FeaturePerspektif

Menuju Indonesia Unggul: Optimalisasi Pendidikan Nonformal

3 Mins read

Oleh: Amirullah

 

HUT RI Ke-74 tahun 2019 ini mengambil tema ‘Menuju Indonesia Unggul’. Indonesia unggul atau Indonesia berkemajuan adalah mimpi dan tekad seluruh anak bangsa. Kemajuan suatu bangsa, sepakat atau tidak faktor pendidikan tetap menjadi yang determinan. Hal ini sangat  disadari oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Pak Jokowi menghendaki prioritas utama Indonesia ke depan adalah pembangunan sumber daya manusia. Demikian ungkap Pak Jokowi yang menginspirasi lahirnya slogan HUT RI tahun ini, ‘Menuju Indonesia Unggul’.

Setidaknya 74 tahun Indonesia merdeka, kita tentu bersyukur, upaya untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan terus dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, utamanya oleh pemerintah dan tak sedikit pula kontribusi dari organisasi sipil seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Wasliyah, Al-Irsyad, Nahdatul Wathan, pesantren-pesantren dari berbagai kelompok sipil.

Juga sekolah-sekolah Kristen-Protestan, Hindu, Budha semuanya saling memacu diri ikut mewujudkan amanat UUD khususnya alinea ke-4, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Spiritnya adalah “setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”. Demikian bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 kita.

Sekalipun usaha-usaha bersama terus dilakukan, bertepatan dengan HUT Indonesia yang ke-74 (2019) ini tantangan di sektor pendidikan, khususnya pendidikan nonformal ternyata tidak kurang besarnya, baik tantangan intern maupun ekstern. Tantangan yang bersifat intern tentu sangat terkait dengan pemerataan pendidikan di satu sisi dan peningkatan kualitas pendidikan di lain sisi.

Soal agenda pemerataan pendidikan, belum betul-betul selesai. Masih adanya anak-anak negeri yang putus sekolah, yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, dan lulus sekolah namun menganggur adalah problem bangsa, dan karenanya merupakan Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama.

Sementara secara ekstern gelombang perubahan dan perkembangan tekhnologi dan informasi demikian massifnya. Era yang sekarang dikenal sebagai Revolusi Industri 4.0 yang merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke-18 lalu, di satu sisi membuka lebar peluang-peluang, tetapi di lain hal adalah suatu tantangan.

Baca Juga  KH Abdullah Hasyim (1): Alasan Masuk Muhammadiyah

Apalagi bagi anak-anak yang putus sekolah, yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, atau lulus sekolah namun tidak memiliki keterampilan atau lamban beradaptasi dengan revolusi kemajuan yang ditandai dengan tekhnologi baru seperti; robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic), teknologi nano, bioteknologi, teknologi komputer kuantum, blockchain (seperti bitcoin), teknologi berbasis internet, dan printer 3D yang tentu masih sangat asing.

Jika dilihat dalam angka, anak-anak Indonesia yang putus sekolah masih relatif banyak. Berdasarkan data Kemendikbud tahun 2017/2018 menunjukkan bahwa pada tingkat SD, ada 32.127 anak yang putus sekolah. Pada tingkat SMP ada 51.190 orang, tingkat SMA ada 31.123 orang, dan pada tingkat SMK ada 73.388 orang putus sekolah. Kendati demikian angka putus sekolah di Indonesia mengalami penurunan beberapa tahun terakhir ini. Setidaknya sejak 2015 hingga 2018 grafisnya terlihat menurun.

Misal, putus sekolah tingkat SD yang tahun 2015/2016 berjumlah 68.066 orang, menurun menjadi 32.123 orang pada 2017/2018. Demikian pula pada tingkat SMA yang pada 2015/2016 berjumlah 40.454 orang, kemudian berkurang menjadi 31.123 orang pada 2017/2018.

Grafis penurunan tersebut menunjukkan ada upaya-upaya progressif dari berbagai elemen bangsa, utamanya pemerintah untuk memastikan pendidikan dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Sejauh ini (Sepanjang 2015-2018), setidaknya pemerintah telah menyalurkan anggaran sebesar Rp 35,7 triliun melalui Program Indonesia Pintar (PIP). Hal ini sangat positif, namun upaya untuk mencari jalan keluar dari kompleksitas masalah pendidikan adalah suatu agenda keharusan yang terus menerus dilakukan.

Disamping anak-anak yang putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya, problem lain adalah masih adanya anak-anak atau para pemuda yang lulus sekolah namun tidak memiliki keterampilan untuk diserap dunia kerja atau merintis dan menjalankan usaha sendiri. Pada konteks ini, di sinilah pentingnya saluran pendidikan nonformal dioptimalkan.

Baca Juga  Identitas Perempuan di Balik Konflik Ekologi

Selain memastikan anak-anak negeri mendapatkan haknya untuk ikut serta dalam pendidikan, hal terpenting juga adalah memastikan mereka untuk dapat memiliki keterampilan dan akses untuk bekerja atau membangun usaha sendiri. Menggigat pada tingkat SMK saja, masih tinggi pengangguran terbuka sekitar 8,63 persen dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya.

Lulus sekolah lalu menganggur adalah ibarat hantu yang menakutkan bagi peserta didik, termasuk lulusan perguruan tinggi. Sekalipun kita patut mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan pemerintah yang mampu meningkatkan jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Namun, agenda untuk mencari problem solving pengangguran pasca sekolah adalah hal yang harus terus dipikirkan dan diprioritaskan.

Untuk itu, peran pendidikan nonformal menjadi sangat penting. Kerjasama antara pemerintah dengan komunitas sipil, seperti Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), PKBM, dan organisasi-organisasi yang mendukung ke arah pengembangan keterampilan kerja dan berwirausaha yang terintegrasi dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang ada di masyarakat harus terus dioptimalkan.

Sejauh ini pelatihan dan kegiatan kursus yang berjalan di masyarakat baru sekitar 70 jenis kursus secara nasional. Padahal ada sekitar 224 jenis kursus dan pelatihan yang sesungguhnya bisa digarap dan dikembangkan.

Ke depan, pemerintah memang dituntut untuk terus memberikan perhatian penuh kepada pengembangan saluran pendidikan nonformal. Tetapi juga LKP yang dibantu pemerintah harus menjaga integritas dan kreatif mengembangkan dirinya. Sekitar 1.154 lembaga yang terakreditasi programnya sudah seharusnya tidak berorientasi semata-mata pada proyek untuk mendapatkan bantuan.

Tetapi sejatinya LKP yang ada betul-betul menjadi jembatan untuk meningkatkan keterampilan dan kualitas hidup bagi mereka yang putus sekolah, yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, dan lulus sekolah namun menganggur sehingga mereka diserap oleh dunia kerja atau dapat membuka usaha sendiri. Dengan demikian, ikhitiar terus-menerus ‘Menuju Indonesia Unggul’ optimis dapat terwujud dengan baik. Wallahu’alam

Baca Juga  Ternyata Ada 8 Madzhab Fiqih, 4 Diantaranya Jarang Diketahui!

 

*Staf Pengajar dan Kepala Devisi Integrasi Keilmuan dan Pengembangan Tradisi Pemikiran LPP AIK Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds