Inspiring

Masa Pendewasaan Diri ala Soe Hok Gie

5 Mins read

Lingkaran pertemanan semakin mengerut merupakan sesuatu yang sangat wajar apabila dialami oleh makhluk hidup yang biasa bercengkrama kesana kemari atau dalam artian ia memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi. Setelah lulus SMA pada umumnya akan mengira bahwa kebahagiaan bersama teman almamater putih abu akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Rupaya itu semua perlahan akan terkikis diakibatkan oleh kesibukan dan masing-masing visi hidup yang akan dicapai.

Tidak dapat dimungkiri juga mereka yang sedang merindukan moment kebersamaan semasa remaja akan selalu mencari tahu keberadaan dan nasib temannya pada saat ini. Kiranya hal yang akan kita alami adalah merasakan semacam kebingungan bahkan cemas ketika melihat teman seperjuangannya kala itu yang sudah menoreh berbagai prestasi bahkan karir yang mapan.

Kemungkinan ekspresi yang akan dilontarkan yaitu: “Kok aku gini-gini aja yaa…, di umur aku yang akan menginjak dewasa, kenapa aku ga sehebat mereka…” atau, “Kenapa mereka lebih sukses? Padahal mereka seumuran…”. Adakah dari pembaca yang merasakan hal seperti ini? Tenang, jangan khawatir jika kamu merasakan hal-hal di atas. Artinya, kamu sedang berada dalam fase Quarter Life Crisis (QLC).

Mengenal QLC (Quarter Life Crisis)

Nampaknya penulis akan menjelaskan QLC secara perlahan, sebab penulis bukan insan yang memiliki konsentrasi terhadap ilmu psikologi bahkan ilmu jiwa. Quarter Life Crisis atau QLC merupakan fase di mana seseorang yang berkisar usia 20-30 tahun mengalami insecurity, keraguan akan diri sendiri, kecemasan, kehilangan motivasi dan kebingungan untuk memikirkan masa depannya bahkan yang parahnya adalah masalah finansial.

Fase ini mungkin di mana kamu mulai mempertanyakan tujuan hidup, makna kehidupan serta merasakan bahwa selama ini tujuan yang kita perjuangkan sulit diraih karena berbenturan dengan realita.

Ketika menginjak fase ini kita jangan khawatir, karena yang mengalami hal seperti ini tidak hanya kamu sendirian. QLC ini normal terjadi pada seseorang yang sedang berada pada fase peralihan dari remaja ke dewasa, di mana isi kepala sudah dipenuhi dengan tanggung jawab yang dimiliki terasa lebih berat dari sebelumnya, ditambah lagi dengan tekanan besar dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Baca Juga  Pak AR, Pancasila dan Diplomasi Politik "Jalur Helm"

Pengaruh Lingkaran Pertemanan

Mungkin pilihan yang terberat bagi ia yang menginjak usia remaja adalah ketika memilih jurusan kuliah di sebuah universitas, bahkan yang tidak kalahnya membuat cemas yaitu memilih kampus mana yang akan dijadikan tempatnya untuk mendapatkan ilmu sebagai penunjang karir.

Perlu diketahui bahwa sebenarnya ambisi untuk mendapatkan cita-cita di atas apabila kita tidak memahami esensinya secara mantap, jangan harap bahwa kebahagiaan akan selalu menyertai. Paling tidak hal tersebut hanya akan menjadi euforia belaka.

Pada pertengahan jalan perkuliahan terkadang mereka seringkali menyalahkan keadaan. Padahal keadaan saat itu juga adalah hasil dari apa yang ia perjuangkan, semisal merasa tidak cocok dengan jurusan yang dipilih. “Apa yang aku pelajarin selama ini sebenernya sesuai ga sihh sama aku?” atau pikiran, “Arrgghh…. Aku harus gimana, yang aku lakuin selama ini sia-sia ga sihh?” Fenomena ini merupakan serangkaian dari peristiwa QLC.

Tetapi yang harus menjadi catatan yaitu munculnya QLC bisa jadi ada faktor pengaruh pergaulan teman sebaya. Ketika menggunakan suatu pilihan menurut diri pribadi, rasa kemerdekaan jiwa akan dinikmati ditambah dengan kenyamanan menjalani prosesnya.

Namun di tengah perjalanan seiring dengan aktivitas kita di luar perkuliahan, sebut saja semacam organisasi bahkan komunitas, tanpa disadari dapat mempengaruhi pilihan awal kita. Mahasiswa PAI (Pendidikan Agama Islam) mungkin memilih prodi tersebut diakibatkan oleh dirinya yang pernah menyandangi gelar santri atau ingin memperdalam ilmu keguruan berbasis agama.

Nyatanya di tengah masa perkuliahan ia akan merasa bahwa jurusan yang dipilihnya tidak sesuai, ketidaksesuaian ini diakibatkan oleh organisasi yang ia geluti memiliki konsentrasi kajian sosial-politik, sehingga mahasiswa tersebut merasa bahwa dirinya adalah mahasiswa FISIP (Fakultas Ilmu Sosial Politik) bukan PAI lagi. Dari sini kita juga harus lebih memahami skala prioritas dan kekonsistenan ketika berada di fase QLC.

Gie Yang Selalu Digandrungi

Sebaiknya saya akan mengenalkan rekan idola penulis sewaktu awal memasuki masa perkuliahan. Sebab penulis menduga semua mahasiswa belum mengenal sosok Gie diakibatkan kalah tenar oleh oppa oppa Korea, padahal keduanya sama-sama memiliki mata yang sipit.

Baca Juga  Baharuddin Lopa (1): Pejuang Hukum dan Kebenaran yang Langka

Dunia pergerakan mahasiswa di Indonesia melahirkan sejumlah tokoh yang kharismanya tetap lekang di ingatan dari zaman ke zaman. Gerakan mahasiswa tahun 1966 yang berperan dalam menurunkan presiden Soekarno misalnya, melahirkan sosok Soe Hok Gie seorang tokoh demonstran yang mati muda. Buah pikirannya digandrungi oleh kaula muda dan mahasiswa pergerakan. Lebih dari seorang demosntran.

Gie bukan saja dikenang karena aktivitas politiknya namun juga idealisme kemanusiaan yang tidak terbelenggu oleh identitas rasial yang disandangnya. Tentang kemanusiaan kala itu ia mengatakan, “Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasakan kedukaan”.

Pikiran-pikiran Gie yang tertuang dalam tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media massa pada 65-66 ikut mewarnai wacana krtis di kalangan mahasiswa dan kelompok kritis lainnya yang gemar mengkritik rezim Soekarno.

Kritik keras Gie pada rezim Soekarno yang dianggap kurang memperdulikan nasib rakyat, ikut menjadi api pembakar daya kritis mahasiswa kala itu. Mahasiswa kini masih dapat menyelami alam pikiran Gie dalam catatan hariannya yang berjudul “Catatan Seorang Demosntran”.

QLC Yang Dialami Gie

Dalam sejumlah aksi demonstrasi, Gie tidak hanya dikenal sebagai orator yang bersemangat tetapi juga ia adalah demonstran yang militan. Ia pernah dikisahkan menghadang laju tank dengan berbaring di aspal sebaga ikhtiar agar tank tersebut tidak mengenai para demosntran.

Namun senyentrik apapun dalam pribadi Gie tetap saja dirinya mengalami QLC sebagaimana remaja yang transisi pada umumnya. Arief Budiman selaku kakak kandung Gie pernah menceritakan bahwa Gie sempat resah dan bingung atas seluruh aksi dan demonstrasi yang dilakukannya.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Baca Juga  Jurnalis Kritis itu Bernama Bung Ahmad Syafii Maarif

Tidak hanya itu, Gie juga mengalami teman-teman seperjuangannya lama-lama mulai berkurang akibat sebagian dari kawannya bergabung pada rezim Soeharto dan pura-pura tidak peduli terhadap permasalahan rakyat. Padahal Gie yang seusia dengan kawannya ia masih setia untuk gerak bersama rakyat proletar.

Atasi QLC Ala Gie

Kita harus mampu untuk menahan dari segala rasa ingin membandingkan diri dengan orang lain, terlebih mendengar cibiran dari masyarakat yang berdampak pada ketidakpercayaan diri pada fase ini.

Gie walaupun berjuang dengan keras hingga orangtuanya menyuruhnya agar berhenti melakukan aksi demonstrasinya dia tetap berpendirian teguh untuk menjadi manusia yang merdeka. “Hidup hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih menjadi manusia merdeka” Gie kala itu.

Kemerdekaan merupakan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, tetapi juga merupakan sebuah gedung yang kosong. Menjadi tugas pendukung-pendukungnya untuk mengisi kemerdekaan. Ya nampaknya Gie sudah berhasil mepertahankan idealismenya agar dapat membersamai dengan mereka yang tertindas.

Ia tidak menghiraukan segala cibiran orang terdekat bahkan keluarga atas apa yang ia perjuangkan. Hingga sekarang namanya abadi beserta pikiran-pikirannya walau jasadnya yang sudah dikremasi dileburkan di sekitar Semeru.

Gie juga berpesan agar kita mengenal diri sendiri “who am i?”. Apapun aktivitas kita harus diawali dengan kesadaran. Ini adalah pertanyaan yang filosofis “who am i?” jika anda tidak mampu menjawab ini maka kita tidak akan bisa melakukan apapun dalam hidup ini. Ketika kita akan bertindak dan bergerak tentunya harus mempunyai titik pijak “saya ini siapa?”

Dengan mengenal diri sendiri maka ia akan tahu demarkasi antara sesuatu yang dia tahu dan yang tidak tahu, ia juga akan sadar seberapa penting dan alasan apa yang membuatnya melakukan sesuatu. Mulailah dengan kesadaran masing-masing, sebab tanggung jawab diri adalah kewajiban pribadi. Kepada pemuda, bebanmu akan berat, jiwamu harus kuat. Akan tetapi, aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu.

Editor: Rizki Feby W
Avatar
4 posts

About author
Filsuf Jalanan | Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds