Perspektif

Merawat Intelektualisme, Mengubur Narasi Hoax

4 Mins read

Pada sebuah kesempatan, tokoh senior pers Dahlan Iskan pernah mewejang, media cetak tidak akan pernah mati hanya karena kehadiran media daring (online). Syaratnya, media cetak harus terus berinovasi, mencari celah yang tidak terjangkau oleh media daring. Media cetak memang punya pesaing dalam diri media daring. Akan tetapi, media daring memiliki ”musuh” yang jauh lebih sengit: media sosial. Prediksi Dahlan Iskan itu menjadi alarm, terutama bagi media daring. Sebab, dari media sosial itulah segala rupa narasi hoax mencuat, lantas merajalela.

Semenjak tahun politik 2014, arus informasi berkembang liar di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Hal itu disebabkan polarisasi antara pendukung antara kubu satu dan kubu lainnya. Juga karena racun oposisi biner yang membuat massa terjebak pada pilihan, kalau tidak ”hitam” ya ”putih”. Celah itulah yang dimanfaatkan para pemroduksi narasi hoax. Asalkan berita atau informasi yang diterima sesuai dengan kehendak hati, bisa juga diimbuhi dengan preferensi politik tertentu, kabar yang belum jelas kesahihannya itu dengan gampang dikirim ulang (share).

Menurut KBBI, hoax (hoaks) dimaknai sebagai berita bohong, yaitu kabar yang belum terang kebenarannya. Hoax sejatinya bukan barang baru. Alquran jauh sebelumnya sudah memperingatkan kaum muslim untuk berhati-hati terhadap kabar palsu itu. Peringatan tersebut tertuang dalam Alquran surah Al Hujurat (49) ayat 6 yang artinya kurang lebih sebagai berikut: ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah secara teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dewan Pers memang memberikan rambu-rambu perihal ciri-ciri kabar palsu ini. Pertama, begitu disebar hoax bisa mengakibatkan kecemasan, permusuhan, dan kebencian dalam diri masyarakat. Kedua, ketidakjelasan sumber berita. Ketiga, isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu. Keempat, sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi. Meski demikian, ada ikhtiar lain yang bisa dilakukan untuk membendung arus penyebaran hoax. Apa itu? Merawat nalar kritis intelektualisme.

Baca Juga  Islam Hari Ini: Surplus Konflik, Minim Tradisi Intelektual

Di Indonesia terdapat sedikitnya lima pemikiran Islam kontemporer. Pertama,  fundamentalis, yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Kedua, tradisionalis (salaf), yaitu model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Ketiga, reformis, yakni model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Keempat, postradisionalis, yakni model pemikiran yang merusaha mendekonstruksi warisan Islam berdasarkan standar modern. Kelima, modernis, yakni model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik.

Selanjutnya, Islam mengenal dua dalil, yakni dalil naqli dan aqli. Dalil naqli bersumber dari Alquran, As Sunnah, dan ijma para ulama yang diambil dari intisari Alquran dan As Sunnah. Dalil aqli bersumber dari akal manusia. Dalil ini dijadikan penguat dalil naqli. Merawat nalar intelektulisme tentu sangat memerlukan dalil aqli. Manusia diberi akal sehat, salah satunya tujuannya, untuk membedakan yang haq dan batil, sesuatu yang baik dan buruk. Dalam upaya menangkal narasi hoax, misalnya, juga dibutuhkan sandaran aqli untuk memperkuat naqli. Gaya pemikiran reformis, postradisionalis, atau modernis sekalipun bisa diterapkan karena akal dipergunakan dengan baik. Sebab, salah satu hal yang menjadi penyebab orang mudah percaya hoax adalah kurangnya merawat intelektualisme. Demi merawat nalar intelektual itu, diperlukan upaya membaca dengan tekun dan baik. Membaca buku dan tulisan-tulisan berfaedah lainnya menjadi salah satu asupan gizi yang mesti rutin dilakukan.

Sebenarnya, upaya merawat intelektualisme di Indonesia sudah berjalan cukup baik. Apalagi dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru di Indonesia, utamanya di kalangan umat Islam, beserta tokoh-tokohnya. Beberapa komunitas, forum, lembaga, dan sebagainya juga dilahirkan untuk mewadahi itu. Agus Salim (1884-1954) dapat disebut sebagai bapak kaum intelektual muslim modern Indonesia. Menurut indonesianis asal Australia Greg Barton, ungkapan itu memang sesuai dengan tempatnya. Tokoh-tokoh intelektual muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Prawoto, Jusuf Wibisino, dan masih banyak yang lain adalah hasil bentukan yang sangat gemilang dari Salim, terutama lewat Jong Islamieten Bond yang didirikan pada 1925. Barulah kemudian muncul tokoh-tokoh intelektual Islam lainnya seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo, M. Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, Djohan Effendy, Syafi’i Maarif, Moeslim Abdurrahman, hingga generasi Amin Abdullah.

Baca Juga  Ali Syariati: Potret Muslim Revolusioner

Tokoh-tokoh intelektual muslim di atas kemudian mendirikan lembaga untuk mewadahi pemikirannya dan menelurkan kader penerus. Atau generasi peneruslah yang mendirikan lembaga menggunakan nama tokoh itu. Misalnya, Nurcholish Madjid Society, Syafi’i Maarif Institute, Amien Rais Scholarship (Budi Mulia Dua Foundation), dan Wahid Foundation. Lembaga-lembaga tersebut didirikan untuk menyiapkan generasi penerus dalam merawat tradisi intelektualisme sang tokoh. Di luar itu, sudah jamak ditemui forum intelektualisme Islam yang mencakup nasional maupun lokal. Misalnya, di kalangan Muhammadiyah terdapat kelompok Jaringan Intelektualisme Muda Muhammadiyah (JIMM) yang dihuni aktivis-aktivis muda Muhammadiyah. Kendati jaringan ini tidak memiliki afiliasi secara kelembagaan dengan persyarikatan selayaknya berbagai ortom-ortom.

Apakah gerakan intelektualisme bisa memerangi hoax? Sangat memungkinkan. Merawat nalar intelektual berarti senantiasa berpikir kritis terhadap suatu hal. Para pemikir ini harus diajari untuk ”adil sejak dalam pikiran”. Artinya, ada proses yang oleh George Herbert Mead disebut sebagai ”interaksi simbolik”. Teori ini dimunculkan sebagai respons atas teori behaviorisme. Teori behaviorisme menjelaskan bahwa respons lahir atas rangsangan yang diterima. Sementara itu, pada teori interaksi simbolik, stimulus tidak selalu sejalan dengan respons. Ada proses interaksi terlebih dahulu di dalam otak untuk kemudian memunculkan respons. Dalam interaksi simbolik, respons bisa muncul dan bisa tidak. Bergantung hasil interaksi di dalam otak manusia. Teori behaviorisme hanya cocok digunakan untuk hewan, sedangkan manusia sudah beralih memakai teori interaksi simbolik.

Hubungannya dengan hoax? Ya, dengan adanya interaksi di dalam otak manusia, informasi yang diterima tidak bisa langsung dipercaya begitu saja. Seperti itulah seyogianya otak manusia bekerja. Seperti itulah jika nalar intelektual didayagunakan dengan baik. Jika tidak digunakan dengan baik, akan percaya begitu saja dengan informasi yang diperoleh. Atau, bisa jadi sudah mencari referensi, tetapi kurang memadai, sehingga tetap saja memercayai hoax. Dengan demikian, berpikir kritis harus menjadi senjata umat manusia dalam rangka merawat tradisi literasi. Hoax adalah penyakit yang mesti dibumihanguskan. Sebab, di negara-negara Timur Tengah (ada yang menyebut Barat Tengah) sana, salah satu pemicu terjadinya perang besar-besaran adalah hoax.

Hoax, sekali lagi, bisa menjalar di mana-mana. Ada yang dilakukan ”by design”, ada pula yang terjadi karena awamnya masyarakat terhadap informasi. Hoax yang didesain muncul karena para pemroduksi ingin mencari keuntungan semata. Ada satu istilah yang sering disalahgunakan para pembuat hoax itu, yaitu clickbait. Modus ini digunakan untuk menarik pembaca. Mereka membuat judul yang provokatif, tapi sayangnya isinya tidak sesuai atau seringnya malah diarahkan ke iklan. Berikut ini contoh judul clickbait: ”6 Alasan Kenapa Kamu Tidak Boleh Lama Menjomblo, Alasan Nomor 3 Paling Mencengangkan!”. Kaum intelektual muslim patut memahami ”jebakan-jebakan” di media sosial seperti itu dalam upaya penangkalan hoax. Kalau para cendekia itu sendiri malah ikut terbawa arus, siapa lagi yang akan menghentikan? Hoax akan mati dengan sendirinya jika kaum intelektual semakin cerdas menggunakan akal sehatnya.

Baca Juga  Fenomena Garam Ruqyah: Hati-hati dengan Penjual Agama di Media Sosial

Media-media mainstream juga sudah menerbitkan rubrik untuk clearing house of information. Jawa Pos, misalnya, melahirkan rubrik berjudul Hoax atau Bukan. Detik.com punya rubrik Hoax or Not. Tentu banyak lagi media lain, baik daring maupun cetak, yang melahirkan rubrik-rubrik penangkal narasi hoax. Berjibun ikhtiar yang bisa dilakukan untuk menelusuri berita-berita apakah sungguh-sungguh terjadi atau tidak. Turut serta menyebarkan hoax berarti ikut menebar fitnah. Dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Jadi, sekarang terserah Anda, masih ingin mengirimkan ulang segala rupa narasi hoax itu atau membuangnya saja ke tempat sampah!

*) Penyelaras bahasa Jawa Pos, eks aktivis IMM Malang

Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds