IBTimes.ID – Pada hari Selasa (22/9) Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta menyelenggarakan Webinar dan Pelatihan sekaligus. Pada pukul 13.00 WIB, mereka menyelenggarakan webinar dengan tema RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Kekosongan Hukum Nasional, dan Tanggapan Hukum Internasional.
Kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama dengan The Asia Foundation dan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) ini dihadiri oleh Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan Sri Wiyanti Eddyono, asisten Profesor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sri menjelaskan banyak hal tentang RUU PKS terutama dari perspektif hukum internasional. Sedangkan Yulianti banyak berbicara tentang hukum nasional.
Selanjutnya, pada pukul 19.30 WIB, PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta menggelar Pelatihan Penulisan dengan Perspektif Perempuan: Meluruskan Kesalahpahaman RUU PKS. Pelatihan ini bekerjasama dengan The Asia Foundation dan Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PK IMM) Ushuluddin Cabang Ciputat.
Pemateri dalam pelatihan ini adalah Erni Juliana Al Hasanah N, Dosen dan Tim PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan David Krisna Alka. Dalam pelatihan ini, Yulianti juga turut memberikan sambutan dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam pelatihan.
Erni sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa menulis adalah jalan perjuangan. Menurutnya, salah satu cara untuk bisa memperjuangkan keadilan gender adalah dengan cara menulis. Karena dengan menulis, teriakan seseorang dapat terdengar secara lebih keras.
Ia menceritakan pengalaman menulis yang baru saja ia lakukan sejak bulan April 2020, namun sudah mampu menerbitkan tulisan di berbagai media nasional. “Nulis itu nggak perlu banyak teori. Yang penting langsung aksi. Bisa nulis apa aja, kejadian di sekitar kita, dan lain-lain,” ujarnya ketika memberikan motivasi kepada peserta pelatihan.
“Di masa pandemi ini kita memiliki kesempatan yang sangat besar untuk menulis. Karena kita belajar dan bekerja dari rumah. Saya juga baru mulai menulis sejak pandemi ini. Selain itu, covid-19 juga memberikan kita banyak inspirasi untuk menulis. Tulisan-tulisan kita tentang covid-19 akan menjadi referensi bagi generasi yang akan datang,” lanjutnya.
Ia memberikan contoh tentang RUU PKS yang ditarik dari prolegnas, padahal angka kekerasan seksual meningkat di masa pandemi. Menurutnya hal-hal seperti ini akan menjadi pembelajaran bagi generasi yang akan datang sehingga harus ditulis.
Adapun David menceritakan pengalamannya yang secara tidak sadar ingin menjadi penulis sejak kecil karena ayahnya adalah seorang penyair dan penulis naskah teater. Ia meyakini bahwa setiap penulis memiliki latar belakang yang berbeda, dan latar belakangnya ingin menjadi penulis adalah karena ayahnya.
Di SMA, ia sudah bertemu dengan penyair-penyair besar seperti Ratna Sarumpaet, WS Rendra, Taufik Ismail, dan sastrawan-sastrawan besar yang lain. Ia juga menyarankan kepada peserta agar mengikuti kelas-kelas menulis yang tersebar di berbagai media baik secara daring maupun luring, yang berbayar maupun gratis.
David juga menceritakan perjalannya yang sejak SMA sudah menulis puisi dan tersebar di berbagai media. Setelah masuk ke kampus, dan bertemu dengan senior-senior yang menulis isu-isu sosial-keagamaan, maka ia pun belajar menulis isu sosial-keagamaan dan akhirnya sampai pada isu-isu politik.
“Ada satu kebanggaan ketika tulisan kita dimuat di media. Menulis itu berawal dari kegelisahan. Dari refleksi kita ketika bergaul dan berorganisasi. Itu yang membuat diri kita menjadi seorang penulis atau aktivis. Disini lingkungan sangat mempengaruhi,” ujarnya.
Reporter: Yusuf