Awal tahun 1970-an ditandai dengan babak pembaharuan Islam di tanah air Indonesia. Kemunculan intelektual publik seperti almarhum Cak Nur, Amin Rais, dan Buya Ahmad Syafii Maarif disebut sebagai “Periode Awal Kebangkitan Islam Indonesia” yang oleh Gus Dur menyebutnya sebagai “Tiga Pendekar dari Chicago.”
Menilik pemikiran Cak Nur, kita akan menemukan tiga tema besar yang menjadi konsentrasinya; “Keisalaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan”. Dan, jika ditilik cendekiawan muslim, guru bangsa yang pernah memimpin organisasi keagamaan Muhammadiyah (1999-2000 dan 2000-2005), kita akan diperhadapkan dengan tiga tema besar yang dikonsentrasikannya; “Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan”.
Ahmad Syafii Maarif yang diakrabi dengan sapaan “Buya” telah berpulang ke haribaan Sang Pengasih pada hari Jumat (27/05/2022). Kepulangannya telah banyak menyita perhatian publik, kebanjiran ucapan berbelasungkawa oleh keluarga, kolega, sahabat terdekatnya, tokoh bangsa, para intelektual, dan masyarakat akar rumput.
Beberapa stasiun televisi juga memberitakan kepulangan Buya ASM. Media cetak juga tidak absen untuk memberikan rasa “Turut Berdukacita”. Begitu banyak ucapan kedukaan berseliweran di media sosial (Twitter, Instagram, WhatsApp story, dan WhatsApp Group). Sebagian yang lain justru merasakan kebahagiaan atas kepulangan Buya ASM.
Kepulangan Buya ASM merupakan petaka dan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Dalam benak dan hati kita, pasti akan bertanya-tanya, “Mengapa Tuhan begitu cepat memanggil Buya ASM, disaat-saat bangsa Indonesia masih carut marut dan masih membutuhkannya?”. Al-Fatihah.
Saya mengenal Buya ASM sejak awal masuk kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar di tahun 2015, buku almarhum yang mulanya saya mengeja ialah “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”. Buku Buya ASM itu saya menyejajarkan dengan buku dari beberapa Cendekiawan Muslim Indonesia lainnya, seperti; “Islam Doktrin dan Peradaban” (Cak Nur), “Islam Kosmopolitan” (Gus Dur), “Islam Aktual” (Kang Jalal) dan “Islam Substansi” (Buya Azra).
***
Buya ASM merupakan tokoh yang begitu produktif dalam tradisi baca—tulis, negarawan yang par excellence, filsuf sekaligus sufi, figur yang selalu dekat dengan orang-orang lemah “mustadh’afin” dan beliau telah selesai dengan dirinya.
Kiprah awal yang dibangun dalam pemikiran nya ialah keislaman. Cita-cita Buya ASM mengenai Islam yang penuh ramah, bukan marah. Islam yang terbuka, bukan tertutup. Islam yang toleran, bukan keteledoran. Islam yang dinamis dengan perkembangan zaman, bukan Islam yang bernostalgia dengan masa lalu. Islam yang berorientasi cinta, bukan penuh kedengkian dan kebencian. Buya ASM juga seringkali menegaskan kepada kaum muslim untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai kita terbuka demi mewujudkan moral—etik dalam kehidupan.
Dalam kerangka dasar keindonesiaan, Buya ASM senantiasa melancarkan aliran nilai-nilai yang terkandung dalam “Pancasila” yang relevansi dengan demokrasi. Bagi Buya ASM, keberagaman, kemajemukan, latar belakang, suku, agama, ras, dan budaya merupakan “khazanah” terindah yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa Indonesia yang wajib dijaga, dirawat demi terciptanya masyarakat yang harmonis dalam payung “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam arti lain, Buya ASM mengemukakan “Berbeda dalam Persaudaraan dan Bersatu dalam Perbedaan.”
Poko pikiran Buya ASM berkaitan kemanusiaan juga menjadi hal yang terpenting untuk disosialisasikan, didialogkan dan diinternasionalisasikan yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan “human crime” (kejahatan kemanusiaan) masih begitu marak di mana-mana, pembunuhan, pemerkosaan terhadap perempuan, radikalisme atasnama agama, Intoleransi, terorisme, ujaran kebencian, klaim kebenaran masih saja menyita perhatian kita. Seolah-olah kita telah mewarisi tabiat Qabil.
Sekiranya sikap dan gerakan yang demikian dibiarkan, maka akan ada pertumpahan darah di mana-mana. Karenanya, Buya ASM menegaskan untuk kita untuk menjadi sosok “Manusia Petarung” untuk dapat menepis, menangkal, dan melawan kejahatan dalam bentuk apa pun. Dengan demikian, kita akan mendapatkan kedamaian dan kenyamanan kapan pun dan di mana pun.
***
Saya memang orang yang kurang beruntung karena belum pernah bertemu dengan almarhum Buya ASM. Tetapi di sisi lain, saya bersyukur dan beruntung dengan keberadaan MAARIF Institute. Karena dengan adanya lembaga MAARIF Institute, saya bisa mengikuti SKK-ASM Angkatan ke-IV di Surakarta, Minggu-Kamis, 13-17 November 2022.
Setelah mengikuti SKK-ASM yang program unggulan MAARIF Institute, saya telah banyak belajar dari para pemateri, mentor dan sahabat-sahabat dari berbagai latar belakang agama, budaya dan wilayah masing-masing. Sehingga, saya terdorong untuk lebih mengenal pemikiran almarhum Buya ASM dengan nilai dasar yang egaliter, tidak diskriminatif, lebih toleran lagi inklusif.
Editor: Yahya FR