Tak terasa kurang dari 60 hari lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadan, bulan yang selalu dinanti dan dirindukan oleh seluruh umat Islam. Menjadi negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, masyarakat Indonesia terbiasa menandai masuknya waktu salat dari azan yang senantiasa dikumandangkan melaui pengeras-pengeras suara.
Beberapa kalender juga tak luput menampilkan jadwal salat di setiap lembarnya. Jadwal imsakiyah biasa dibagikan di masjid-masjid dan kantor-kantor menjelang bulan Ramadan. Selain itu, berbagai kemudahan ditawarkan lewat unduhan aplikasi-aplikasi muslim yang disediakan oleh smartphone kita. Praktis dan mudah sehingga hampir tidak pernah ditemui pertentangan yang signifikan dalam menentukan masuknya waktu salat. Tetapi pernahkah terbayang jika kebiasaan dan kemudahan tersebut bisa jadi kita temukan berbeda ditempat lain?
Canberra, Ibukota Australia, adalah salah satu wilayah yang hanya memiliki 4 masjid yang tidak diperkenankan mengumandangkan azan menggunakan pengeras suara. Lokasi Masjid yang cukup jauh dari permukiman membuat Muslim yang tinggal di Australia terbiasa mengandalkan aplikasi untuk mengetahui masuknya waktu salat. Salah satu Masjid yang cukup populer adalah Masjid Yarralumla.
***
Masjid yang diinisisasi oleh 3 Negara (Indonesia, Malaysia, dan Pakistan) tersebut menjadi salah satu destinasi yang banyak diminati pelancong Muslim ketika berkunjung ke Canberra. Bertempat di kompleks kedutaan-kedutaan besar, Masjid tersebut memiliki daya tarik tersendiri karena lokasinya yang berada di antara gedung-gedung kedutaan besar dengan desain yang khas dan unik dari masing masing negara.
Kejadian unik dialami penulis ketika hendak melaksanakan salat subuh pada bulan Ramadantahun 2018 di Masjid Yarralumla, Canberra. Saat hendak melaksanakan salat subuh berjamaah di Masjid, penulis menemukan beberapa orang masih menikmati santap sahur saat aplikasi sudah menunjukkan waktu salat subuh.
Artinya, seharusnya sudah tidak diperkenankan makan dan minum saat memasuki waktu subuh. Penulis lantas bertanya kepada salah seorang jamaah, “bukankah ini sudah memasuki waktu subuh, Brother?” Beliau menjawab, “belum, ini belum subuh. Subuh akan datang 40 menit lagi” yang dilanjutkan dengan mengajak santap sahur bersama dengan jemaah lainnya. Bagaimana bisa beliau berkata belum memasuki waktu subuh ketika aplikasi jelas menunjukkan waktu berkumandangnya azan subuh?
Setelah membaca dan mencari tahu dari orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sana, ternyata terdapat perbedaan pendapat dari berbagai mazhab tentang bagaimana menentukan waktu salat.
Pandangan Mazhab Hanafi tentang Waktu Salat
Merujuk pada kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba karya Abdur Rahman al-Jaiziri, dijelaskan bahwa terdapat 2 metode untuk menentukan masuknya waktu salat. Pertama dengan metode Falakiyah (hisab) yang dihasilkan dari perhitungan secara matematis dan astronomis mengenai posisi bulan terhadap bumi dan matahari.
Yang kedua adalah dengan Rukyat, yaitu cara menentukan waktu salat dengan melihat fenomena alam sesuai masing-masing salat fardhu. Misalnya, tergelincirnya matahari untuk mengetahui tibanya waktu salat dzuhur, terbenamnya matahari untuk mengetahui tibanya waktu salat maghrib, hilangnya mega merah (syafaq al-ahmar) atau sinar putih (syafaq al-abyadh) setelah hilangnya mega merah untuk mengetahui tibanya waktu salat isya’, dan sinar putih (khait al-abyadh) yang tampak di ufuk, untuk mengetahui tibanya waktu salat subuh.
Adapun menurut pandangan Mazhab Hanafi yang dijelaskan dalam kitab Al-Mabsuth, Imam Hanafi berpendapat bahwa waktu salat fajar (subuh) dimulai sejak terbit fajar hingga terbitnya matahari. Baginya, terdapat dua macam fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib adalah sinar putih yang muncul di langit secara horizontal lalu disusul dengan kegelapan, sedang fajar shadiq yaitu cahaya putih horizontal di ufuk. Kemunculan fajar kadzib belum (dianggap) masuk waktu salat subuh sehingga orang masih diperkenankan menjalankan sahur hingga munculnya fajar shadiq. Pendapat tersebut diperkuat dengan QS. Al-Baqarah:189 yang artinya:
***
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian…”
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian…”
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, menafsirkan benang putih sebagai fajar kadzib yang kehadirannya tidak mengharamkan atau menghalalkan apa pun (makan, minum, dan bercampur suami-istri pada saat datangnya fajar kadzib di bulan Ramadan).
Putusan Mejlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Fajar Shadiq
Rupanya fenomena perbedaan waktu salat tidak hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, pada Ramadan tahun 2021, Muhammadiyah merilis jadwal imsakiyah yang berbeda dengan yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, terutama pada waktu imsakiyah dan subuh. Hasil Munas Tarjih ke 31 tahun 2020 yang didasarkan pada kajian Islamic Science Research Network (ISRN) Uhamka, Pusat Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (Pastron UAD), dan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU), menyimpulkan bahwa ketentuan Kementerian Agama tentang ketinggian matahari pada waktu Subuh di angka minus 20 derajat perlu dikoreksi. Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai minus 18 derajat lebih akurat karena pada ketinggian tersebut fajar shadiq sudah terlihat. Sebagai perbandingan, sejumlah negara seperti Malaysia, Turki, Nigeria, Inggris dan Perancis juga menggunakan kriteria penentuan awal waktu subuh pada minus 18 derajat.
Meskipun tidak lazim bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang bermazhab Syafi’i, fenomena fajar shadiq ini penting untuk kita ketahui. Munculnya beda pendapat mengenai waktu salat yang terjadi di tengah masyarakat tidak perlu diperdebatkan. Alangkah lebih baik apabila perbedaan tersebut disikapi dengan sabar dan tabbayun, sehingga kuatnya rasa saling menghargai dan toleransi dapat menghantarkan kita pada terciptanya baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.
Sip