Tafsir

Mengenal Corak Filsafat dalam Tafsir Al-Qur’an

3 Mins read

Tafsir falsafi terdiri dari dua kata tafsir dan falsafi. Pertama adalah kata tafsir. Secara bahasa, tafsir adalah masdar (kata benda transitif) dari kata “fassara”, yang setimbangan dengan kata “taf’il”. Tafsir berarti menjelaskan (al-idhah) dan menerangkan (al-tabyin). Terkait hal ini, Allah berfirman dalam surat Al-Furqan: 33, yakni: 

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”

Kata kedua adalah filsafat. Kata filsafat berasal dari kata Yunani, philo dan shopia yang memiliki arti cinta akan kebijaksanaan. Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (kebenaran) dan memperoleh hikmat (kebijaksanaan).

Dengan demikian, jika digabungkan menjadi tafsir falsafi. Menurut al-Dzahabî, pengertian tafsir falsafi adalah upaya pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang sejalan dengan pemikiran filsafat atau penafsiran ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat.

Sejarah dan Perkembangannya

Keberadaan tafsir falsafi, sudah barang tentu memiliki sebab, faktor, dan yang melatarbelakangi hadirnya penafsiran tersebut. Jamak diketahui bahwa filsafat berpegang pada akal dan istidhlal (argumen). Sedangkan, istidhlal ‘aqli juga ada dalam sumber Islam, hal tersebut juga diungkap dalam Al-Qur’an.

Kemunculan tafsir yang memiliki corak falsafî bersamaan dengan perkembangan ilmu dan science di lingkup pemerintahan Islam. Perkembangan corak falsafî di dunia tafsir dimulai semenjak periode penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Yaitu pada masa khalifah Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah terkenal dengan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu filsafat.

Hal tersebut juga merujuk pada al-Dzahabî, ia menjelaskan bahwa cikal bakal lahirnya penafsiran bercorak falsafi dimulai pada masa Abbasiyah khususnya khalifah al-Mansur (136 H) dan al-Ma’mun.

Baca Juga  Amina Wadud: Perempuan Bukan Makhluk Inferior!

Pada masa tersebut, dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan hal tersebut juga, dilakukan gerakan untuk penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Ketika itu, orang-orang muslim telah mengetahui pemikiran-pemikirang orang-orang Yunani dan Iran.

Pekerjaan menerjemahkan karya-karaya tersebut mendapatkan apresiasi yang tinggi dari Khalifah. Di samping itu, filsafat adalah hal baru di kalangan umat Islam, terutama tentang buku-buku karaya Plato (427 SM-347 SM) dan Aristoteles (384 SM-322 SM).

Efek dari penerjemahan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab secara produktif melahirkan tokoh-tokoh baru dalam dunia filsafat. Khususnya filosof muslim atau disebut juga dengan filsafat Islam, seperti al-Farabî (870-950 M), Ibnu Sinā (980-1037 M), Ibnu Misykawaih (932-1030 M), dan yang lainnya.

Al-Farabî sebagai filosof dan juga penerjemah karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab diberi julukan dengan al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles.

Ciri-Ciri Tafsir Falsafi

Setiap corak ataupun metode dalam penafsiran Al-Qur’an, memiliki ciri masing-masing. Muhammad Ali ar-Ridhā’ȋ al-Isfāhani memberikan karakteristik tafsir falsafi sebagai berikut.

  1. Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berhubungan dengan wujud Allah dan sifat-sifat-Nya.
  2. Memperhatikan ayat-ayat mutasyābihāt.
  3. Menakwilkan zahir Al-Qur’an dan merekonsiliasikan antara pendapat filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, serta mengambil ayat-ayat yang sesuai dengan filsafat.
  4. Memanfaatkan akal dan bukti (burhan) dan mengadopsi pendekatan ijtihad dan rasional dalam tafsir

Motif untuk interpretasi adalah pertahanan pandangan filosofis dan teori-teori filsafat pada khususnya.

Kita harus paham bahwasannya yang menjadi ciri khas dari kajian tafsir falsafi adalah penafsirannya yang dominan terkait wujud dan sifat Allah melalui pendekatan filsafat. Selain itu tafsir falsafi cenderung menjelaskan penafsiran dari ayat-ayat mutasyābihāt, menakwilkan zahir ayat-ayat Al Qur’an, dan merekonsiliasikannya dengan filsafat.

Baca Juga  Menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendapat Sendiri itu Dilarang!

Artinya, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an harus sejalan dan sealur dengan filsafat. Dengan demikian, pendekatan ini mutlak memanfaatkan akal serta mengadopsi pendekatan ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Hal yang menarik untuk dikritisi dari ciri yang diberikan ar-Radha’i di atas adalah motif interpretasi dengan pendekatan filasafat adalah untuk mempertahankan pandangan filosofis dan teori-teori filsafat pada khususnya.

Ciri-ciri tafsir falsafi yang telah dikemukan oleh ar-Radhā’ȋ, sesuai dengan yang disebutkan oleh Al-Dzahabi. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir falsafi menggunakan pentakwilan terhadap nushus al-diniyah dan hakikat syariah, menyesuaikan dengan pemikiran filsafat, dan atau menggunakan pendekatan filsafat dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Sumber-Sumber Tafsir Falsafi

Muhammad Ali ar-Ridha’i al-Isfahani menjelaskan bahwa yang menjadi rujukan atau sumber-sumber dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara falsafi adalah:

  • Ittijah al-Falsafiyah al-Masyā’iyah fi al-Tafsȋr

Istilah falsafah al-masyā’iyah (peripatetic) ini berdasarkan kepada metode falsafi yang merujuk pada akar pemikiran Aristoteles. Ibnu Sina [428] dianggap yang paling menonjol dalam filasafat al-masyā’iyah. Ia membuktikan dengan menuliskan kitab Al-Syifa yang tercakup di dalamnya pemikiran filsafat.

  • Ittijāh al-Falsafah al-Isyraqiyah [timur] fi al-Tafsȋr

Ini merujuk pada akar pemikiran Neo-Platonis (al-Afathaniyah al-Jadidah) dan pada filsafat Iran Klasik (al-Qudama’). Di antara tokohnya di dunia Islam yang paling berpangaruh adalah Syihab al-Dȋn al-Sahrwardȋ (549-587 H). Dia lah yang memberikan kontribusi besar terhadap corok falsafi isyraqiyah.

  • Ittijāh al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al- Tafsȋr

Corak ketiga ini adalah menggabungkan corak filsafat al-Masyā’iyah dengan filsafat al-Isyrāqiyyah. Al-Mula Sadrā al-Syȋrazȋ (1050 H) adalah tokoh yang memadukan dua corak ini dalam penafsiran Al-Qur’an.

Lebih lanjut Muhammad Ali ar-Ridha’i al-Isfahani menyebutkan bahwa ketiga sumber yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi focus penafsiran dengan pendekan filsafat adalah ayat-ayat tentang; Itsbat Wujud Allah, hakikat wujud Allah, dan sifat-sifatnya, tauhid tingkatan dan marhalahnya, masalah al-nafs, masalah al-‘aql, masalah al-‘aliyah, dan masalah al-‘Ijaz.

Baca Juga  Menafsir Korelasi COVID-19 dan Dajjal

Editor: Yahya FR

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds