Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas hal-hal lain di luar dirinya.
Namun orang juga mafhum, menjadi pribadi yang berdaulat itu tidaklah mudah. Dalam lisannya, seseorang bisa saja tegas ingin jadi pribadi yang berdaulat., tapi dalam laku keseharian belum tentu demikian. Sebab menjadi pribadi berdaulat penuh aral dan rintangan, khususnya jika keadaan diri belum cukup mendukung. Sebut saha belum matang secara finansial atau tidak terlalu komitmen pada prinsip hidup.
Selain itu, banyak pula orang yang lebih betah bermental “bawahan”. Tak apa hidupnya dalam kendali atau penuh intervensi orang, asal hidupnya sendiri aman dan nyaman. Lagi-lagi setiap pilihan melahirkan konsekuensi, kita tinggal memilih mana langkah yang mungkin dan lebih bermartabat untuk diambil.
Bagaimana dengan Orang yang Beriman?
Tapi bagaimana dengan orang yang beriman? Bolehkah ia hidup dengan “mental bawahan”? Jawabannya tegas: tidak. Orang yang beriman dituntut untuk selalu menjadi pribadi yang merdeka dan memiliki kedaulatan penuh atas dirinya. Tak ada kekuasaan yang boleh membuatnya takut selain “kekuasaan Allah”.
Dalam kalimat syahadat yang sering kita dengungkan, terdapat satu ikrar yang nyata. Kita bersaksi bahwa “tiada Tuhan selain Allah”. Ikrar itu harus dihayati secara serius dan progresif oleh orang-orang beriman. Sebab penghayatan yang dalam atas ikrar itu akan mengantar seseorang pada perubahan pandangan hidup yang radikal.
Dengan ikrar tersebut, seorang mukmin tidak akan mudah gentar terhadap cobaan yang datang menghantamnya. Kendati cobaan itu akan datang bertubi-tubi, iman atau kepercayaannnya terhadap Allah akan mendidiknya menjadi pribadi yang tegar dan tahan banting.
Kita tahu bahwa manusia sering kali dihadapkan pada godaan-godaan yang membahayakan dan menjurumuskan seseorang pada lembah kejahatan. Siapa yang tak kuasa menanggung dan menahan diri, akan dengan sangat mudah diseretnya.
Karena itu, penegasan dan peleburan iman dalam diri dan laku keseharian menjadi hal yang mesti dan niscaya, sebab cobaan dan godaan hidup amat beragam, dari yang paling kecil hingga paling besar. Semua itu sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing orang.
Al-Quran cukup tegas mewanti-wanti soal ini. Ia mengatakan:
“Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (sandan pangan). Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (2:155)
Dengan wanti-wanti tersebut, Allah ingin agar manusia mempersiapkan diri, bahwa jangan mengira hidup yang akan berjalan adalah hidup yang tenang, enteng dan tanpa rintangan. Semuanya pasti akan diuji, baik itu berupa kemiskinan dan ketakutan-ketakutan lainnya, tak terkecuali soal jabatan.
Jabatan dan Kisah Fir’aun
Kata kunci “jabatan” belakangan pembahasan yang cukup tren dan sangat mewarnai jagat maya kita. Apalagi dengan melihat laku para manusia yang sering kali lupa diri dan tidak kuasa mengendalikan libido kekuasaannya. Godaan kekuasaan cukup sukses membuat mereka lupa pada suara nurani dan cenderung menenggelamkannya.
Di sinilah titik urgensi iman. Ia perlu hadir dan memandu laku keseharian manusia. Dengan iman, kita berharap segala sikap tamak, lobak, dan culas bisa dikendalikan. Iman akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang bermartabat, sebab tak ada yang menguasai dirinya kecuali imannya kepada Tuhan.
Kita tentu tak ingin mengulang kisah-kisah kelam yang pernah mewarnai sejarah manusia. Sejarah pernah menampilkan sosok manusia seperti Fir’aun, penguasa yang zalim dan merasa super power. Saking super power-nya, ia sampai dengan berani mendeklarasikan diri sebagai Tuhan “ana rabbukumul a’la (akulah Tuhan kalian yang paling tinggi).
Apa yang membuat Fir’aun sedemikian percaya diri? Ia telah jatuh pada kepercayaan diri yang berbahaya. Ia telah lupa dengan kodratnya sebagai manusia. Fir’aun telah melampaui batas. Sosoknya telah dikuasai oleh sesuatu di luar dirinya: nafsu dan ambisi. Suara nuraninya telah diabaikan dan dibuang sejauh-jauhnya.
Namun perlu diketahui, sebagaimana disampaikan Amien Rais, ada hal lain yang juga cukup mendulang kepercayaan diri Fir’aun tersebut. Mereka adalah orang-orang di sekitarnya yang tela kehilangan iman. Dengan hilangnya iman itu, mereka jadi tak berani menyuarakan dan melayangkan kritik atas kesewenang-wenangan Fir’aun. Ketakutan telah menguasai diri. Mereka lebih memilih hidup yang aman dan tenang. Mereka tidak ingin dengan kritik yang mereka lemparkan akan membuat mereka kesusahan dan diteror berbagai macam ancaman.
Oleh karena itulah, dalam melewati badai kehidupan seseorang tidak boleh kehilangan dan harus senantiasa menjadikan iman sebagai panglima. Sebab hanya dengan itulah kita memandang seluruh masalah yang hadir sebagai sesuatu biasa dan kecil. Kita bersama Allah, dzat yang Maha Besar.