Beberapa hari ini media ramai dengan berita kebijakan pemerintah ingin merelaksasi PSBB. Ditambah dengan adanya kebijakan naiknya iuran BPJS dan disahkannya UU Minerba di DPR. Berita ini menjadi perbincangan yang memantik kontroversi di kalangan masyarakat dan menghadirkan polemik baru. Menimbang kebijakan ekonomi perlu dilakukan meskipun kebingungan dan polemik masih tersebar di masyarakat.
Menimbang Kebijakan Ekonomi
Contoh saja, banyak masyarakat yang masih beraktivitas di luar rumah, melawan aparat dan banyaknya oramg yang menghadiri penutupan McD Sarinah, banyaknya kerumunan “pemudik” dibandara Soetta dan kejadian lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa masyarakat tidak menanggapi dengan baik dan bijak himbauan pemerintah dikala pandemi Covid-19.
Banyaknya masyarakat mengabaikan imbauan pemerintah pasti punya alasan. Salah satu alasannya, adanya perdebatan yang belum selesai dimeja pemerintahan, salah satunya tentang kesehatan dan ekonomi. Hingga mengakibatkan penetapan kebijakan yang kadang keliru untuk penanganan covid-19.
Imbas dari belum selesainya perdebatan di meja pemerintahan mengakibatkan masyarakat bingung. Ini kita bisa rasakan banyaknya perdebatan dimasyarakat, manakah yang prioritas: kesehatan atau ekonomi?
Umumnya, kesehatan diartikan sebagai meminumkan korban positif bahkan tingkat kematian. Tapi umumnya, jika kita mengartikan ekonomi, kebanyakan orang mengartikan ekonomi sebagai sesuatu yang sangat sempit, misalnya pendapatan, penghasilan dan pertumbuhan ekonomi (kalau dalam konteks ekonomi makro).
Salah besar kalau ekonomi hanya diartisempitkan sebagai hal-hal tersebut. Ilmu ekonomi membahas aspek yang “jutaan” kali lebih luas dari hanya pendapatan, GDP, atau pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Pemerintah
Bagi Smith, the role of government memiliki 3 cakupan. Pertama, pertahanan dan keamanan. Kedua, penyedia keadilan dan ketiga, public works: infrastruktur dan pendidikan. Dari sini kita mengetahui bahwa pemetintah mempunyai peran wajib untuk menyediakan keamanan, keadilan, dan public works pada setiap warganya.
Tapi situasi ini akan sulit jika tidak ada aktivitas (ke luar rumah) di negara itu. Salah satunya yang kita bisa rasakan saat ini, yaitu tidak adanya aktivitas ekonomi (nggak ada Covid-19 aja susah. Apalagi ada ya…).
Masyarakat semakin dibuat bingung dengan adanya pola komunikasi pemerintahan yang kacau, saling menyalahkan antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini bermula dengan adanya data yang tak terintegrasi, penyaluran bantuan yang tak sesuai janji, dan saling mengedepankan ego kepentingan sendiri.
Bagaimana tidak, setiap dua hari pemerintah harus mengklarifkasi terkait pernyataan/ kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri. Ini diibaratkan pemerintah memukul wajahnya setiap dua hari sekali, di mana wajahnya selalu dioles skincare termahal disetiap berangkat kerja (read: mungkin bertemu masyarakat), sungguh tragis.
Ditambah lagi, di saat situasi sulit DPR yang seharusnya menjadi watchdog bagi pemerintah, malah menambah kegemasan dan kerancuan di masyarakat dengan mengesahkan UU Minerba. Padahal di dalamnya masih banyak pasal-pasal yang tidak mencerminkan keadilan. Mungkin ini hanya faktor dari telatnya sahur para eksekutif dan legislatif kita.
Ekonomi
Ketika kita merujuk pengartian ekonomi, secara epistimologi yaitu “oikos” rumah tangga dan “nomos” aturan/manajemen. Menurut Paul A. Samuelson, ekonomi adalah cara-cara yang dilakukan oleh manusia dan kelompoknya (pemerintah) untuk memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas dalam memperoleh beberapa komoditi dan pendistribusian.
Singkatnya, ekonomi membahas terkait alokasi sumber daya yang sifatnya terbatas untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi, objective function ekonomi adalah kesejahteraan, bukan hanya GDP. Benar ketika kesejahteraan adalah fungsi dari pendapatan dan pertumbuhan ekonomi, tapi bukan satu-satunya.
Jika benar bahwa pendapatan dan pertumbuhan ekonomi adalah faktor utama kesejahteraan, itu sangatlah jelas bertentangaan dengan apa yang dijelaskan easterlin paradox :
Intinya, peningkatan kebahagiaan tidak seirama dengan peningkatan pendapatan (GNP) per kapita. Ketika pendapatan meningkat, kebahagiaan masyarakat tidak atau hanya sedikit mengalami kenaikan. Jadi benar, bahwa pendapatan adalah bukan faktor utama dan satu-satunya indikator kebahagiaan. Maka, menimbang kebijakan ekonomi perlu dilakukan secara cermat. Menimbang kebijakan ekonomi tidak terbatas pada uang.
Dalam pembahasan prioritas kebijakan, seharusnya yang didahulukan ialah faktor keselamatan manusia dalam mendapatkan pendapatan, bukan pendapatan dalam keselamatan manusia. Karena faktor ekonomi (pendapatan) akan mengikuti dari faktor keselamatan manusia dan mortalitas, atau nyawa manusia. Kehilangan nyawa manusia jelas akan mengurangi kebahagian dan mengurangi kesejahteraan.
Skenario Penanganan Pandemi
Salah satu profeesor UNPAD, Professor Arief Anshory Yusuf di dalam artikelnya memberikan 3 opsi untuk mewujudkan kesejahteraan di tengah Covid-19. Skenario tersebut setelah menimbang kebijakan ekonomi terhubung dengan penanganan pandemi covid-19 : a) intervensi minimal, b) intervensi kuat (suppresion, misal melalui PSBB [pembatasan sosial berskala besar] yang efektif) dan c) intervensi kuat dibarengi dengan stimulus fiskal.
Di awal, kita akan melihat dampak dari berbagai skenario yang disampaikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional untuk lebih memahami mekanisme dari dampak yang terjadi terhadap perekonomian. Pada tabel di bawah dampak terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek (2020) dan jangka panjang (2019-2030) :
Intinya, nampak bahwa dalam jangka sangat pendek, yaitu di tahun 2020, strategi minimal intervention hanya menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.9% persen poin. Jauh lebih kecil dibandingkan skenario supression (-4.2 persen poin) atau bahkan skenario supression dengan stimulus fiskal (-3.37 persen poin).
Di tahun 2020, skenario supression dengan stimulus mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 1.8% jauh lebih kecil dari baseline-nya yang sebesar 5.2%. Akan tetapi, nampak bahwa dalam jangka panjang, justru strategi supression lebih baik daripada minimal intervention.
Dalam skenario minimal intervention, setelah menimbang berbagai kebijakan ekonomi, pertumbuhan ekonomi 2019-2020 menjadi hanya sebesar 4.8%, lebih kecil dibandingkan pada skenario supression 5.1% dan skenario supression dengan stimulus fiskal (di tahun 2020) sebesar 5.2%.
Dari sini saja jelas, bahwa jika pun pertumbuhan ekonomi jangka panjang (bukan hanya pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 saja) yang menjadi benchmark untuk mencari skenario intervensi terbaik, maka strategi minimal intervention bukan strategi yang dapat diambil. Strategi supression dengan stimulus fiskal adalah strategi yang memberikan imbas pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam jangka panjang.
***
Niat baik pemerintah untuk tetap menjalankan roda perekonomian Negara memanglah baik, tapi terkadang niat baik tidak selamanya dijalankan dengan cara yang baik pula. Salah satunya dalam menimbang kebijakan ekonomi pemerintah. Dalam pandemi ini, semoga hasilnya tidak mengecewakan. Cukup hati saja yang ambyar, Negara jangan!
Editor: Nabhan