Perspektif

Mengapa Perkawinan Harus Dicatat?

3 Mins read

Perkawinan yang tidak tercatat dan memiliki buku nikah kerap kali menimbulkan kesusahan. Sebab mereka yang ingin melaksanakan haji tidak dapat berangkat, karena terkendala buku nikah. Bagi yang sudah memiliki anak tidak dapat menyekolahkan anaknya karena tidak memiliki akta kelahiran. Serta masih banyak lagi akibat hukum dari tidak dimilikinya buku nikah. Sebenarnya seberapa penting perkawinan itu dicatat?

Saya mendapati salah satu desa di kabupaten Bandung Barat,  menurut catatan Kepala Desa, tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, disebabkan oleh ekonomi yang cukup rendah, perkawinan yang tidak dicatatkan sekitar empat ratus pasangan  lebih. namun yang dapat saya dan teman-teman jangkau hanya sekitar seratus pasangan.

Angka fantastis tersebut memang menjadi masalah yang sangat disadari oleh Kepala Desa setempat.  Awalnya memang menjadi kegalauan tersendiri jika hendak membuka data tersebut kepada kami, namun berjalannya waktu Kepala Desa bersedia membagi masalah yang sedang dihadapi. Sekilas memang ini kesalahan dari mereka, pasangan yang tidak melaksanakan perkawinan di hadapan petugas pencatatat perkawinan.

Tidak Ingin Mengurus Perceraian

Setelah melakukan penelusuran sebagian pasangan tidak ingin mengurus perceraian di Pengadilan Agama, karena jarak yang lumayan jauh, bahkan terdapat pasangan yang bercerai di RW setempat. Ironisnya memakai kop dan stempel RW yang menerangkan bahwa keduanya telah bercerai. Kawin lagi dengan yang lain, ditempuh dengan perkawinan sirri, lalu memiliki keturunan.

Sebagian enggan melakukan perceraian di Pengadilan Agama karena buku perkawinan mereka tidak keluar.  Hiingga sekarang perkawinan mereka tidak tercatat di Pencatat perkawinan. Ini ditemukan saat Kuliah Kerja Nyata Fakultas Ilmu Keislaman UM Bandung, membuka pendaftaran Itsbat Nikah, tanggal 1-29 Februari 2020

Sebagian pasangan lainnya, memiliki kasus yang berbeda, agar lebih jelas saya akan merunut kronologi perkawinan yang mereka tempuh, dari kronologi ini, terlihat apa saja yang mengakibatkan masyarakat terkena imbasnya.

Baca Juga  NU Larang Keras Warganya Berpolitik Identitas

Pertama, pasangan mendaftarkan kepada petugas pembantu pencatat nikah (P3N) dengan biaya sejuta lebih. kedua, P3N menikahkan pasangan yang mendaftar, dengan tidak memberikan buku kawin, alasannya tidak jelas, seminggu ditagih oleh pasangan kepada P3N, namun P3N tidak memberikan. Hingga sekarang buku kawin tidak keluar dan mengakibatkan terhambatnya proses administrasi lain. Rumah tangga mereka berlanjut hingga sekarang, tanpa dicatat oleh P3N.

Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 16 tahun 2019 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan sebagaimana undang-undang yang berlaku.

Ramulyo Idris dalam Hukum Perkawinan Islam (1996) melihat bahwa pencatatan perkawinan wajib dilakukan oleh warga negara, mengingat pentingnya kepastian dan kemaslahatan dari klausul pasal tersebut. Setidaknya problem di atas telah mewakili urgensi dari proses pencatatan, di samping permasalahan lainnya yang akan timbul dikemudian hari.

Dari hasil wawancara saya dengan Kepala KUA Cisarua, Bandung Barat, sebagaimana juga tercantum dalam Permenag No. 19 tahun 2018 tentang pencatatan perkawinan; menyebutkan bahwa unit pelaksana bagi umat Islam adalah Kantor Urusan Agama. Sehingga pendaftaran dapat langsung kepada KUA, sedangkan P3N pada tahun 2016 surat tugasnya tidak diperpanjang oleh Menteri Agama, sehingga P3N dapat dikatakan illegal dan tidak memiliki dasar hukum untuk melaksanakan tugasnya untuk mencatatkan perkawinan.

Membangun Kesadaran Hukum

Memang jika dibiarkan bukan hanya pasangan suami istri yang menjadi imbasnya, tetapi anak hingga keturunan mereka yang akan merasakan juga, penulis pada saat itu merasa perlu untuk memberikan solusi bagi mereka yang mengalami masalah hukum.

Sebagaimana dijelaskan oleh Prof Soerjono Soekanto dalam Kesadaran dan Kepatuhan Hukum (1982), bahwa terdapat beberapa tahap dalam membangun kesadaran hukum. Pertama, Memberikan pengetahuan hukum masyarakat tentang hukum yang berlaku dalam undang-undang.

Baca Juga  Di Era Milenial, Mahasiswa S1 Bisa Kalahkan Dosen S3

Kedua, memahamkan hukum  kepada masyarakat dengan menjelaskan mengenai isi peraturan, manfaat dan akibat dari peraturan hukum yang berlaku. Ketiga, Dari pemahaman tersebut tentu akan terbangun sikap masyarakat terhadap peraturan yang berlaku.

Keempat, timbul perilaku hukum, sejauh mana masyarakat melaksanakan peraturan tersebut. Jika sudah melaksanakan sepenuhnya maka masyarakat dianggap sadar terhadap hukum.

***

Sebagian dari masyarakat yang melangsungkan perkawinan di desa tadi, setidaknya mereka tahu terhadap hukum yang berlaku, sehingga mendatangi P3N untuk melangsungkan dan mencatatkannya. Namun disebabkan oknum P3N yang bertugas tidak baik, seolah-olah menipu, mereka harus merelakan uang di atas satu juta rupiah dan tidak mendapat buku nikah.

Melalu pengalaman tadi, kesadaran mesyarkat meningkat. Sehingga ketika saya dan teman-teman membuka pendaftaran, disambut baik oleh masyarakat. Banyak pasangan yang mendaftarkan perkawinan dengan mengikuti Itsbat nikah yang kami selenggarakan besamaa Pemerintah Desa dan Pengadilan Agama setempat.

Dari seratus pasangan yang terkumpul, hanya dua puluh lima pasangan yang masuk kepada perkara Itsbat  nikah, selebihnya mengurus sendiri dengan perkara yang berbeda, karena tidak masuk kepada perkara Itsbat nikah. Beberapa dari mereka telah melangsungkan perceraian dengan tidak mendaftarkan ke Pengadilan Agama. Lalu melangsungkan perkawinan secara sirri, bahkan ada yang sudah punya tiga orang anak.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Muhammadiyah Bandung
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds