Oleh: Dani Ismantoko
Di masa kecil, sebelum frasa post-truth dikenal, saya merasa bahwa lagu–lagu barat tidak bisa saya nikmati. Karena ada hegemoni dari berbagai pihak di luar diri saya yang berada di sekitar saya. Seperti atmosfer selera musik yang dibentuk media dan teman–teman yang menyukai lagu barat, akhirnya saya memaksakan diri untuk menyukai lagu–lagu barat.
Upaya tersebut bisa dikatakan cukup berhasil. Saat SMK saya keranjingan belajar lagu berbahasa Inggris, seiring dengan hobi bermain gitar yang saya tekuni. Saya pun memproklamasikan diri sebagai fans dari band asal Inggris, Muse.
Asumsi Subyektif
Dari proses itu, ada asumsi yang terbentuk di pikiran saya. Bahwa standar kualitas musik adalah musik barat. Itu pun harus berformat band dengan alat drum, gitar, bass dan dengan progresi chord, serta aransemen dan beat yang kekinian menurut saya pada saat itu. Kalau tidak begitu, saya menganggap bahwa sebuah lagu tidak keren. Bahkan saya anggap tidak berkualitas.
Itu asumsi subyektif saya. Bahkan saya masih merasakannya saat saya menuliskan tulisan ini. Saya sadar, bahwa itu, hanya terjadi pada diri saya dan tidak bisa dipaksakan kepada orang lain.
Kesadaran itu dimulai saat saya kembali ke kampung halaman sekira 5 tahun yang lalu. Sebelumnya saya merantau ke kota. Tinggal di rumah saudara. Masuk ke sebuah lingkaran yang ternyata selera musiknya sama dengan asumsi subyektif saya.
Kembali ke kampung halaman membuat saya keluar dari lingkaran pergaulan yang cukup lama saya ada di dalamnya. Belakangan ada kabar lingkaran itu bubar jalan. Orang–orangnya pergi sendiri–sendiri. Entah ke mana. Mungkin masuk ke lingkaran pergaulan yang baru.
Perbedaan Selera
Di kampung halaman, saya menemui sesuatu yang lain. Anak–anak mudanya, mereka menjadi pintu masuk untuk berbaur dengan masyarakat yang lebih luas, mempunyai selera musik yang berbeda dengan saya. Mereka keranjingan musik dangdut. Sebenarnya tidak serta merta karena perbedaan selera musik saja. Lebih jauh kecintaan mereka kepada musik dangdut memicu mereka untuk menikmati dangdut dengan bergoyang sambil menenggak alkohol jika ada pentas dangdut.
Saya merasa masyghul. Kok bisa seperti itu? Ada semacam rasa berontak dalam diri saya. Saya merasa musik dangdut memicu mereka untuk menikmati dengan bergoyang sambil menenggak alkohol jika ada pentas dangdut. Jika ada kegiatan yang menggunakan sound system sebagai salah satu fasilitasnya, saya selalu memutar playlist saya. Band–band barat, band pop atau rock dalam negeri. Yang pasti bukan dangdut. Hasilnya, alih – alih mereka suka, saya diminta mematikan dan menggantinya dengan lagu yang mereka sukai. Berkali–kali itu terjadi. Artinya, berkali–kali saya gagal.
Saya akui, di dalam proses itu saya merasa bahwa diri sayalah yang salah. Mana mungkin selera musik bisa diubah begitu saja. Memilih menyukai aliran musik tertentu adalah sebuah proses panjang bagi seseorang. Proses panjang itu tidak bisa berubah begitu saja. Lagi pula menikmati dangdut sambil menenggak alkohol dan bergoyang juga belum tentu disebabkan musik dangdutnya.
Saya pun mulai mengubah cara berpikir. Tak ingin berusaha mengubah apa–apa dalam diri mereka. Perihal selera musik, itu kedaulatan masing–masing individu. Berkaitan dengan menenggak alkohol biar mereka menimbangnya sendiri–sendiri. Toh mereka sudah dewasa. Mereka bisa menentukan mana yang baik dan buruk bagi mereka. Lagi pula, mereka sendiri yang akan menerima apapun rjsiko dari perbuatannya.
Tidak lantas saya menjauhi mereka. Kami bergaul biasa–biasa saja. Tak pernah saling menyakiti satu sama lain. Dan tentang perbedaan–perbedaan kultur yang saya anggap benar, atau mereka anggap benar itu urusan kedaulatan masing–masing.
Menyadari Post-truth dan Mengungkap Dajjal
Agaknya pengalaman ini tidak hanya dialami oleh saya. Begitu banyak orang yang memaksakan asumsi subyektifnya kepada pihak lain. Entah mengapa setelah internet, media daring, sosial media berkembang dengan begitu pesat orang semakin percaya diri menyampaikan asumsi subyektifnya kepada publik. Dan tidak sedikit yang punya pretensi untuk memaksakan asumsi subyektifnya kepada orang lain.
Hal – hal semacam itulah yang membuat kita sampai kepada sebuah zaman yang kita sebut sebagai post truth. Zaman pasca kebenaran. Tidak ada acuan kebenaran secara obyektif dan substantif. Orang, berbondong–bondong memasuki sebuah medan “pendapat saya lah yang paling benar”. Selanjutnya, jika pendapat itu viral, dibicarakan dan disukai oleh orang banyak, akan dijadikan patokan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Di satu sisi, bisa dikatakan hal tersebut adalah sebuah lompatan khususnya bagi negeri ini. Orang bebas bersuara, bebas menyampaikan pendapat. Karena sebelumnya (pada masa orba) tak pernah mendapat kemewahan seperti itu. Di sisi lain, medan tersebut dieksploitasi untuk melakukan framing–framing untuk tujuan terselubung. Bisa jadi framing-framing tersebut berakibat sangat buruk, tetapi kita tidak merasa mengalami dampaknya. Itu sangat terasa, walaupun orang seakan tidak bisa menjelaskannya, pada hal – hal yang berkaitan dengan pasar dan politik, modal dan kekuasaan, kekayaan dan jabatan. Manusia seakan ingin menjadi Sang Maha, Sang Adikuasa.
Pada wilayah itulah simbol–simbol yang muncul dari khasanah keagamaan (yang kini dianggap klise) seperti Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, Al–Mahdi, Al–Masih, Hari Akhir bisa diungkap di era post-truth. Mungkin kita bisa menyadari post-truth dan mengunggap dajjal. Mungkin saja.
*) Penulis, tinggal di Bantul.