Studi Agama-agama sering dianggap sebagai jurusan atau program studi yang kontroversial. Sebagian masyarakat menganggap program studi tersebut justru melahirkan sarjana-sarjana yang “aneh”. Karena ketakutan yang tak perlu ini, peminatnya pun tidak selalu banyak. Ia dianggap sebagai program studi yang merusak agama Islam dari dalam.
Di sisi lain, himpunan program studi (HMP) adalah organisasi mahasiswa internal di tingkat program studi yang kiprahnya tak banyak dilihat. Selama ini, jika berbicara tentang gerakan mahasiswa, publik akan melihat pada organisasi eksternal seperti IMM, HMI, PMII, GMNI, dan lain-lain atau BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Sementara, tak banyak orang yang melihat kiprah HMP.
Memang, tak bisa dipungkiri, ruang gerak HMP relatif terbatas. Secara umum, mereka hanya fokus pada pengembangan SDM mahasiswa di tingkat program studi masing-masing saja. Hal itu tentu tidak salah. Namun, selalu ada pilihan untuk menjadi lebih besar daripada apa yang menjadi takdir kita.
Salah satunya adalah HMPS (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Studi Agama-agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alih-alih fokus pada kerja-kerja rutinitas administrasi dan seremonial organisasi, HMPS tersebut mengangkat isu yang cukup krusial di tengah ruang publik: toleransi.
Pekerjaan HMPS SAA UIN Jakarta dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Nur Mahmudi Al Khalil, Ketua HMPS menceritakan pada saya, bahwa untuk internal, organisasinya mirip dengan HMP yang lain. Yaitu melaksanakan berbagai diskusi, seminar, dan kuliah umum dengan tema-tema yang berkaitan dengan toleransi dan keberagaman.
Tapi, tak hanya itu, di lingkup eksternal, ia membawa organisasinya untuk bertemu dengan berbagai tokoh agama. Melakukan kunjungan ke tempat-tempat ibadah agama lain, serta bertemu dengan tokoh-tokoh agama dari kelompok minoritas. Semua dilakukan dengan keberanian, mengingat apa yang dilakukan selama ini bisa jadi dianggap sensitif oleh sebagian kelompok masyarakat.
“Karena kita prodi Studi Agama-agama, mau tidak mau ya harus menggeluti isu-isu toleransi dan keberagaman,” ujar Didi, panggilan akrab Nur Mahmudi.
Menariknya, di kelas, ia dan rekan-rekan mahasiswanya diajarkan untuk berpikir terbuka serta menghargai keberagaman. Seluruh sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tampaknya mendukung hal tersebut. Sivitas akademika di prodi, khususnya, selalu menekankan pentingnya kerja sama dan dialog lintas agama. Dosen-dosen tersebut bahkan turut menemani kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh HMPS.
Apalagi, menurut Didi, di Indonesia terjadi banyak kasus yang berkaitan dengan intoleransi dan keberagaman. Tugasnya sebagai mahasiswa Studi Agama-agama adalah mendorong penerapan nilai-nilai toleransi dan dialog-dialog lintas iman.
Ia memandang hal tersebut sebagai hal yang cukup penting. Terutama melihat Indonesia yang kaya dengan keberagaman agama dan budaya. Perbedaan dan keberagaman itu yang harus dijaga. Jangan sampai, justru muncul semakin banyak provokator dan oknum yang menyalahgunakan perbedaan. Jangan sampai ada orang yang menyalahgunakan perbedaan dan menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Provokasi dan penyalahgunaan terhadap perbedaan ini dapat menimbulkan konflik sosial yang dapat menghambat kemajuan peradaban.
Apa sih faktor-faktor yang membuat toleransi dapat diterapkan dengan baik? Didi menjawab, saling mengenal. Tanpa saling mengenal, masyarakat mudah jatuh ke dalam segregasi. Nasib baik 2024 ada tiga paslon. Kalau dua paslon, segregasi 2019 bukan tidak mungkin kembali terjadi. Maka, mumpung 2019 tidak berulang, masyarakat perlu diajak untuk saling mengenal, tidak menutup diri, dan tidak merasa paling benar.
Kalau masyarakat tidak mengenal, mereka akan cenderung mencurigai satu sama lain. Menganggap bahwa kelompok lain memiliki agenda tersembunyi. Muncul prasangka-prasangka yang tidak perlu. Tembok prasangka inilah asal usul dari banyak konflik sosial yang terjadi. Dengan prasangka, orang bisa saling pukul. Nasib baik kalau cuma saling pukul. Bagaimana kalau saling bantai? Bagaimana kalau saling usir seperti yang terjadi di Madura dan Kalimantan?
Tentu Anda sudah tahu. Di Madura, penganut Syiah diusir. Mereka mengungsi di sebuah rusun di Sidoarjo. Di Kalimantan juga sama. Mereka harus pindah, mengungsi. Pun di Lombok. Rupanya, banyak warga Indonesia yang tidak diperlakukan secara setara.
Maka jarak antar kelompok perlu dihilangkan. Kesenjangan perlu dihindari. Tembok prasangka perlu diruntuhkan. Aktivis agama perlu duduk bersama dengan aktivis agama lain. Aktivis sebuah kelompok agama perlu duduk dengan kelompok lain yang seagama. Semua harus saling menghargai dan merangkul untuk mewujudkan perdamaian di ruang publik.
Apakah ada resistensi? Konon tidak ada. Terutama resistensi yang berarti. Adanya hanya pertanyaan-pertanyaan selentingan saja. “Kok itu kunjungan ke Gereja itu ngapain?” “Kok itu ikut acara agama lain emang boleh?” “Ngapain sih kesana? Kaya kurang kerjaan aja,” dan seterusnya dan seterusnya. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan template yang sering ditanyakan oleh publik kepada aktivis lintas agama di berbagai daerah.
Tapi, dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Didi punya kesempatan untuk menjelaskan. Menjelaskan apa sih pentingnya kunjungan lintas agama. Apa sih pentingnya dialog dengan orang yang identitasnya berbeda. Kenapa harus bertemu dan berdiskusi. Dan seterusnya. Untungnya pertanyaan itu hanya pertanyaan. Sejauh ini, ia tidak merasakan adanya caci maki yang berarti.
Ia melakukan kunjungan ke Gereja Messias, Vihara, dan Pura di Jakarta pada 2022 dan 2023. Selain itu, pihaknya juga melakukan launching Pojok Toleransi di Bali, serta melaksanakan Sekolah Toleransi bersama dengan Universitas Hindu Negeri Denpasar. HMPS SAA sesekali juga bertemu dengan kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.
*)Konten ini merupakan hasil kerjasama antara IBTimes dengan Kementerian Agama RI