Falsafah

Mengapa Orang Berbuat Baik?

3 Mins read

Mengapa orang berbuat baik? Pertanyaan ini sangat menganggu saya dalam beberapa hari ini. Saya melihat tiga orang mahasiswi Kristen bersedia jatuh bangun menceburkan diri di medan pelayanan pada Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Surabaya. Saya melihat seorang anak muda membantu seorang ibu tua menyebrangi jalan yang sedang ramai di depan gereja. Saya juga melihat sepasang kekasih yang begitu mesra bergandengan tangan, siap untuk saling membahagiakan.

Kebaikan adalah harapan universal manusia. Setiap orang, jauh di dalam hatinya, ingin menjadi orang baik. Mereka ingin melakukan kebaikan, sedapat mungkin setiap saat dalam hidupnya. Dorongan untuk menjadi baik sudah selalu tertanam di dalam diri manusia.

Tradisi, Diri, dan Hati Nurani

Sedari kecil, kita diajarkan juga untuk menjadi baik. Tentu saja, pemahaman tentang apa yang baik terkait dengan sumber moralitas yang berbeda-beda. Agama dan budaya memainkan peranan besar dalam hal ini. Namun, ini semua tidak menjawab, mengapa orang menemukan dorongan untuk menjadi baik di dalam hatinya?

Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan, bahwa menjadi baik adalah bagian dari proses pelestarian diri manusia. Orang yang baik hati dan tindakannya cenderung lebih sukses dan bahagia dalam hidupnya. Mereka disukai keluarga dan teman-temannya. Ketika krisis melanda, mereka bisa mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.

Di samping pertimbangan untung rugi semacam ini, ada orang yang berbuat baik, karena dorongan hatinya. Ia merasa, jika berbuat baik, ia mengikuti panggilan hidup terdalamnya. Hati nuraninya memanggilnya untuk terus berbuat baik saat demi saat di dalam hidupnya. Pertimbangannya tidak lagi untung rugi demi pelestarian dirinya, melainkan dorongan hati nurani sebagai keutamaan.

Immanuel Kant, filosof Pencerahan asal Jerman, juga menegaskan bahwa moralitas, yakni pemahaman tentang baik dan buruk, sudah selalu tertanam di dalam akal budi kita sebagai manusia. Menjadi baik itu rasional, karena sesuai dengan kodrat alamiah akal budi kita. Hukum moral sudah selalu tertanam di dalam sanubari manusia, dan mewujud secara konkret di dalam kewajiban hidup sehari-hari yang dijalankan dengan setia.

Baca Juga  Perbedaan dan Kesetaraan Gender dalam Islam

Gagal

Lepas dari hal itu semua, banyak orang tetap tidak mampu mencapai kebaikan, walaupun mereka menginginkannya. Harapan mereka tidak sejalan dengan tindakan nyata mereka. Niat baik tidak dibarengi dengan kerja nyata untuk mencapai kebaikan.

Sebaliknya yang terjadi, yakni orang yang dikira baik ternyata menjadi koruptor, atau menjadi pelaku kejahatan biadab lainnya. Seorang pendeta yang melakukan pelecehan seksual pada salah seorang jemaatnya baru-baru ini di Surabaya adalah contohnya.

Mengapa ini terjadi? Mengapa niat baik kerap kali menjadi buah mimpi belaka, tanpa pijakan kenyataan? Saya berpendapat, bahwa ini terjadi karena beberapa alasan di atas, yakni tradisi, pelestarian diri, akal budi, dan hati nurani, tidak mencukupi untuk menjadi dasar bagi kebaikan. Masing-masing berpijak pada kesalahan berpikir dan ketidaktahuan.

Jika keempat alasan di atas tidak cukup, lalu apa dasar yang kokoh bagi kebaikan? Saya berpendapat, dasar paling kokoh dari kebaikan adalah kesadaran sepenuhnya akan jati diri sejati kita. Artinya, kita paham, siapa kita sebenarnya, sebelum segala identitas sosial ditempelkan pada kita.

Jati Diri Sejati

Kesadaran ini tidak dapat berhenti pada tingkat intelektual saja. Konsep, pengetahuan serta kepercayaan, sebagaimana ditawarkan oleh agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan modern, sama sekali tidak mencukupi. Kesadaran mendalam atas jati diri sejati kita adalah puncak kebijaksanaan, sebagaimana menjadi cita-cita dari berbagai orang besar sepanjang sejarah manusia.

Ini hanya dapat dicapai, jika orang bisa hidup di sini dan saat ini. Masa lalu ditunda sebagai ingatan semata. Masa depan dilihat sebagai harapan belaka. Ketika tubuh dan pikiran bisa sepenuhnya di sini dan saat ini, semua identitas akan tertunda, dan orang akan bisa menyadari jati diri sejatinya. Kesadaran akan keberadaan tubuh memainkan peranan amat penting di sini.

Baca Juga  Indonesia dan Peran Kebangsaan Muhammadiyah

Keadaan pikiran semacam ini lalu dipertahankan. Orang bekerja dan hidup dengan keadaan pikiran ini. Kebaikan lalu menemukan dasar yang kokoh. Ia tidak lagi dipengaruhi oleh tekanan tradisi, motif keuntungan diri ataupun kerapuhan hati nurani.

Bagaimana jika emosi kuat, seperti marah atau sedih, datang melanda? Caranya sederhana: kita kembali ke kesadaran akan tubuh kita. Segala emosi disadari, diberi nama dan dibawa ke dalam kesadaran akan tubuh yang kita punya. Dengan cara ini, perlahan namun pasti, emosi akan melebur dengan kesadaran yang merupakan jati diri sejati kita.

Kebaikan akan muncul secara alami. Saat demi saat, kita menemukan kedamaian dalam diri kita. Emosi dan pikiran boleh datang. Namun, kita selalu bisa membawanya ke dalam kesadaran tubuh kita. Di sini, kebaikan menemukan dasarnya yang paling kokoh.

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana|Aktivis Lingkungan| Komunitas sastra Alekot|Pengembara| Akun Facebook: Honing Alvianto Bana| Tiga tahun sesekali terlihat di Oenasi|Kelahiran Soe, NTT|
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds