Kesalahpahaman mengenai makna serta hakikat mukjizat para Nabi telah tersebar dan dianggap benar oleh masyarakat. Dalam konteks keilmuan, hal tersebut perlu dibenahi dan diperbaiki. Sebagai contoh, mukjizat para Nabi terdahulu berupa fenomena alam dan kejadian-kejadian di luar kebiasaan diklaim dan dianggap lebih hebat dari Al-Qur’an.
Dalil mengenai hal tersebut dapat dibuktikan melalui logika dan catatan-catatan para ulama’, seperti uraian Imam Jalalluddin al-Suyuthi dalam al-Itqaan mengenai alasan mengapa kaum terdahulu perlu diperlihatkan mukjizat sedemikian rupa agar berkehendak ittiba’ kepada Nabinya.
Watak tersebut tentu saja bertentangan dengan akal dan kemampuan umat Nabi Muhammad Saw. Umat ini cukup dengan didatangkan Al-Qur’an, mereka langsung mau dengan ikhlas mengikuti Nabi-nya dan menjalankan perintahnya.
Mukjizat Para Nabi Terdahulu
Nabi Musa AS dikenal mempunyai kaum atau pengikut yang bengal. Dalam Al-Qur’an, mereka diistilahkan dengan “Bani Israel” atau kaum yang memiliki kebisaan safar pada malam hari. Terdapat sekian nash yang menceritakan mukjizat Nabi Musa AS bersama kaumnya, seperti QS Taha:20:77 yang mengisyaratkan fenomena dahsyat dan tak terdandingi hingga kini.
Fenomena laut terbelah yang menyelamatkan Nabi Musa AS dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun bersama bala tentaranya merupakan mukjizat yang dapat dinikmati oleh panca indra, sehingga siapapun yang menyaksikan kejadian tersebut dipaksa agar percaya dan takluk.
Hal tersebut sesuai dengan definisi dan tujuan dari mukjizat, yaitu melemahkan atau menjadikan sebagian lainya lemah dan takluk. Namun, mukjizat tersebut bisa jadi hanya dapat dipercaya oleh siapapun yang menyaksikanya secara langsung saja, sehingga umat yang datang setelah itu memerlukan bukti dan sekian logika yang kuat untuk menjadikan mereka percaya.
Fenomena lain mengenai mukjizat yang bersifat hissiyah terjadi pada Nabi Ibrahim AS. Al-Qur’an menceritakan kejadian tersebut dengan gamblang pada QS al-Anbiya’:21:69. Pada momen tersebut, Allah Swt menyelamatkan Nabi Ibrahim AS dari api menyala yang hendak membakar beliau sehingga menjadikan musuh-musuh Nabi Ibrahim AS takjub dan terkesima.
Kedua mukjizat tersebut diistilahkan Imam Jalaluddin al-Suyuthi sebagai al-mukjizat al-hissiyah, atau sebuah kejadian di luar kebiasan yang mampu dinikmati melalui panca indra saja. Beliau mengkategorikan sebuah kaum atau sekumpulan pengikut Nabi yang diberi mukjizat bersifat hissiyah adalah kaum yang lemah pikiran dan daya nalarnya. Kekurangan tersebut beliau tulis dalam kitab fenomenalnya al-Itqaan fii Uluum al-Qur’an.
Mukjizat Nabi Muhammad Saw
Sekian mukjizat serupa (hissiyah) sebenarnya juga diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada bulan Rajab beliau diperjalankan badan dan ruhnya dari Masjidil Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsa (Yerusalem) dalam waktu yang singkat. Reaksi masyarakat dan lingkungan beliau tentu saja menganggap hal tersebut tidak masuk akal, bahkan beberapa dari mereka menganggap Nabi Muhammad Saw telah gila. Bagaimana mungkin perjalanan yang ditempuh selama 40 hari dalam waktu normal dapat ditempuh dengan masa semalam saja?
Beberapa kitab ulama’ mengenai mukjizat Nabi Muhammad Saw memperkuat pendapat tersebut. Diceritakan bahwa bulan yang selama ini kita lihat dahulu kala pernah dibelah oleh Nabi Muhammad Saw, bahkan Al-Qur’an membenarkan hal tersebut. Tidak cukup sampai di situ, dalam beberapa peperangan diberitakan bahwa para sahabat ditimpa luka amat parah seperti anggota badan yang patah dan mata tercongkel. Dengan izin Allah, Nabi Muhammad Saw mampu menyembuhkan luka para sahabat seketika.
Mukjizat dengan kriteria seperti ini tidak berbeda dengan mukjizat para Nabi terdahulu. Maka Allah Swt memberikan keistimewaan berupa mukjizat yang berbeda yakni kitab suci Al-Qur’an.
Imam Jalaludin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqaan fii Uluum al-Qur’an menguraikan bahwa diantara kelebihan umat yang diberi mukjizat Al-Qur’an adalah memiliki nalar dan kecerdasan yang hebat. Buktinya adalah umat tersebut mau dan tunduk mengikuti perintah Nabinya walaupun tidak berjumpa dan menyaksikan mukjizat nabinya secara langsung namun mereka memaksimalkan akal dan hati yang dilandasi keimanan dan taqwa.
***
Sebagai mukjizat, ajaran dan logika yang diajarkan Al-Qur’an tentu saja mampu membimbing dan menjadikan umat ini berakal, seperti permisalan nyamuk dalam QS al-Baqarah:2:26 yang menjadikan kaum kafir saling bertanya-tanya dan kebingungan.
Maksudnya adalah, kesalahpahaman kita dalam mendefinisikan mukjizat sebagai hal yang hebat berupa kejadian-kejadian alam saja. Padahal, untuk menciptakan seekor nyamuk saja kita tidak mampu. Maka betapa seseorang lemah akalnya apabila mendefinisikan mukjizat hanya sebatas kejadian alam saja.
Perbedaan karakteristik mukjizat tersebut menuntut agar kita sadar dan senantiasa berupaya untuk bersyukur atas kebesaran dan keutamaan yang Allah Swt berikan tanpa menganggap umat dan para Nabi terdahulu lebih rendah akal dan daya nalarnya daripada umat sekarang. Sebab qasas (cerita-cerita) para umat terdahulu amat berperan penting dalam mengajarkan ajaran dan syariat Islam di bangku kelas masa ini. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh