Tarikh

Mengevaluasi Cara Taubat Kita Melalui Manuskrip Kuno

4 Mins read

Pernah kah kamu mengira bahwa buku-buku yang kita baca saat ini hasil dari sumbangsih tradisi tulis menulis di zaman kuno?

Tradisi Salin Menyalin

Sebelum tradisi cetak pada akhir abad ke-19 muncul, para penulis menulis naskah menggunakan tinta yang berasal dari alam sekitar. Kemudian menuliskannya di atas pelepah pohon, daun, maupun kulit binatang buruan dengan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Berbeda dengan sekarang, hanya mengetik aksara latin di atas tools keyboard, lalu dicetak menggunakan printer dalam waktu sehari.

Kemudian dari satu karya penulis dapat digandakan melalui gerakan menyalin naskah yang disalin dari beberapa orang. Ada juga yang menerjemahkannya dalam bahasa yang lain untuk dapat dipahami oleh masyarakat di belahan dunia yang lain. Tradisi salin menyalin naskah ini berlangsung sepanjang bergulirnya masa, tergantung seberapa pentingnya karya tersebut bagi manusia.

Hingga saat ini, pada abad ke-21, kita masih menemukan manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di berbagai perpustakaan nasional, musium nasional, maupun tempat kebudayaan daerah. Tak jarang juga masyarakat lokal pun masih menyimpan manuskrip yang dibalut dengan kain dan dialokasikan turun-menurun ke pejabat setempat maupun keluarga. Sebab,  manuskrip tersebut dianggap sebagai benda pusaka.

Filologi dan Kadiologi

Akan tetapi, apabila masukrip disimpan terlalu lama tanpa ada pemeliharaan, lambat laun akan menjadi asam dan lapuk. Bahkan beberapa manuskrip dapat bolong karena dimakan rayap dan musnah. Oleh sebab itu, munculah ilmu pengetahuan baru yang berfungsi guna melestarikan manuskrip agar tidak punah bernama Filologi dan Kodikologi. Penggiat ilmu tersebut dinamakan filolog dan kodikolog.

Kedua cabang ilmu tersebut memiliki keterikatan satu sama lain. Filologi berfokus tentang bagaimana menyelamatkan isi tulisan dalam sebuah naskah, sedangan Kodikologi melihat dari fisik sebuah naskah. Kedua ilmu tersebut dapat meneropong sejarah, kebudayaan, tradisi adat-istiadat, mapun keagamaan masyarakat tertentu di masa lampau.

Baca Juga  Syariat dalam Tasawuf, Pentingkah?

Namun sayang, masih segelintir orang yang berminat menjadi seorang filolog. Padahal, dari sana kita dapat melihat rekam jejak sejarah dan karakteristik budaya yang terkadang masih relevan dengan masa kini. Kemudian naskah tersebut dapat kita abadikan dalam bentuk digital agar tetap lestari dan tidak punah.

Beberapa waktu yang lalu saya membaca salah satu manuskrip yang berada di salah satu koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia. Di sana, koleksi manuskrip tertutup dan tidak sembarang orang dapat membuka dan membaca manuskrip tersebut. Jadi apabila kita ingin melihat manuskrip tersebut, kita dapat mencari tema atau judul manuskrip yang kita inginkan melalui katalog naskah.

Perintah Taubat dalam Risalah Fi al-Ma’siyyah wa at-Taubah

Setelah mendapatkan judul manuskrip tersebut, penjaga perpustakaan lantai tersebut memberikan secarik kertas sebagai data naskah yang kita pilih, kemudian ia akan mengambilkan naskah yang kita inginkan. Beberapa naskah pun ada dalam bentuk digital, ada pula yang masih berbentuk codex.

Manuskrip yang saya ambil berjudul “Risalah Fi Al-Ma’siyyah Wa At-Taubah” berisi surat tentang maksiat dan taubat menurut Syeikh Imam Taju ad-Din Abu Abas Ahmad ibn Athallah as-Syadzili. Syeikh Syeikh Imam Taju ad-Din Abu Abas Ahmad ibn Athallah as-Syadzili RA atau biasa dikenal dengan panggilan Ibnu Athallah As-Sakandari merupakan murid dari Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Ia merupakan salah satu tokoh tarekat asy-Syadzili yang berkembang dalam bidang ilmu tasawuf.

Dalam manuskrip berjudul Risalah Fi al-Ma’siyyah wa at-Taubah ia membuka risalah dengan anjuran untuk memperbanyak bertaubat setelah mengerjakan sesuatu sebab Allah yang melibatkan hati dan perasaan di setiap amal perbuatan manusia.

Baca Juga  Masa-Masa Islam Awal (1): Ketegangan Antara Agama dan Politik

Tujuh Perubahan Manusia

Ia mengatakan pendapat Syeikh Makin ad-Din al-Asmari RA, tentang tujuh perubahan manusia, dalam naskah sebagai berikut;

Awal mula, seorang manusia menjalani hidupnya dan bertakwa dan mengatur perkataan nya di siang hari. Maka apabila sore datang, ia mengintropeksi dirinya dan perkataan nya apakah (yang di ucapkan hari itu) bernilai baik, kemudian ia bersyukur. Adapun jika perkataan nya buruk, maka ia bertaubat kepada Allah SWT dan beristigfar menyebut nama-Nya. Kemudian jika (manusia) menjadi penduduk bumi, ketahuilah ia harus menjadi pemelihara yang mengintropeksi jiwa nya dan tidak akan bisa seseorang mengintropeksi jiwa nya sendiri apabila ia sebagai pemelihara ghair muhaqiq terhadap jiwa nya sendiri. Maka seharusnya ia menjadikan pekerjaan sepenuhnya untuk Allah Ta’ala dan janganlah melihat bahwasanya apapun yang ia kejakan tidak untuk diperhitungkan dan tidak berhak apabila seorang hamba berdosa dan menempatkan kedzaliman bersamanya, kemaksiatan itulah seperti api dan kegelapan, asap nya seperti siapa yang menyalakan api di rumah selama 70 tahun dan tidak ditinggalkan akan menghitam. Begitu juga dengan hati, akan menghitam dengan kemaksiatan dan tidak bertaubat, maka celaan dan kedzaliman menjadi perbandingan terhadap kemaksiatan. Namun apabila ia bertaubat kepada Allah Ta’ala, lenyap lah semua jejak dosa-dosanya dan ia tidak termasuk orang yang lalai serta mengikuti nabi SAW dan memperoleh kedudukan di sisi Allah SWT.”

Mutaba’ah: Cara Membersihkan Hati dan Jiwa

Menurutnya cara untuk membersihkan kotoran dalam hati dan jiwa manusia dengan bermutaba’ah terhadap syariat Allah dan prilaku Nabi. Al-Mutaba’ah adalah menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat Allah yang dahulu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga  Bung Karno, Islam, dan Polemik dari Bengkulu

Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya, namun berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah, maupun qauliyyah.

Taubat yang Salah

Jika kita mengaktualisasikan isi manuskrip tersebut dalam konteks Islam moderat (washatiyah) zaman kini. Seringkali kita tersadarkan akan sebuah penyesalan dosa setelah ditimpa musibah, kemudian dengan rasa syukur dan bangga terhadap diri sendiri mencurahkan bentuk taubat dari maksiat dalam bentuk postingan media atau kolom komentar. Dan menganggap setiap postingan yang kita sampaikan, memotivasi orang lain agar berbuat kebaikan.  

Namun ironisnya, tanpa kita sadari, rasa bangga yang terbesit dalam hati menjadi noda baru menggantikan “taubat” kemarin. Dewasa ini, praktik ber-taubat kepada Tuhan lebih indah tidak dipublikasikan dalam kolom komentar dan postingan sosial media. Berani menyebarkan motivasi kebaikan, juga mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sehari-hari.

Editor: Yahya FR
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Menulis adalah sebagian dari ibadah dan mengabadikan pikiran. Selamat merayakan!
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds