Oleh : Nashir Efendi
Menganggap anak SMK/STM tidak punya kapasitas pemahaman tentang politik sama saja merendahkan kualitas sistem pendidikan Indonesia. Banyak yang mempermasalahkan anak STM tidak tahu konteks demonstrasi. Bagaimana mereka turun ke jalan, tidak serapi kakak-kakaknya. Namun gerakan ini tetap menarik, mengapa pelajar SMK/STM sampai aksi turun ke jalan?
Saya yakin mereka berangkat dengan kesadaran ada yang tidak beres yang dibuat di dalam gedung yang dijaga ketat oleh polisi itu. Tahun 1998, anak-anak SMA mengorganisir diri sendiri, menamai diri mereka Aliansi Pelajar Indonesia (API). Aksi demonya lebih gahar dari mahasiswa, sekalipun masih muda.
Mahasiswa Tidak Cukup
Melihat gelombang aktivisme yang terus meningkat akhir-akhir ini, dapat menghanyutkan siapa saja yang memiliki keresahan. Juga yang memiliki kegeraman terhadap kondisi bangsa. Kondisi-kondisi yang membuat masyarakat hampir kehilangan optimisme masa depan bangsa Indonesia.
Selasa (23/9) yang lalu aktor intelektual bernama mahasiswa yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat kelas bawah telah menumpahkan keringat bahkan darah. Mereka melakukan aksi di berbagai wilayah di Indonesia. Berdemonstrasi besar-besaran di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Republik Indonesia.
Kerja keras yang telah dilakukan tidak cukup membuahkan hasil yang memuaskan. Hanya berakhir abu-abu. Tidak hitam atau putih seperti yang diinginkan oleh ribuan mahasiswa.
Meskipun begitu tidak menyurutkan bara semangat mahasiswa untuk menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa. Jumlah massa dan daya dukung antar elemen dan wilayah semakin meningkat. Termasuk dukungan dari adik kandung mahasiswa, yaitu pelajar. Bahkan para pelajar rela keluar dari zona nyaman bernama sekolah.
Mengapa Pelajar SMK Sampai Aksi Turun ke Jalan?
Siapa sangka, ratusan siswa STM yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat justru beraksi dan bereaksi mewakili publik. Padahal tingkah laku dan masa depan mereka sering dianggap tidak jelas. Karena mereka keluar secara barbar dari segala cengkraman norma dan moralitas di dalam penjara berwujud sekolah.
Aksi demonstrasi ini tidak wajar bagi kebanyakan pelajar sekarang. Pelajar yang lebih memilih menikmati kopi dan senja hingga malam tiba. Atau mungkin hari ke hari hanya mengurusi tugas PR dari bapak/ibu guru.
Karena guru dan sekolah selalu menuntut murid untuk mengerjakan makalah berlembar-lembar. Hingga membuat isi kepala menjadi ambyar. Membuat pelajar tidak sempat memikirkan urusan negara yang tak kunjung reda
Akan tetapi siswa-siswa STM telah menunjukkan adanya gerakan pelajar yang mengejutkan. Mereka rela meninggalkan tempat bengkel las dan tongkrongan instragamable. Demi menjadi Gundala di dunia nyata, menemani kakak-kakak mahasiswa dalam menyuarakan kebenaran.
Tentu sang kakak senang ketika adik sendiri ikut dalam pertempuran melawan musuh kekuasaan yang sulit dikalahkan. Kalau bisa berjuang bersama, kenapa harus sendiri? Begitu pepatah melankolis yang sering dihafal siang-malam. Bahkan kini menjadi kalimat yang diingat kuat. Melebihi kuatnya hafalan rumus-rumus instan dari lembaga bimbingan belajar oleh adik-adik penikmat kopi dan senja.
Menumbuhkan Kesadaran Kritis
Lalu apakah aksi dari kelompok putih abu-abu ini memiliki kekuatan dan dampak yang sama dengan kakak-kakanya dari kalangan mahasiswa?
Jika yang dimaksud kekuatan dan dampak ini adalah sampai pada bertemunya dengan pimpinan DPR untuk melakukan audiensi, negosiasi dan lobbying, saya kira Pimpinan DPR tidak semudah itu menanggapi aksi sporadis ini.
Ketiga skill itu sangat tidak mungkin didapatkan oleh siswa STM dengan desain pendidikan berfokus pada pekerjaan dan industri. Yang dilakukan mahasiswa saja tidak diperhitungkan oleh penguasa, apalagi siswa STM. Mereka yang jauh dari kajian-diskusi-aksi, sehari-hari bergelut dengan dunia permesinan dan seisinya.
Selama ini mahasiswa dan akademisi yang selalu mengambil peran dalam memecahkan masalah kelas berat negara. Berkat segala kapasitas teoritis dan metodologis yang dimiliki. Sedangkan pelajar, apalagi siswa STM, belum memiliki kapasitas tersebut.
Akan tetapi hati nurani pelajar terusik. Hingga melakukan aksi demonstrasi di luar akal sehat pelajar. Sudah barang tentu kemungkinan terburuk tidak mereka pikirkan. Bahkan juga tidak terpikirkan oleh masyarakat. Bahkan polisi ikut kecolongan, meskipun tetap saja setelahnya menindak dengan segenap perlengkapan kemanan.
Gerakan Perlawanan Pelajar
Pergerakan yang tidak terbaca dari pihak keamanan ini tentu mengejutkan. Jelas saja gerakan ini dilakukan secara dadakan dan anti-wacana. Seperti yang selama ini menjadi ciri khas generasi Z ketika hendak melakukan sesuatu. Tidak terstruktur dan diperkirakan serta fleksibel.
Tidak seperti mahasiswa yang melakukan pengkajian berbulan-bulan diiringi dengan rapat konsolidasi dari tingkat jurusan, fakultas, universitas hingga antar universitas meretas sekat-sekat daerah dan wilayah diakhiri dengan bentukan entitas sebuah aliansi.
Belum dengan tuntutan tugas, praktikum, dan laporan serta dinamika mahasiswa yang lebih tinggi daripada pelajar yang membuat gerakannya mudah terbaca oleh pihak yang tidak menyukainya.
Cara-cara tersebut tidak ditemukan dalam tubuh massa aksi pelajar terbaru ini. Dengan kondisi kesibukan yang tidak setinggi mahasiswa, jadwal sekolah yang homogen, tingkat birokrasi dan tuntutan yang tidak seperti mahasiswa memudahkan pelajar mengorganisir teman sebayanya untuk melakukan aksi demonstrasi.
Keunggulan Pelajar STM
Namun, siswa STM memiliki beragam keunggulan dibanding mahasiswa. Pertama, kesetiakawanan pelajar lebih tinggi dari mahasiswa. Bagaimana tidak, anak yang tidak ikut aksi dianggap bukan kelompok atau teman lagi. Maka tanpa basa-basi anak tersebut berangkat untuk mengikuti aksi demonstrasi. Mereka melakukan hal tersebut tanpa tujuan konkrit sebagaimana aksi mahasiswa
Kedua, pelajar mengkaji isu secara cepat. Mereka mengorganisasi gerakan melelui media sosial. Mengkaji sumber hasil kajian-kajian yang telah dilakukan oleh akademisi kemudian dibagikan dengan segera di media sosial. Salah satu tuntutan yang terlontar adalah pembatalan pasal RKUHP tentang hewan yang masuk ke rumah tetangga. Di situlah nalar kritis pelajar patut mendapatkan nilai A.
Ketiga, letupan daya emosional. Karena alasan inilah mereka menggunakan peralatan yang tidak semestinya. Seperti senjata tajam, yang biasa digunakan untuk tawuran.
Secara nilai dan norma mungkin hal itu adalah sebuah bentuk penyimpangan sosial, akan tetapi dalam demonstrasi kali ini terbukti menjadi bukti perlawanan yang kuat. Momen ini menyatukan pelajar antar sekolah yang sering melakukan tawuran. Mereka memiliki kepentingan dan tujuan yang sama bahwa negara sedang tidak baik-baik saja.
Sekilas, fenomena ini juga terjadi di negara maju. Pelajar rela bolos sekolah dengan gerakan pemogokan sekolah bernama Friday for Future yang diinisiasi oleh Greta Thunberg. Seorang aktivis lingkungan kecil berumur 16 tahun yang rela mengambil cuti sekolah untuk melakukan demonstrasi di parlemen Swedia.
Dia mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan dalam rangka mengatasi krisis iklim. PBB pun mengapresiasi dan memfasilitasi dia untuk menyampaikan orasinya di Konferensi Tingkat Tinggi. Tidak seperti Indonesia yang mempersempit langkah gerak aktivis.
***
Jangan remehkan mereka, jangan pandang aksi mereka sebagai kenakalan. Karena mereka adalah penerus generasi yang mungkin jauh lebih kritis daripada generasi di atasnya. Saya akan ceritakan pada anak-cucu saya, bahwa mereka pernah berperan dalam usaha mempertahankan kepentingan publik dan demokrasi di Indonesia.
Panjang umur pelajar!
Salut untuk kalian semua!
*Penulis adalah Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Timur