Pernah suatu ketika, seorang murid mengajukan pertanyaan dalam kelas, “Pak Guru mengapa ada Islam, Kristen juga Budha? Mengapa ada Jawa, Sumatera juga Papua? Mengapa tidak dijadikan manusia itu sama semua, sehingga segala perpecahan, konflik, kekerasan serta perlakuan diskriminatif tidak mendapat wujud di muka bumi?”
Belum sempat terJawab, di kursi paling belakang seorang murid lain mengacungkan tangan tinggi-tinggi. “Bukankah Tuhan maha kuasa atas segalanya? Cukup diucapkan-Nya, kun faya kun, maka segalanya dalam persamaan.” Murid-murid mengangguk pelan. Mata di seluruh penjuru lantas mengarah pada sang guru.
Seketika kelas ditangkap sunyi. Seperti ada yang ditunggu-tunggu, namun belum juga kunjung tiba. Sementara itu kepala sang guru gaduh. Ia mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kepada remaja tingkat kedua sekolah menengah pertama.
Pikirnya, bahasa yang dipilih tidak boleh terlalu melangit sehingga mereka sulit paham. Pun jangan terlalu sederhana sehingga mengorbankan pesan yang sebenarnya ingin disampaikan.
Sang guru memutuskan berjalan ke meja, menarik kursi dan duduk. Dahinya mengernyit ketika menoleh ke patung garuda dengan sayap mengepak di atas papan. Terdapat dua foto pria berpeci dan berjas mengapitnya. Dalam cengkraman garuda itu, tertulis: bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Gumamnya lirih, “Tapi mengapa pula foto-foto itu hanya berisi orang Jawa?”.
Keberagaman adalah Fitrah Manusia
Kebanyakan dari kita menilai bahwa manusia memiliki fitrah yang menjadikan mereka semua pada hakikatnya sama belaka. Manusia dipandang sama-sama dianugerahi akal, kebebasan dan tugas kekhalifahan di dunia. Hal ini kemudian jadi justifikasi bahwa ‘persamaan total’ adalah segalanya sedangkan perbedaan adalah penistaan pada fitrah.
Bahwa berbeda berarti tersesat karena akal, atau gagal menggunakan akal. Bahwa tak sama berarti bebas secara bablas, maka harus ditumpas. Bahwa memiliki cara dan perspektif beragam adalah melawan kehendak-Nya. Intinya, fitrah dimaknai sama pada segalanya, hingga titik-komanya.
Tentu keberadaan paham seperti itu amat menggelisahkan. Seolah manusia yang sedemikian kompleks dan luar biasa jadi hanya sebuah buku yang sedikit halaman dan serupa isinya luar-dalam. Apakah benar bahwa yang seperti itu suratan takdir manusia yang diciptakan oleh Tuhan?
Terkait ini Tuhan justru katakan bahwa fitrah manusia adalah perbedaan, dan berbeda adalah jalan untuk manusia agar bisa mencapai takwa. Lebih detail lagi, takwa itu dicapai dengan pengenalan atas dirinya sendiri dan yang lain, sekaligus pada kompetisi sehat untuk menciptakan kebaikan bersama. Hal itu dapat dirujuk dari dua ayat berikut:
Wahai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, maha teliti. (Q.S. Al Hujurat [49], 13)
….Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan. (Q.S. Al-Maidah [5], 48)
***
Perhatikan bila pada keduanya Tuhan menyatakan ia sengaja menciptakan manusia dalam keberagaman. Nah justru keberagaman itu adalah karunia yang akan menjadi alat Tuhan dalam “menguji kamu”. Maka seharusnya perbedaan itu disyukuri karena ia mengizinkan kita untuk dapat “berlomba-lomba dalam kebaikan”.
Uniknya juga, bahwa perbedaan manusia tidak hanya ditentukan oleh warna kulit atau asal geografisnya (suku-bangsa), melainkan juga keyakinan mereka. Sebagaimana Tuhan mengisyaratkan dengan kata ‘jalan’ yang diciptakan pula dalam jenis bermacam-macam bagi setiap umat manusia.
Disini bukan berarti bahwa semua agama adalah sama. Tapi Tuhan memberi tugas dan kebebasan bagi manusia untuk menemukan sendiri jalan menuju yang satu, ya Tuhan itu. Perjalanan itu, sampai dimanapun, tak usah dikuatirkan. Cukuplah percaya bahwa Tuhan akhirnya “….akan mengumpulkan kamu semuanya.” (Q.S. Al Baqarah [2], 148)
Pada saat itulah, kemudian Tuhan akan menerangkan rahasia mengenai “…apa yang dahulu kamu perselisihkan”. (Q.S Al Maidah [5], 48).
Keberagaman itu Keindahan Sekaligus Kekuatan
Teringat sang guru pada suatu kajian shubuh di Darul Arqam Dasar lima tahun lalu. Yang paling ia ingat lagi persona seorang instruktur yang memandu. Suaranya lantang dan nadanya berapi-api, padahal ia terjaga selama dua malam. Sang Guru kemudian mengenang kembali momen itu.
“Aha!”, seperti telah menemukan ide bagus, sang guru segera bangkit dan menuju ke papan. Tampak mula-mula ia menggambar garis elips sebanyak tujuh buah bertingkat. Murid-murid kemudian heran kala guru memberi arsiran pada gambar. Sebab, jadinya yang tampak hanya sebuah pipa melengkung berwarna hitam.
Guru menyuruh untuk murid menebak gambar apa yang dibuatnya. Tentu, kebanyakan menyebut pipa hitam. Namun, ada pula yang menJawab bahwa itu gambar magnet atau–dengan sedikit ragu–sebuah tapal kuda raksasa. Sebagian lagi mengatakan dengan yakin bahwa itu adalah pintu terowongan.
“Ini adalah sebuah pelangi.” Terang Guru. Murid-murid bingung, bagaimana bisa disebutnya itu pelangi?
“Demikianlah manusia dan segala ciptaan Tuhan itu seperti pelangi. Mereka terdiri dari bermacam-macam warna yang jika disatukan bersama-sama akan membentuk keindahan. Disini yang sedang kalian lihat adalah pelangi dengan satu warna saja, warna hitam. Begitulah jika semua diciptakan sama: muram dan membosankan!”
***
Guru melanjutkan,”Dengan berbeda kita memiliki alasan untuk bertemu, berdialog dan menjalani proses kreatif untuk menciptakan suatu benda atau gagasan yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.”
“Perbedaan juga merupakan kekuatan kita. Pada kenyataannya, seseorang memiliki suatu kelebihan yang bisa ia bagikan, sementara kelemahannya dikompensasi oleh yang lain. Kerjasama apik diantara mereka itu yang telah menghasilkan peradaban teknologi yang kini kita nikmati.”
“Toh, bagaimana bisa kita menjalani hidup yang semua serba sama, seragam, tanpa corak? Tidak ada pilihan, tidak ada berpikir, tidak ada apa-apa. Semua sudah diprogram dan bekerja sekedar memenuhi serangkaian instruksi. Yang demikian itu bukan hakikat manusia, tapi mesin-mesin.”
Seorang murid kemudian kembali bertanya, seakan belum puas. Ia menyebut bahwa fakta yang ia temukan jika perbedaan membangun masalah di antara manusia. Ia menunjuk, misalnya, bagaimana pilihan politik pada pemilu lalu membuat keluarga besarnya memasuki perang dingin.
“Itu bukan karena perbedaan, melainkan karena kita lama tidak mengapresiasi perbedaan.” Guru lalu melanjutkan, “Disinilah kita sedang diuji Tuhan, apakah kita mampu menjadi umat terbaik yang bekerja bahu-membahu membangun kehidupan, atau—sebagaimana yang diperingatkan malaikat—malah membawa kehancuran.”
Siang itu kelas tidak berakhir secepat biasanya. Bel istirahat telah berbunyi, dan tampak murid-murid dari kelas lain berhamburan keluar. Hanya di kelas ini, diskusi masih terus berlanjut.
Editor: Yahya FR