalisme Indonesia.
Titik Temu Taman Siswa-Muhammadiyah
Menelaah benturan Nasionalisme ala Islam Modernis dan Nasionalisme Jawa yang dalam pendidikan diwakili oleh sekolah Muhammadiyah dan sekolah Taman Siswa, tentu menguntungkan kolonial yang memainkan peran memecah potensi pendidikan sebagai arus utama perlawanan untuk kemerdekan dan kedaulatan Indonesia.
Pandangan penulis bahwa pengaburan sejarah, menghilangkan peran ulama dan upaya de-Islamisasi benar adanya, dengan harapan meluruhkan potensi kekuatan nasionalisme Islam.
Sekolah–sekolah Muhammadiyah maupun Taman Siswa menjadi kekuatan pendidikan menasional. Terbukti pada tahun 1925, dua tahun setelah meninggalnya K.H Ahmad Dahlan, Muhammadiyah telah mendirikan 55 sekolah. Berkembang, pada tahun 1930 -1938 organisasi Taman Siswa memiliki 166 sekolah sedang Persyarikatan Muhammadiyah memiliki 1.774 sekolah yang tersebar luas di pelosok nusantara.
Semakin meluasnya pengaruh Muhammadiyah dan Taman Siswa dengan berbagai sekolahnya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan taktik menyimpang dari esensi politik etis, berupa Ordonantie Sekolah Partikulir atau Ordonansi Sekolah Liar 1932 yang ditujukan pada sekolah–sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa dan sekolah pribumi lainnya. Di sinilah titik temu indah, dengan kepentingan yang sama, dan sama-sama tertindas oleh sistem kolonial.
Gerakan menolak ordonansi muncul dari Ki Hajar Dewantara dan pengurus Persyarikatan Muhammadiyah kala itu untuk memperjuangkan pendidikan pribumi (Nasionalisme Jawa dan Nasionalisme Islam Modernis). Menjadikan pendidikan sebagai pilar penting dalam mengawal nasionalisme sebagai cikal bakal lahirnya Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.
Sanding Peran Pendidikan Muhammadiyah Lintas Zaman
Pendidikan Muhammadiyah sampai saat ini berdiri tegak melintasi zaman. Sedang begitu banyak lembaga, yayasan, maupun organisasi pendidikan yang seusia dengan Muhammadiyah atau lebih muda mencoba mendirikan sekolah akhirnya mengibarkan bendera putih, menyerah dengan segala kompleksitas masalah.
Laju Muhammadiyah dalam mengawal pendidikan nasional melewati lima lintasan zaman. Mulai dari era penjajahan Belanda, era pendudukan Jepang, era Orde Lama, Orde Baru, era Reformasi, hingga saat ini.
Gerakan pendidikan Muhammadiyah adalah kiprah nyata membantu dan menentukan Republik ini, dari meraih, mempersiapkan, mengisi kemerdekaan. Pendidikan Muhammadiyah dan sekolah–sekolah Muhammadiyah juga telah menghasilkan cendekiawan, ulama, pemimpin berkemajuan yang ikut berperan mengawal perjalanan bangsa Indonesia dalam berbagai lini kehidupan.
Perumusan Tujuan Pendidikan Muhammadiyah sendiri didasarkan pernyataan KH Ahmad Dahlan :
“Dadiyo kyai sing kemajuan, lan ojo kesel–kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”
dan tujuan Muhammadiyah tahun 1914 : “Hendak menyebarkan pengajaran agama Islam kepada penduduk bumiputera di dalam residen Yogyakarta dan hendak memajukan agama Islam kepada anggota–anggotanya.”
Metamorfosa rumusan Tujuan Pendidikan Muhammadiyah mengalami 5 kali penyempurnaan (rumusan, 1921, 1936, 1954, 1971 dan 1985). Dalam rumusan Tujuan Pendidikan Muhammadiyah tahun 1985 adalah terwujudnya manusia Muslim yang bertaqwa, berakhlak mulia, percaya diri sendiri, cinta tanah air, berguna bagi masyarakat dan Negara, beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT.
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 02 Mei, merupakan momentum mengingatkan semangat kebangkitan pendidikan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak terjebak dalam debat penentuan hari bersejarah tersebut, Muhammadiyah bersepakat mengindahkan segala putusan, aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Hal ini sesuai dengan sifat dan karakter Muhammadiyah dalam Kepribadian Muhammadiyah : “Mengindahkan segala hukum, undang–undang, serta peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah”.
Momentum Hardiknas merupakan penyemangat dalam menjawab tantangan peran lembaga pendidikan Muhammadiyah ke depan. Muhammadiyah ditantang untuk terus menanam, menyemai benih–benih generasi ulul albab. Merupakan pribadi yang unggul dalam iman, ilmu, dan amal membawa misi Islam rahmatan lil ‘alaamiin.
***
Generasi ulul albab adalah bagian umat terpilih yang dicita–citakan Islam yaitu khairu ummah. Senantiasa mengajak kepada hal yang ma’ruf, mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah SWT.
Generasi ini tentu memiliki semangat mengembangkan nalar berkemajuan. Dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah abad kedua, kemajuan menurut Muhammadiyah adalah kebaikan yang serba utama serta unggul ruhaniah dan lahiriah.
Editor: Nabhan