Oleh Dani Putra*
Idealnya, dalam perhelatan permusyawatan adalah diawali dengan melahirkan gagasan-gagasan. Gagasan-gagasan lahir dari para manusia tulus dengan mengoptimalkan akal dan fikiran. Akal dan pikirannya lahir berawal dari seberapa kuat asupan bergizi (norma agama, keluasan pengetahuan, dan pengalaman) yang telah dikonsumsinya. Hal ini bertujuan agar dalam permusyawaratan kaya gagasan dengan argumentasi yang kuat.
Musyawarah yang baik haruslah mengedepankan niatan tulus dan ikhlas dalam rangka membangun untuk kemajuan secara kolektif. Musyawarah yang baik harus mengedepankan ukhuwah yang didasarkan atas silaturahim yang erat dan otentik. Silaturahim secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang bermakna menyambung tali kasih sayang. Secara terminologi sederhana adalah saling mengasihi dan saling menyayangi. Tentu dalam konteks ini adalah mengasihi dan menyayangi berpondasikan dan beratapkan kebaikan.
Perrmusyawaratan dalam rangka menghadirkan pemimpin baru, strategi baru, program baru, dan evaluasi yang telah lalu, diperlukan aturan atau norma yang disepakati. Hal tersebut bertujuan agar permusyawarahan berjalan dengan tertib terstruktur, terintegrasi, dan tidak serampangan sehingga hasil dari permusyawaratan benar-benar dari proses dan jenjang yang telah disepakati.
Permusyawaratan Dalam Islam
Jika Nabi SAW adalah sosok yang multitalenta di semua bidang kehidupan, hal itu disebabkan karena ia sosok manusia yang tidak seperti kebanyakan. Mulai sosok sebagai sempurna seorang kepala keluarga, kepala negara, hakim, Mufti, dan sebagainya. Dirinya adalah wahyu yang berjalan sebagaimana dalil menyebutkan. Dirinya ma’shum karena sepenuhnya atas tuntutan dan bimbingan Allah. Sepeninggal beliau, kepemimpinan diamanahkan kepada Abu Bakar As-Sidiq. Seorang yang ditunjuk melalui isyarat Nabi SAW menjadi imam shalat.
Di masa Abu Bakar As-Sidiq kepemimpinannya lebih banyak dihadapkan dengan persoalan pemurtadan dan kemusyrikan. Para pembakang syariah Allah SWT, dan hal-hal yang bersifat teologis. Namun ada satu ijtihad yang cukup berjasa besar bagi umat Islam, yaitu inisiasi pengkodifikasian al-Qur’an menjadi satu mushaf. Walau ini merupakan ijtihad yang diinisiasi oleh Umar bin Khattab, tapi tetap saja hal ini terjadi di masa Abu Bakar. Memang tidak banyak pembaruan dalam bentuk dinamisasi di masa Abu Bakar. Pembaruannya lebih bersifat purifikasi tentang Islam.
Namun, pada masa Umar bin Khattab perluasan teritorial kekuasaan Islam semakin luas. Semakin luas dan semakin banyak yang dikuasai, maka semakin kompleks dan rumit permasalahan. Dibutuhkan ijtihad-ijtihad baru dalam kepemimpinan. Hal tersebut merupakan respon atas dinamika kehidupan sosial masyarakat.
Pada fase awal-awal kepemimpinannya beliau pernah mengatakan bahwa “pendapat satu orang layaknya sehelai benang yang mudah putus, pendapat dua orang layaknya 2 helai benang yang dirajut, pendapat 3 orang dan seterusnya akan semakin kuat.” Demikianlah Umar bin Khattab sebagai khalifah yang merasa dirinya tidak pantas disejajarkan kedudukannya dengan Khalifah sebelumnya. Bahkan, dirinya enggan disebut Khalifah. Akhirnya, dirinya oleh para sahabat dipanggil dengan Amirul Mukminin.
Lahirnya Produk Ijtihad
Secara tidak langsung, Umar bin Khattab seolah ingin menyatakan bahwa ijtihad secara kolektif atau bermusyawarah dengan berjama’ah itu mengurangi subjektivitas dari masing-masing individu. Dengan cara berjama’ah, maka akan mengurangi sisi-sisi manusia yang selalu serba terbatas dengan kemanusiaannya. Bahkan, di masa Umar bin Khattab inilah lahir kepemimpinan secara formatur dan mekanisme musyawarah kolektif kolegial.
Melalui ijtihad tersebut lalu lahirlah berbagai produk ijtihad sebagai turunannya dalam merespon dinamika perkembangan masyarakat Islam dan manusia umumnya saat itu. Mulai dari menunjuk para gubernur, adanya zakat bagi muslim dan jizyah bagi non muslim, pengawas pasar, dan sebagainya. Bahkan yang paling monumental adalah ijtihad penentuan kapan awal tahun dan penanggalan Hijriyah. Bagi siapapun gerakan Islam, norma dasar dalam Permusyawaratan adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Permusyawaratan Organisasi Islam
Organisasi Islam yang besar adalah organisasi yang memiliki berbagai mekanisme dan aturan dalam Permusyawaratan. Memiliki jenjang Permusyawaratan, Anggaran Dasar, Anggaran Dasar Rumah Tangga, Putusan, Khittah, Pedoman-pedoman, dan berbagai keputusan berjama’ah lainnya sebagai bentuk keteraturan organisasi tersebut. Karena hal-hal tersebut dilahirkan dalam rangka menghindarkan gerakan dari centang-perenang.
Manusia tanpa aturan akan banyak melahirkan pelanggaran dan kerusakan. Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi SAW melalui sunnahnya kepada kita yang berisi larangan-larangan, perintah-perintah, dan petunjuk-petunjuk untuk kesalamatan dunia akhirat. Bagi organisasi Islam, norma dasar dalam berbagai dokumen di atas haruslah bersumber dari Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunah Nabi SAW.
Prinsip-prinsip dasar dalam musyawarah seperti al-Musawah (keseteraan), al-‘Adalah (keadilan), al-Ukhuwah (persaudaraan), al-Ta’addudiyah (pluralitas), as-Silm (perdamaian), al-Masuliyah (pertanggung jawaban), dan Muhasabah (Otokritik). Prinsip-prinsip dasar ini haruslah ada dalam seluruh mekanisme permusyawaratan dalam organisasi Islam.
Jika dalam konteks melahirkan pemimpin baru, maka sosoknya adalah sosok yang lahir bukan karena kebetulan. Sosok tersebut haruslah lahir dari melalui seluruh mekanisme perkaderan yang ada dan disepakati. Hal tersebut sebagai antisipasi sosok pemimpin yang lahir prematur berakibat pada tidak memahami dengan utuh nilai dasar, etika, dan identitas organisasi. Selain itu, teknis memilih pemimpin juga harus mengedepankan kejujuran sebagai akhlak yang lahir atas norma keadilan. Jauh dari praktik atau siyasah penuh dengan kecurangan, siyasah dagang sapi, apalagi sampai jatuh kepada risywah (politik uang). Karena kepemimpinan adalah ditawarkan, bukan diperebutkan.
Jika dalam konteks evaluasi/muhasabah maka seluruhnya dipersiapkan dan disampaikan dengan baik agar pertanggung jawaban menjadi jelas. Hal tersebut dilakukan karena sangat erat kaitannya dengan orang banyak. Transparansi adalah mutlak dalam sebuah gerakan organisasi. Karena hal tersebut terkait dengan tingkat kepercayaan orang banyak. Hal ini berkaitan dengan norma pertanggung jawaban. Jangan sampai akhirnya semakin berat tanggung jawab di akhirat.
Egaliter Sebagai Ruh Musyawarah
Ukhuwah dikedepankan sebagai pondasi silaturahim. Ber-fastabiqul khairat mengadu gagasan dan ide terbaik. Bukan dengan saling menafikan dan menjatuhkan, baik di hadapan atau di belakang. Keberanian dalam dialog untuk mengasah argumentasi sebagai pemicu dan pemacu untuk mengisi kepala dan keimanan yang lebih intens. Praktik-praktik tuna moral akan mengakibatkan pembelahan dan rusaknya keguyuban atau ikatan berjama’ah dalam ukhuwah.
Egaliter dalam musyawarah menjadi bagian dari norma kesetaraan. Semua memiliki hak yang sama dalam musyawarah. Namun, tidak kalah pentingnya adalah semua memiliki kewajiban yang sama sebagai musyawirun. Memiliki hak dalam berpendapat, bersuara, dan memilih adalah mutlak. Tapi perlu dipahami bahwa segala pilihan harusnya mempertimbangkan kemaslahatan (utility). Bagi manusia beriman, kemaslahatan haruslah menghadirkan kemuliaan dunia dan akhirat. Maka bertanggung jawab atas pilihan dan memilih yang mau bertanggung jawab adalah mutlak.
Merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, bagi manusia beriman adalah keniscayaan. Beberapa hal di atas yang telah dijabarkan merupakan ijtihad sebagai etika dalam menggerakkan organisasi. Upaya sungguh-sungguh telah dilakukan oleh para pendahulu. Pikiran mereka melampaui zamannya agar organisasi terjaga sebagai alat dakwah dalam rangka memuliakan Islam, kaum muslimin, dan kemanusiaan. Maka menyelisihi norma dasar dan berbagai hal yang telah dilahirkan dari proses dialog dalam ijtihad adalah pengkhianatan terhadap keluhuran akal, budi, dan ijtihad para pendahulu.
Jangan sampai organisasi Islam sebagai alat dakwah hanya dijadikan alat kekuasaan dunia, kepentingan dunia, kepentingan kelompok, kepentingan pribadi, atau batu loncatan karir yang bersifat temporer bahkan penuh dengan fitnah dan tipuan. Apalagi hal tersebut dilakukan dengan sampai menjual integritas, marwah dan khittah organisasi. Seolah perilaku tersebut layaknya para penjaja cinta yang tuna adab dan moral. Bagaimana mungkin akan berperan dalam memecahkan persoalan negara dan bangsa, sementara di rumah sendiri berantakan dan penuh kotoran yang sulit dibersihkan karena memang sengaja dihadirkan.
Semoga Allah melindungi dan melimpahkan rahmat kepada gerakan Islam. Wallahu a’lam!
.
*) Ketua PDPM Kota Depok
.
Editor: Arif