Oleh: Akhmad Idris*
Pendidikan karakter menjadi topik yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan tersebut ditandai dengan penyebutan kurikulum K-13 sebagai kurikulum berbasis karakter. Pengembangan pendidikan karakter dapat ditunjang dengan pengembangan kemampuan literasi moral.
Literasi moral memang menjadi istilah yang belum familiar di Indonesia, karena selama ini literasi hanya dianggap sebagai kemampuan membaca dan menulis. Masyarakat lebih sering mendengar istilah literasi media, literasi digital, literasi data, dan lain sebagainya; padahal literasi yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah kemelekan moral.
Literasi Moral
Literasi moral digunakan untuk mengambil keputusan etis dalam situasi-situasi tertentu. Mengerjakan tugas dari sekolah dengan mengunduh tugas orang lain di Internet akan dihindari oleh seseorang yang memiliki kemampuan literasi moral. Penolakan terhadap hal tersebut disebabkan pemahaman bahwa menggunakan tugas orang lain untuk diri sendiri adalah tindakan yang tidak etis.
Mirisnya, menggunakan tugas orang lain untuk kepentingan pribadi adalah fakta yang sering terjadi di kalangan pebelajar-pebelajar yang berpedoman jalan pintas dianggap pantas. Kenyataan ini sudah cukup membuktikan bahwa pengembangan literasi moral adalah hal yang sangat urgen, lebih-lebih untuk menyukseskan misi “kurikulum berbasis karakter” milik kurikulum K-13.
Pengembangan literasi moral dalam rangka meng-goal-kan pendidikan karakter memang sebuah gagasan yang bagus. Namun, masalah utamanya adalah “Bagaimana cara mengembangkan literasi moral anak-anak yang telah hidup di zaman ucapan Mbah Gugel lebih didengar daripada nasihat orang tua? Bagaimana cara mengajari anak-anak tentang literasi moral, jika mereka lebih betah membaca status teman-temannya di media sosial daripada membaca buku-buku tentang sopan santun dan tata karma?”.
Jawabannya adalah satu di antara cara mengembangkan literasi moral yaitu menggunakan karya sastra yang berupa novel-novel dengan predikat Best Seller.
Novel dan Pendidikan Karakter
Jika muncul sebuah pertanyaan, “Mengapa menggunakan novel? Apa hebatnya novel? Mengapa harus Best Seller?”; maka inilah jawabannya.
Karya sastra dapat dijadikan sebagai hiburan dan nasihat hidup. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Wellek & Werren dalam karya mereka yang berjudul Thery of Literarture. Mereka mengatakan bahwa fungsi seni (sastra) adalah dulce dan utile. Sastra adalah keindahan sekaligus pesan. Satra dapat digunakan sebagai sarana untuk menikmati keindahan melalui teks dan mengambil nasihat-nasihat kebaikan dari teks tersebut.
Novel adalah salah satu jenis karya sastra yang cukup berpotensi untuk membantu pengembangan pendidikan karakter, sebab novel itu indah. Sebab keindahan inilah, banyak pembaca yang terpesona hingga larut ke dalam alur ceritanya. Jika keindahan novel mampu membuat pembaca larut, maka keindahan cerita yang dibalut dengan unsur-unsur moralitas dapat mengajarkan tentang pendidikan karakter secara tidak langsung lewat proses membaca tersebut.
Predikat Best Seller menjadi faktor penting karena berhubungan dengan selera baca. Novel-novel yang tidak berpredikat best seller cenderung tidak diminati oleh pembaca. Oleh sebab itu, penggunaan novel-novel Best Seller diharapkan membuat anak-anak (dapat diartikan sebagai siswa) tertarik untuk membacanya. Sehingga secara tidak langsung anak-anak belajar tentang etika dalam kemasan membaca sastra.
Satu di antara novel yang isinya didominasi oleh nilai-nilai etika dengan alur cerita menarik dan berpredikat Best Seller adalah novel Serial Anak-Anak Mamak karya Tere Liye. Serial Burlian, Pukat, Amelia, dan Eliana (sekarang telah berganti judul) mengisahkan tentang kehidupan anak-anak yang dipenuhi dengan kepolosan-kepolosannya dengan bingkai perilaku-perilaku bijaksana.
Kepekaan etika dan kemampuan penalaran etis menjadi tema besar dalam rangkaian kisah menarik dalam novel-novel tersebut. Misalnya saja kisah tentang bolos sekolah yang merupakan kebiasaan siswa ketika merasa bosan belajar atau sedang dilanda keinginan bermain daripada belajar. Di dalam novel Burlian, disajikan sebuah pemahaman yang baik tentang sisi buruk bolos sekolah lewat kisah Burlian yang diajak ke hutan (Burlian bolos sekolah karena bermain di hutan) selama seharian penuh dan tidak perlu berangkat ke sekolah. Barulah, Burlian memahami bahwa belajar di sekolah lebih menyenangkan daripada berada di hutan selama seharian penuh.
Contoh lainnya adalah kisah persahabatan antara Burlian dan Ahmad. Burlian digambarkan sebagai anak yang spesial karena memiliki pemahaman yang baik atas sesuatu. Sedangkan Ahmad digambarkan sebagai anak yang berkulit hitam, dekit, berambut keriting, dan sering dimanfaatkan dan dihina oleh teman-temannya. Hal tersebut terjadi karena Ahmad merupakan sosok yang pemalu.
Pendidikan karakter yang disajikan dalam kisah tersebut adalah momen ketika Burlian memutuskan membela Ahmad yang diejek dengan sebutan “Anak Haram” oleh kakak-kakak kelasnya. Burlian tanpa ragu melindungi Ahmad dan meyakinkan Ahmad agar tidak perlu bersedih atas hinaan tersebut, sebab ia akan selalu melindungi Ahmad dari cacian tersebut. Kepekaan etika yang ditunjukkan oleh Burlian dapat menyadarkan pembaca (khususnya siswa-siswi) bahwa hinaan, ejekan, dan cacian (bullying) dapat diatasi dengan baik lewat dukungan teman-teman terdekatnya.
***
Inti dari tulisan ini adalah memberikan sebuah gagasan solutif tentang problem degradasi moral yang terjadi di bumi pertiwi saat ini. Jika kurikulum, kebijakan, dan aturan tidak mampu menyelesaikan masalah itu; barangkali sastra (novel) mampu menyelesaikannya. Tak ada yang salah dalam mencoba, bukan?
Pada akhirnya, satu hal yang ingin disampaikan oleh penulis adalah manusia boleh-boleh saja memiliki kepandaian di atas rata-rata, tetapi sopan santun dan tata krama adalah wujud nyata manusia menunjukkan kemanusiannya. Mengutip pepatah Arab, bahwa manusia tanpa etika tak lebih dari sekadar hewan yang dapat berbicara.
*) Penulis. Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Editor: Nabhan