Tanpa disadari perasaan, suara hati kita, pikiran kita dalam memandang, memahami, dan menilai diri kita sendiri tercemar oleh lingkungan, pendapat, persepsi, paradigma orang terhadap kita. Padahal kita perlu menjadi manusia proaktif seperti yang diciptakan Tuhan. Namun, tidak ada salahnya juga jika pandangan orang lain terhadap kita itu berdasarkan realita atau prinsip yang tujuannya kritik membangun.
Tetapi sangat disayangkan jika hal itu berupa pengkondisian yang membuat kita cenderung membatasi diri dari potensi terbesar yang kita miliki. Kita tidak yakin dengan paradigma sendiri dalam memandang diri kita pribadi. Sehingga jatuhnya, kita sering mengambil opini orang-orang atau lingkungan tentang kita.
Mementingkan yang Diciptakan Tuhan
Paradigma orang lain ini cenderung sebagai proyeksi (pantulan) daripada kita ambil sebagai refleksi untuk instropeksi diri. Proyeksi salah tadi memantulkan bayangan kekhawatiran, kelemahan dari opini orang lain tentang kita, kita kurang bebas dalam merefleksikan secara akurat siapa diri kita sebenarnya.
Kesadaran adalah kondisi di mana kita sadar dan bisa mengenali diri sendiri dengan tepat, potensi apa yang kita miliki, karir yang cocok apa, kebutuhan kita apa saja, mana prioritas yang penting. Kita paham dengan keadaan diri sekarang dan kemana tujuan yang akan kita capai, lalu dengan cara yang kita harus pahami.
Pada kenyataannya memang benar kebanyakan dari kita sering ditentukan oleh pengkondisian dan kondisi orang lain. Mirisnya terkadang malah lebih mementingkan pandangan orang, daripada penilaian Tuhan.
Kita lebih banyak membuat peta yang berbeda dari diri kita sendiri, misalnya: seseorang sudah terbiasa sholat tahajud, suatu ketika teman menginap di kosnya. Lalu ia malu untuk melaksanakan sholat tahajud, ia takut niatnya tidak lurus lagi dan jatuhnya riya’ karena dilihat oleh temannya.
Hal semacam ini sepintas terlihat tawadhu’ karena alasanya menghindari riya’. Padahal ini salah, termasuk kedalam syirik kecil dikarenakan ibadahnya tergantung pada manusia bukan Allah semata, begitu menurut Fahrudin Fais.
Manusia Proaktif dan Reaktif
Jika ketergantungan pada pengkondisian ini diteruskan timbul perasaan bahwa kita hanyalah korban dari semua yang ada di luar kendali kita. Entah itu lingkungan yang kurang mendukung, pendapat orang lain, tugas kuliah yang membuat kurang bebas dalam mengeksplor hal-hal baru, perekonomian mahasiswa yang rata-rata minim, atau masalah pribadi lainnya. Berkutat pada hal-hal yang kita tidak bisa mengendalikan sangat membuang waktu kita.
Tentu saja ini sangat berlawanan dengan konsep efektivitas kita sebagai manusia yang mempunyai waktu yang terbatas, tapi kewajiban yang kita emban tidak tak terhingga. Belum lagi segala tantangan yang belum kita coba.
Inilah yang dijelaskan Stephen R. Covey, ada dua tipe manusia berdasarkan keputusannya yaitu proaktif dan reaktif. Proaktif itu sendiri bukan sekedar orang yang selalu mengambil inisiatif tapi dia yang mendahulukan nilai daripada perasaannya apalagi kondisi di luar kendali mereka, karena menurut Stephen perilaku kita adalah fungsi dari keputusan kita.
Begitupula yang dikatakan Mahatma Gandhi bahwa tidak ada seorang pun yang bisa merenggut harga diri kita, jika kita tidak memberikannya pada orang tersebut. Kitalah yang berkuasa atas segala sesuatu yang menimpa diri kita. Yang terpenting bukan sesuatu yang terjadi pada diri kita tapi bagaimana respon kita.
Sesuatu tidak akan menyakiti kita jika kita tidak mengiyakannya. Hinaan orang terhadap kita, bisa kita singkirkan dengan sikap bodoamat yang kita punya, tapi tetap kita bisa ambil dengan sisi baiknya untuk mengintropeksi diri jika memang itu benar. Ini lah yang berkaitan dengan responsibility (tanggung jawab). Responsibility ialah kemampuan memilih respon berdasarkan nilai.
Sedangkan orang reaktif menjadikan dirinya sebagai sasaran bagi kondisi di luar dirinya. Ia berkutat pada sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan sehingga ia memberi kekuasaan pada hal di luar dirinya untuk mengendalikannya.
Menjadi Manusia Proaktif
Sangat menyedihkan hidup dalam kondisi ini. Kita tidak bisa bebas mengungkapkan potensi, bakat, bahkan pendapat sekalipun. Karena pikirannya selalu terkekang dengan asumsinya sendiri. Orang reaktif akan merasa selalu diawasi orang ia tidak bebas mengekspresikan diri.
Sangat disayangkan bakat atau potensi yang mereka punya tertutup oleh tabir yang ia buat sendiri. Karena semua itu ia cenderung menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain. Memang menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa kita itu lebih mudah daripada menyalahkan diri sendiri. Dan kebanyakan manusia seperti itu, leher kita yang pegal saat bangun tidur saja kadang menyalahkan bantal, padahal yang salah posisi tidur kita.
Salah satu kisah favorit saya yang hal ini juga menggambarkan seseorang menjadi manusia proaktif di zaman dahulu, yaitu kisah Nabi Yusuf. Ia dibuang oleh saudaranya yang iri pada dia ke dalam sumur. Lalu dirinya ditemukan pedagang Mesir yang menjualnya sebagai budak dan sampailah ke Istana Raja Aziz.
Kalau dilihat dari lika-liku kehidupan Nabi Yusuf yang tidak mengenakan ini, ia bisa saja menyalahkan saudaranya, menyalahkan keadaan. Belum lagi karena ia ingin mempertahankan integritasnya dengan menolak Zulaikha tetapi malah ia dijebloskan ke dalam penjara selama 13 tahun tanpa keadilan. Sebenarnya cukup bagi Nabi Yusuf untuk bersikap reaktif.
Pelajaran dari Nabi Yusuf
Namun, Nabi Yusuf mengajarkan kita satu hal yaitu tetap berkutat pada lingkaran yang di mana ia bisa kendalikan. Meskipun menjadi budak ia belajar menjadi lebih ikhlas lagi. Meskipun dijebloskan ke dalam penjara ia tetap menerimanya dan tidak dendam dengan sang Raja bahkan ia menolong sang Raja yang sedang kebingungan atas mimpinya. Lalu tidak lama kemudian ia dibebaskan dari penjara dan menjadi orang yang berkuasa kedua di Mesir setelah Fir’aun.
Perbedaan yang membedakan orang proaktif dengan reaktif yaitu lingkaran dimana ia mengendalikan. Orang reaktif selalu berandai seandainya ia mempunyai apapun yang menjadi kebutuhannya ia akan merasa bahagia. Tetapi orang proaktif tidak memikirkan apapun di luar dirinya.
Jika keadaan tidak mendukungnya ini bukan alasan baginya untuk mundur. Tapi justru ini sebagai tantang baginya untuk menjadi manusia yang lebih baik, sabar, disiplin, dan sebagainya. Dengan kita memilih bersikap proaktif kita akan bebas mengendalikan, mengembangkan, dan mengarah ke tujuan kita sesungguhnya.
Kita lebih mengerti apa mimpi kita yang sebenarnya, bukan pantulan dari orang-orang sekeliling yang ambigu. Kita bisa sukses dengan sangat efektif melalui jalan ini.
Kita adalah hari ini, bukan kemaren dan juga besok. Waktu yang tepat untuk memulai ialah sekarang juga.
Salam perbaikan.
Editor: Nabhan