Inspiring

Mengenang AE Priyono: Keteguhan, Dedikasi, dan Ketulusan

3 Mins read

Beberapa waktu lalu, tepatnya 12 April 2020, kita kehilangan seorang intelektual sekaligus aktivis, yakni AE Priyono. Mendekati peringatan 100 hari wafatnya AE Priyono, tulisan ini bermaksud untuk mengenang sosoknya yang bisa menjadi teladan bagi anak-anak muda. Terutama soal keteguhan dan komitmennya terhadap demokrasi di Indonesia. Tidak kalah penting yakni ketulusannya terhadap mereka yang terpinggirkan.

Sosok AE Priyono

Penulis mengenal AE Priyono melalui suatu proses yang bisa dikatakan terjadi secara tidak sengaja. Hal tersebut bermula saat penulis membaca buku Kuntowijoyo sekitar tahun 2014 atau 2015. Nama yang tidak asing bagi para mahasiswa atau peminat studi sejarah. Singkat cerita, AE Priyono adalah penyunting beberapa buku Kuntowijoyo, salah satunya yaitu Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi yang diterbitkan oleh Mizan (edisi 2008).

Dalam memberikan kata pengantar pada buku tersebut, AE Priyono menegaskan titik utama atau poin penting dalam pemikiran Kuntowijoyo. Yakni bagaimana agar Islam harus dipahami sebagai etika profetik. Menurut pandangannya, gagasan etika profetik tersebut lahir dari penelusuran Kuntowijoyo atas doktrin-doktrin pokok konvensional Islam mengenai Tauhid yang ditafsirkan sebagai prinsip universalisme Islam: Tuhan yang satu, dan kemanusiaan yang satu.

AE berpendapat, di samping Tauhid, ada doktrin lain yang dipahami sebagai misi bersama agama-agama. Yakni emansipasi/humanisasi, liberasi, dan transendensi. Lebih lanjut, ia mengemukakan sebagai berikut. Bahwa menurut Kuntowijoyo, agar etika profetik ini bermanfaat untuk kemanusiaan universal, maka diperlukan langkah-langkah untuk menafsirkan dan menerjemahkan ke dalam bahasa objektif. Serta mencegah penafsiran yang subjektif.

Subjektif dan Objektif

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memperdebatkan ketepatan istilah subjektif dan objekif secara konseptual dalam tataran filosofis. Akan tetapi yang dibahas adalah konteks dari istilah yang dikemukakannya tersebut.

Baca Juga  Noorhaidi Hasan: Mendamaikan Konsep Civil Society dengan Islam

Mencegah penafsiran subjektif, maksudnya adalah penafsiran yang partikularis atau hanya untuk kepentingan umat muslim semata. Sementara yang dimaksud penafsiran objektif dalam konteks ini, yakni bagaimana agar Islam ditafsirkan untuk kepentingan yang lebih luas lagi. Tidak terbatas ekslusif untuk kepentingan umat Islam semata. Dengan kata lain, Islam harus ditafsirkan berkesesuaian dengan nilai-nilai universil. Seperti kesetaraan, keadilan, dan sebagainya.

Barangkali, hal itu jugalah yang menyebabkan ketertarikan AE Priyono terhadap pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo. Dan penulis rasa, itu juga mewakili sikapnya. Bagi penulis sendiri, membaca kata pengantar yang apik tersebut, bukan hanya bermanfaat bagi para pembaca untuk bisa langsung mendapatkan ide sentral dari Kuntowijoyo. Lebih dari itu: apa yang diuraikan oleh Priyono, membawa ketertarikan lebih bagi penulis saat itu. Baik kepada pemikiran Kuntowijoyonya, maupun kepada sosok AE.

Pemikiran dan Kiprah

Terlebih lagi, sejujurnya, karena saat itu penulis lagi gandrung-gandrungnya terhadap teori diskursus Jurgen Habermas. Sementara apa yang diuraikan oleh AE Priyono dalam menguraikan pemikiran Kuntowijoyo, jelas tidak menghadirkan ketegangan pemikiran dengan penulis.

Singkat kata, karena Habermas pun mengemukakan bahwa sebuah nilai yang bersumber dari identitas primordial, dapat dibawa ke dalam ruang publik. Tapi dengan catatan harus mendapat status epistemik dan ditafsirkan untuk kepentingan universil.

Begitulah awal perkenalan dengan AE Priyono. Beberapa waktu kemudian, penulis pun mengetahui ternyata beliau adalah jebolan Himpunan Mahasiswa Islam. Meski penulis tidak begitu tahu secara detail bagaimana kiprahnya dalam HMI. Akan tetapi sikap dan pandangannya terutama mengenai Islam dan demokrasi serta bagaimana penafsiran Islam tidak hanya untuk kepentingan eksklusif, bisa menjadi salah satu teladan nyata bagi kader HMI secara khususnya, maupun umat Islam di Indonesia secara umumnya.

Baca Juga  Abdul Malik Fadjar: Sang Begawan, Pemikir Pendidikan yang Praktisi

Sebagai catatan tambahan, kita bisa juga meninjau tulisan AE Priyono. Yakni “Masa Depan Islam-Politik dan Islamisme di Indonesia”. Di mana ia mengemukakan pentingnya pengembangan gerakan Post-Islamisme dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Mengenang AE Priyono

Bila kita melihat rekam jejaknya, maka nampak jelas bagaimana dedikasi tinggi seorang AE Priyono dalam memperjuangkan kehidupan demokrasi. Beliaupun menyadari bagaimana posisi marginal masyarakat saat ini. Oleh karena itu, ia mengemukakan mengenai pentingnya pemberdayaan masyarakat sipil, terutama dengan membangun basis-basis kekuatannya di tingkat lokal.

Hal yang paling mengagumkan, berdasarkan keterangan para koleganya, AE Priyono memang aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Kesemua itu dilakukannya bukan berdasarkan keuntungan materil. Tentu ia melakukan itu, sebagai salah satu wujud konkret bagaimana ia memperlakukan demokrasi. Bukan sebatas wacana akademis semata, melainkan sebagai sebuah praxis juga. Bagi penulis, nuansa gramscian memang sangat terasa dengan apa yang ditunjukkan olehnya.

Sebagaimana diskursus dalam republikanisme (lihat Robert dan Tobi, 2017), yang menyebut bahwa kelestarian demokrasi bukan hanya memfokuskan pada desain institusi semata. Melainkan memerlukan juga kultur wargawi yang aktif dan mengokohkan warga sebagai pusat dari politik demokratis.

Dan penulis sangat yakin, apa yang diperjuangkan oleh AE Priyono merupakan usaha agar warga mempunyai suatu kekuatan kritis. Dapat berdaya untuk kemudian dapat menjadi pusat dari politik demokratis.

Karya

AE Priyono bersama Usman Hamid turut mengeditori buku “Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pascra-Reformasi” (Kepustakaan Populer Gramedia:2014). Dalam prolognya, AE Priyono memaparkan mengenai serangkaian permasalahan dan kesemerawutan politik demokrasi di Indonesia. Singkat kata, terjadi apa yang disebut sebagai distorsi dan disorientasi dalam demokrasi di Indonesia.

Akan tetapi, penulis masih melihat semangat dalam pembuatan buku tersebut. Agar intelektual atau para aktivis pro-demokrasi tetap melakukan pendalaman dan menyediakan berbagai alternatif untuk melakukan reorientasi demokrasi. Singkat kata, artinya di situ masih terselip harapan agar kelak kehidupan demokrasi di Indonesia bisa lebih baik. Karena itu, perlu untuk terus diperjuangkan, terutama bagi yang masih meyakini demokrasi dan mendambakan terwujudnya keadilan sosial.

Baca Juga  Syaikh Nawawi Al-Bantani: Nasionalisme di Tanah Rantau

Dalam waktu dekat, akan segera diluncurkan dua buku yang membahas tentang AE Priyono. Yakni “Menolak Matinya Intelektualisme” dan “Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi” yang ditulis oleh berbagai macam kalangan. Dari akademisi, jurnalis, dan lain sebagainya. Bagi penulis, dua buku ini akan sangat penting untuk dibaca, selain untuk mengenang sosok AE Priyono, juga untuk menyadarkan kita bagaimana masih banyak tugas-tugas dan kerja-kerja intelektual yang perlu diteruskan.

Membaca AE Priyono adalah membaca sebuah keteguhan, ketulusan, dan dedikasi

Penulis

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds