Di saat sebaran Covid-19, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Indonesia menganjurkan belajar online. Belajar dengan sistem tatap-muka dibatasi karena ancaman penyebaran virus ini. Bahkan, TVRI pun digandeng lagi untuk menghidupi program-program sekolah. Anak-anak pun ‘kembali ke rumah’ untuk belajar namun dengan tetap dalam pantauan guru. Pertanyaannya adalah, masihkah proses pembelajarannya dapat berjalan? Hal yang lebih penting adalah apakah gerakan ‘belajar dari rumah’ (learning from home) tetap mencerahkan bagi anak?
Tulisan singkat ini hendak mengajak pembaca untuk menghidupi kembali semangat pedagogi yang mencerahkan (enlightening pedagogy). Pedagogi di sini diartikan secara sederhana sebagai interaksi pendidik dan peserta didik. Di era Covid-19 ini, pendidik mungkin guru, orang tua, dan orang dewasa lainnya. Realitas baru yang tidak kalah penting adalah ‘dunia virtual’ berupa sumber-sumber belajar online baik kata, angka, gambar, video maupun suara, dan siapa saja, baik teridentikasi atau tidak, yang menjadi narasumber online bagi anak.
Yang terakhir ini dapat disebut sebagai para pemberi pengaruh (influencer) di media online. Sekali lagi, anak-anak di era belajar online dikelilingi oleh banyak pihak yang mempengaruhi pengetahuan dan emosinya.
Pedagogi Konservatif
Tidak terbayangkan sebelumnya, saat ini pedagogi memasuki babak baru melalui dunia serba online. Sebelumnya, pedagogi atau mode interaksi belajar digenggam oleh guru sedangkan murid hanya pasif mengikuti petuah gurunya. Pengetahuan itu berada sepenuhnya dalam dominasi (pengaruh) guru. Sebut saja ini pedagogi kuno-konservatif.
Pengritik modus pegagogi ini adalah siapa saja yang melihat bahwa ada kepentingan ‘jangka pendek’ seperti ekonomi atau kekuasaan. Kehendak ini muncul karena orang ingin ‘dipuja’dan langgeng kekuasaannya. Bahkan, rules of game (aturan mainnya)-pun dibuat dan diberi makna menurut kepentingannya sendiri.
Pedagogi kritis ini memang ‘menikam’ ideologi tersembunyi mereka yang berlindung di balik otoritas (kewenangan): politik, sosial atau pendidikan. Dalam dunia sekolah, atas nama sebagai orang yang ‘dewasa’, dia seolah-olah bisa berkehendak dan mendikte anak-anak ‘belia’: belia secara ilmu, pengalaman, dan kehidupan.
Yang menjadi persoalan dalam pedagogi konservatif adalah bukan kebenaran yang mungkin ada pada ilmu atau otoritasnya. Persoalannya adalah pada wataknya yang tertutup, ‘angkuh,’ dan menyembunyikan kepentingan-kepentingan jangka pendek: ‘menolak kebenaran (yang mungkin datang dari orang lain) dan merendahkan (martabat) manusia dengan segala latar belakangnya’. Ini persis seperti karakteristik manusia angkuh sebagaimana yang diidentifikasi oleh Nabi Agung Muhammad.
Pedagogi Kritis
Melalui ‘kaca pembesarnya’, pendukung pedagogi kritis menganjurkan model interaksi belajar yang setara dan dialogis. Semua orang punya sejarah, pengetahuan, dan kondisi psikologis yang mengitarinya. Bahkan, manusia juga memiliki ‘garis nasib’ yang tidak bisa diubah, seperti bahasa, warna kulit, etnis, dan mungkin ‘warisan keagamaan’.
Tentang yang terakhir ini, seseorang menjadi Muslim atau Kristen amat tergantung pada keluarganya. Bahwa ada manusia seperti Nabi Ibrahim AS yang melakukan pengembaraan teologis dalam mencari Tuhannya, tentu ada. Namun demikian, kebanyakan manusia mengikuti ‘petuah’ (baca: agama) orang tuanya.
Pada level ini, pedagogi kritis hanya bersuara: jangan ada diskriminasi atas manusia! Semua orang membawa sejarah dan beban hidup yang kerapkali dia sendiri karangkala tidak memiliki pilihan atau berfikir untuk beralih. Bagi pedagogi kritis, yang perlu dihidupkan adalah dialog. Semua subjek belajar: guru, siswa, orang tua, orang dewasa dan staff di sekolah perlu saling belajar dan membenahi diri dan komunitasnya agar semua meniti jalan sebagai kaum terdidik dan dalam upaya mencapai taraf keadilan.
Meski bagi pendidik kritis ‘taraf keadilan’ adalah utopia (angan-angan), namun nilai itu adalah rel pendidikan yang hendak dilalui. Pedagogi kritis menjembatani setiap insan untuk tumbuh karena itu adalah kodratnya sebagai manusia. Pedagogi harus adil menjembatani manusia untuk tumbuh dan terdidik.
Pedagogi Era 4.0
Di saat pendidikan kaum konservatif perlu dibenahi dan pedagogi kritis pun lahir, modus pedagogi baru pun bangkit. Dia disebut saja: pedagogi era 4.0. Pedagogi ini menganjurkan agar interaksi dan produksi pengetahuan itu diserahkan kepada ‘pasar virtual’. Pasar virtual ini adalah arena bagi siapa saja untuk memaparkan ide, nilai, dan teknologi. Di dalamnya juga ada transaksi. Pendidik dan peserta didik berhadapan dengan keterampilan membaca yang baru: new literacy!
Literacy baru itu bukan sekedar kemampuan membaca, memahami dan menyimpannya baik dalam ingatan otak ataupun ingatan komputer (artificial intelligence). Ia juga menjadikan orang dapat memastikan jalan kebenaran informasi (klarifikasi) dan bahkan menguji kemungkinan ada kekeliruannya (falsifikasi). Literasi baru ini bekerja untuk menelusuri bagaimana pengetahuan itu diciptakan, bukan sekedar merayakan bentuk pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Senyatanya, dalam bilik virtual, informasi itu berserak, bercampur, beririsan, dan kadangkala berselisih. Ada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawakan sumbernya (kredibel). Ada juga pengetahuan ‘sampah’ yang bisa ‘menyesatkan’. Tak ayal, orang yang ‘pasif’ dan tidak kritis akan terperangkap dalam dunia virtual yang tidak bertepi. Tanpa sikap kritis, pedagogi era 4.0 justru menjadi ancaman; bukan berkah bagi manusia.
Pedagogi Mencerahkan
Agar gagasan ‘pedagogi mencerahkan’ ini bermakna, konteks atau situasinya perlu dikaji. Sebagai sebuah kondisi, pandemi Covid-19 ini ‘memaksa’ orang untuk mengurangi tatap-muka langsung. Oleh karena itu, kebijakan ‘social distancing’ atau menjauh dari kerumunan dipercaya sebagai salah satu solusi atas percepatan penyebaran virus jenis baru ini. Karena tatap-muka langsung perlu dikurangi, modus pembelajarannya pun akhirnya menyesuaikan.
Situasi sosial di masa Covid-19 ini adalah guru, siswa, orang tua, kepala sekolah dan staff lainnya berada dalam ‘kesadaran’ agar selalu aman dari kemungkinan terjangkit virus ini. Oleh karena itu, karakteristik situasi seperti ini menuntut modus interaksi manusia yang disiplin, toleran dan sadar akan aturan yang dianut bersama.
Agar social distancing tidak lepas dari makna edukatif dan makna sosial, modus interaksi belajar (pedagogi) yang diperlukan adalah pedagogi yang bersifat memandu, ‘menerangi’, dan menciptakan optimisme. Saya berpendapat, watak pedagogi ini bersifat ‘mencerahkan’. Secara filosofis, pedagogi ini memuat sejumlah prinsip. Prinsip pertama adalah paham kemerdekaan kemanusiaan. Pada prinsipnya, setiap anak adalah individu aktif yang perlu diberi ruang untuk tumbuh, berkembang dan diapresiasi ruang untuk berfikir, berkreasi, dan menyuarakan harapan (hope). Melalui aktivitas belajar di rumah, baik offline maupun online, anak berkesempatan berinterkasi dengan manusia dan lingkungan terbatas di sekitarnya. Kedudukan ‘manusia dewasa’ di sekitarnya bersifat memandu dan memberi keleluasaan untuk menggali pengetahuan dan keterampilan.
Prinsip kedua adalah orang tua, guru atau ‘orang-orang dewasa’ di sekitarnya adalah jiwa-jiwa yang penuh hikmat dan mencintai manusia ‘sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri’ (sesuai dengan Hadits Nabi SAW). Ini yang disebut sebagai pendidik yang simpatik dan empatik: dia punya otoritas (kewenangan) informal namun melayani pertumbuhan akal budi dan emosi yang sehat di antara siswa-siswanya.
Prinsip ketiga adalah bahwa proses pedagoginya bersifat dialogis dan berorientasi memecahkan masalah. Melalui program belajar dari rumah, orang tua memiliki kesempatan memproduksi dan atau menerapkan pengetahuan ‘secara natural’ dan bersifat keseharian melalui interaksi pikiran dan perasaan dengan anak-anaknya.
Sebagai contoh, tidak ada yang lebih istimewa ketika ibu dan anak laki-lakinya berdiskusi tentang menu masakan apa yang hendak mereka suguhkan. Mereka kemudian saling membantu untuk meracik bahan-bahan yang diperlukan dan berbagi tugas siapa yang memasak dan siapa yang mencuci piring. Si anak laki-lakinya pun merapikan meja makannya; si bapak menaruh masakannya; dan anak perempuannya mengambil gambar saat mereka makan bersama. Gambar itu di-upload melalui platform belajar online untuk dikomunikasikan dengan gurunya. Anak-anak seperti ini memiliki ruang untuk bercerita tentang kebiasaanya, pikiran, dan perasaannya bersama keluarga di tengah pandemi Covid-19.
Contoh ini hanyalah contoh sederhana. Jalan pikirnya pun sederhana. Dialog dan pemecahan masalah dalam pendidikan itu dapat berangkat dari segala hal yang bersifat sehari-hari dan natural namun ada kesejatian. Kesejatian yang dimaksud adalah hadirnya ruang untuk tumbuh, baik personal maupun kolektif, dari aspek pikiran, perasaan, dan ketrampilan hidup. Di dalamnya ada nilai kesetaraan, kolektivitas, dan apresiasi atas hidup bersama.
Tulisan singkat ini baru memotret tiga aspek pedagogi yang mencerahkan, yakni pandangan tentang watak manusianya (pendidik: guru, orang tua dan anak) serta jalan penciptaan dan pemaknaan pengetahuan melalui dialog, dan pemecahan masalah. Tentu saja, prinsip-prinsip lainnya, baik filosofis atau praktis, perlu dikemukakan dalam kesempatan yang akan datang.
Editor: Arif