Mustholah Hadits | Hadits menjadi sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an yang menjadi pedoman bagi umat Islam (Ismail, 1992). Sebagai suatu disiplin ilmu, pengkajiannya membutuhkan penelusuran sanad dan matan hadits, untuk memastikan hadits itu sah atau tidak.
Jika pada masa Rasulullah Saw, untuk mengetahui hadits itu benar disampaikan atau tidak, maka cukup hanya mengkonfirmasi kepada beliau langsung. Sehingga, dapat diketahui berita itu benar disampaikan atau tidak.
Beda dengan sekarang, untuk memastikan hadits itu sahih atau tidak, maka kita perlu Ilmu Mushtolah Hadits.
Pengertian Ilmu Mustholah Hadits
Secara umum ilmu Mustholah Hadits adalah ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi para perawi dan hadits yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolaknya suatu hadits.
Menurut Mahmud Thahhan dalam karyanya Taisir Musthalahil Hadits ia mendefiniskan ilmu Mustholah Hadits sebagai berikut:
“Yaitu ilmu yang mengkaji tentang kaidah-kaidah terkait sanad (silsilah) dan matan (redaksi) sebuah hadits untuk menentukan apakah dia valid atau tidak.”
Dari definisi ini pengertian ilmu Musthalah hadits bisa dipahami secara singkat yaitu ilmu yang mempelajari kondisi perawi dan kondisi hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut sehingga dapat mengetahui apakah hadits tersebut diterima atau ditolak
Sifat-Sifat Hadits yang Diterima
Pertama, sanadnya harus muttashil (bersambung). Artinya, tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Gurunya juga benar-benar mendengar dari gurunya. Dan gurunya mendengar dari Rasulullah Saw.
Kedua, perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Ketiga, betul-betul hafal. Keempat, tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dipercaya.
Kelima, tidak ber-illat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat hadits–nya tidak diterima.
Keadaan Perawi Hadits
Di antara persyaratan hadits shahih yang harus dipenuhi adalah perawi harus adil dan dhabith (hafalannya kuat).
Menurut Mahmud Thahan dalam Kitab Taysir Musthalahil Hadits, yang dimaksud dengan ‘adil (‘adalah) dan dhabit di sini adalah sebagai berikut:
العدالة: ويعنون بها أن يكون الراوي مسلما بالغا عاقلا سليما من اسباب الفسق سليما من خوارم المروءة. والضبط: ويعنون به أن يكون الراوي غير مخالف للثقات ولا سيء الحفظ ولا فاحش الغلط ولا مغفلا ولا كثير الأوهام
‘Adalah (adil) ialah perawinya Muslim, baligh, berakal, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak moralnya. Sedangkan dhabit ialah periwayatan perawi tidak bertentangan dengan perawi tsiqah lainnya, hafalannya tidak jelek, jarang salah, tidak lupa, dan tidak keliru.”
Dalam Kitab Taysir Musthalahil Hadits, Mahmud Thahan juga menjelaskan cara untuk mengetahui perawi itu adil dan dhabit.
Menurutnya, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui keadilan perawi. Pertama, kualitas perawi hadits dapat diketahui berdasarkan pengakuan dari perawi lain atau ulama hadits.
Kedua, kualitas perawi hadits bisa diketahui dari popularitasnya. Orang yang sudah populer kualitas dan kealimannya tidak perlu lagi pengakuan dari ulama hadits. Maksudnya, tanpa pengakuan pun, periwayatannya sudah bisa diterima karena sudah populer.
Misalnya, hadits–hadits yang disampaikan oleh imam empat mazhab, Sufyan Ats-Tsauri, ‘Azra’i, dan ulama terkenal lainnya.
Adapun cara untuk mengetahui kualitas hafalan perawi adalah dengan cara membandingkan hadits yang disampaikannya sesuai dengan perawi tsiqah lainnya. Kalau hadits yang disampaikannya sesuai dengan perawi tsiqah lainnya, berarti kualitas hafalannya bagus.
Apabila bertentangan dan berbeda dengan perawi tsiqah lainnya, maka hafalannya dianggap bermasalah dan tidak bisa dijadikan pedoman. Menurut ulama hadits, syarat-syarat perawi di antaranya; perawi harus seorang ahli ilmu nahwu, Sharaf, dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lafaz dan maksudnya, memahami perbedaan-perbedaan, dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Macam-Macam Hadits
Pertama, hadits hasan. Yaitu hadits yang sanadnya bersambung perawi yang adil, yang hafalannya kurang sedikit dibanding dengan perawi-perawi hadits shahih, tidak bertentangan dengan perawi-perawi yang lebih dipercaya, dan tidak memiliki cacat yang membuat hadits tersebut tidak diterima.
Hukum hadits ini seperti hadits shahih. Dapat dibuat pedoman dan dijalankan. Namun, bila di antara hadits yang shahih dan hadits hasan bertentangan, maka didahulukan adalah hadits shahih.
Kedua, hadits dho’if. Yaitu hadits yang tidak memiliki sifat-sifat hadits shahih dan tidak memiliki sifat-sifat hadits hasan. Hukum hadits ini tidak boleh dijadikan pedoman dalam masalah akidah dan hukum-hukum agama.
Boleh dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, dan peringatan dengan syarat-syarat tertentu.
Ketiga, hadits marfu’. Yaitu perkataan, perbuatan, pemutusan, atau pengakuan dari Nabi Saw baik dalam sanadnya bersambung atau tidak. Hukum hadits ini kadang-kadang shahih, hasan, dan dha’if.
Kesimpulan
Bahwasanya untuk mengetahui kevalidan pada sebuah hadits itu diperlukan pengetahuan tentang keadaan para perawi hadits dan ketersambungan sanad hadits. Adapun caranya yaitu memiliki ketersambungan sanad, adil, dhabit, tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dipercaya dan tidak ber-‘illat.
Mengetahui keadaan periwayat dari segi ketersambungan sanad yaitu dengan cara melihat riwayat hidup perawi tersebut melalui kitab yang menerangkan biografi perawi hadits seperti kitab rijalul hadits.
Kemudian ketersambungan sanad ini juga diperlukan dalam mengetahui kevalidan hadits yakni dengan cara mengetahui wafatnya perawi hadits guna untuk melihat jarak wafat antara perawi satu dengan perawi sebelumnya (gurunya).
Daftar Pustaka
Ismail Syuhudi Muhammad, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulang Bintang, 1992)
Salim Amr ‘Abd al-Mun’im, Qawaid Hadisiyyah (Cet. I; al-Nasyir: Maktabah al-‘Imrin al-‘Ilmiah, 484-561 M)
https://bincangsyariah.com/kalam/cara-menguji-ketersambungan-sanad-hadis/07-Feb2018
https://islam.nu.or.id/post/read/84571/inilah-cara-mengetahui-kesahihan-hadits/26-Des2017