Opini

Merawat Warisan Cinta: Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul dan Aktualisasi Keteladanan Waliyullah

5 Mins read

Setiap kali bulan Rajab tiba, arah rindu jutaan manusia seakan memiliki satu tujuan yang sama: Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. Pada puncak haul ke-21 Abah Guru Sekumpul, lautan manusia kembali bergerak, menyatu dalam zikir, selawat, dan doa. Bukan sekadar keramaian, bukan pula sekadar tradisi tahunan, melainkan peristiwa spiritual yang hidup dan terus tumbuh dari tahun ke tahun

Jutaan jamaah datang tanpa undangan resmi, tanpa protokol kaku, dan tanpa kepentingan duniawi. Mereka hadir karena satu alasan yang sama yaitu cinta. Cinta kepada seorang ulama yang sepanjang hidupnya mengajarkan kelembutan, kesederhanaan, dan ketulusan dalam beragama. Sekumpul pun berubah menjadi ruang sosial-keagamaan yang unik, tempat rindu menemukan rumahnya, dan iman menemukan keteduhan.

Fenomena haul Abah Guru Sekumpul tidak hanya mencerminkan kuatnya ikatan umat dengan ulama, tetapi juga menunjukkan bahwa dakwah yang berangkat dari akhlak dan kasih sayang akan selalu memiliki tempat di hati masyarakat. Di tengah dunia yang semakin bising oleh konflik, Sekumpul justru menghadirkan keheningan yang menenangkan.

Pelaksanaan Haul Akbar K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Abah Guru Sekumpul) ke-21 mencapai puncaknya pada hari ini, Minggu, 28 Desember 2025. Sejak pagi hingga sore, kawasan Sekumpul, Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, telah dipadati jutaan jemaah dari berbagai penjuru Nusantara bahkan mancanegara yang datang membawa rindu dan doa.

Haul yang berpusat di Musala Ar-Raudhah Sekumpul ini menjadi agenda keagamaan tahunan terbesar di Kalimantan Selatan dan selalu berlangsung dengan khidmat. Bagi jemaah yang hadir langsung maupun mengikuti secara daring, memahami urutan acara menjadi penting agar dapat mengikuti rangkaian ibadah dengan tertib dan penuh kekhusyukan.

Berdasarkan tradisi tahunan, rangkaian acara puncak haul dimulai sejak sore hari. Kegiatan diawali dengan salat magrib berjemaah, yang menjadi titik kumpul utama para jemaah di area inti Musala Ar-Raudhah dan sekitarnya. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan selawat dan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW, dipimpin oleh rombongan maulid resmi Musala Ar-Raudhah. Lantunan zikir dan selawat yang menggema menciptakan suasana religius yang mendalam.

Baca Juga  Sejarah Singkat Puasa Ramadhan dalam Islam

Memasuki acara inti, dilakukan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pembacaan manaqib atau riwayat singkat kehidupan Abah Guru Sekumpul. Prosesi ini menjadi momentum refleksi untuk meneladani akhlak, keilmuan, dan ketawadhuan beliau semasa hidup.

Rangkaian haul kemudian ditutup dengan pembacaan tahlil dan doa haul bersama, sebelum dilanjutkan dengan Salat Isya berjemaah. Untuk mengantisipasi kepadatan, panitia menyediakan layar lebar di sejumlah titik strategis serta siaran langsung melalui kanal YouTube resmi.

Panitia mengimbau jemaah untuk menjaga ketertiban, kebersihan, serta mengikuti arahan relawan demi kenyamanan bersama. Semoga keberkahan Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul senantiasa mengalir bagi seluruh umat.

Profil Abah Guru Sekumpul: Ulama Kharismatik dari Kalimantan Selatan

Abah Guru Sekumpul merupakan salah satu ulama besar dan paling berpengaruh yang pernah dimiliki Kalimantan Selatan. Nama lengkap beliau KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari, lahir pada 11 Februari 1942 di Desa Tunggul Irang Seberang, Martapura. Beliau wafat pada 10 Agustus 2005, namun jejak dakwah, ilmu, dan keteladanannya terus hidup di tengah masyarakat hingga hari ini.

Sejak kecil, Abah Guru Sekumpul tumbuh dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Abdul Ghani, bekerja sebagai tukang gosok intan dengan penghasilan yang terbatas. Kondisi ekonomi keluarga jauh dari kata berkecukupan. Bahkan pernah suatu masa, satu bungkus nasi harus dibagi menjadi empat porsi dengan lauk sederhana berupa sayur gedebok pisang. Mereka tinggal di rumah tua tanpa kamar, dengan atap yang bocor. Kehidupan keras inilah yang membentuk karakter Abah menjadi pribadi yang tangguh, sabar, dan rendah hati.

Nama kecil beliau adalah Qusyairi. Setelah beranjak dewasa, beliau meminta agar namanya diganti menjadi Muhammad Zaini, nama yang kelak dikenal luas oleh umat Islam di berbagai daerah. Sejak usia dini, kecerdasan dan kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu telah terlihat jelas. Pada usia tujuh tahun, Abah Guru Sekumpul telah hafal Al-Qur’an. Dua tahun kemudian, beliau berhasil menghafal kitab Tafsir Jalalain, karya monumental Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.

Pendidikan agama Abah Guru Sekumpul dimulai dari keluarga, kemudian dilanjutkan di Madrasah Kampung Keraton yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Tuan Guru Muhammad Semman. Pada usia sembilan tahun, beliau menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, salah satu pusat pendidikan Islam terkemuka di Kalimantan Selatan. Selama sekitar dua belas tahun, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu keislaman dan berguru kepada ulama-ulama besar pada masanya.

Baca Juga  Menjadi Muslim Tanpa Menjadi Arab

Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, Abah Guru Sekumpul terus memperluas cakrawala keilmuannya dengan berguru kepada para ulama di berbagai daerah Kalimantan serta merantau ke Pulau Jawa. Semangat menuntut ilmu yang tak pernah padam inilah yang menjadi fondasi kuat dakwah beliau kelak.

Dalam perjalanan dakwahnya, Abah Guru Sekumpul dikenal aktif mengajarkan kitab-kitab kuning, maulid, zikir, dan selawat. Selain berdakwah secara lisan, beliau juga menulis sejumlah karya penting yang hingga kini menjadi rujukan umat, di antaranya Risalatun Nuraniyyah fi Syarhi Tawassulat as-Sammaniyah, Al-Imdad fi Auradi Ahlil Widad, Ar-Risalah fi Auradil Mufidah, serta beberapa kitab manaqib ulama besar.

Profil Abah Guru Sekumpul adalah potret ulama yang memadukan kedalaman ilmu, kesederhanaan hidup, dan ketulusan dakwah. Dari Sekumpul, beliau mengajarkan bahwa ilmu yang disampaikan dengan akhlak dan cinta akan terus hidup, melampaui zaman dan generasi.

Keteladanan Abah Guru Sekumpul

Salah satu kekuatan utama dakwah Abah Guru Sekumpul terletak pada akhlak. Beliau tidak berdakwah dengan suara keras atau kata-kata yang menghakimi. Dakwahnya mengalir pelan, lembut, dan menenangkan. Abah tidak membentak, tidak mencela, apalagi merendahkan. Beliau mengajak dengan cinta, menuntun dengan keteladanan.

Pesan-pesan beliau sederhana, namun mengakar kuat: mencintai sesama, merendahkan hati, memperbanyak selawat, dan menjaga adab dalam beragama. Di majelisnya, siapa pun diterima—tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Inilah wajah Islam rahmatan lil ‘alamin yang nyata dan hidup.

Keteladanan Abah Guru Sekumpul juga terlihat dalam konsistensinya berdakwah. Bahkan ketika sakit menjelang wafat, beliau tetap menyapa umat melalui rekaman video. Cinta kepada umat tidak pernah padam, meski tubuh melemah. Dari sinilah lahir ikatan batin yang begitu kuat antara Abah dan jamaahnya, ikatan yang terus hidup hingga hari ini.

Baca Juga  Burung-Burung Manyar: Kisah Nasionalisme Orang-orang yang Gagal

Selain dakwah lisan, Abah Guru Sekumpul juga mewariskan karya-karya keilmuan berupa kitab, di antaranya Risalatun Nuraniyyah, Al-Imdad fi Auradi Ahlil Widad, dan beberapa manaqib ulama besar. Karya-karya tersebut menjadi bukti bahwa dakwah Abah berpijak pada ilmu yang kokoh dan sanad keilmuan yang jelas, ciri khas tradisi ulama Ahlussunnah wal Jamaah.

Reaktualisasi Nilai Abah Guru Sekumpul di Era Zaman Now

Di tengah tantangan zaman modern yang ditandai oleh polarisasi sosial, krisis keteladanan, dan maraknya dakwah instan di media sosial, nilai-nilai Abah Guru Sekumpul justru semakin relevan. Keteladanan beliau mengajarkan bahwa dakwah bukan soal viral atau popularitas, melainkan soal ketulusan dan akhlak.

Pertama, nilai kelembutan dalam berdakwah perlu terus dihidupkan. Di era digital, perbedaan pendapat sering berujung pada ujaran kebencian. Abah Guru Sekumpul memberi teladan bahwa kebenaran tidak perlu disampaikan dengan amarah. Lembut bukan berarti lemah, tetapi justru menunjukkan kedalaman iman.

Kedua, nilai ukhuwah dan keterbukaan sosial yang tampak dalam tradisi haul Sekumpul perlu direaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Rumah-rumah yang terbuka, makanan yang dibagikan tanpa pamrih, dan kebersamaan tanpa sekat adalah pelajaran sosial yang sangat berharga di tengah budaya individualistik saat ini.

Ketiga, nilai kesederhanaan dan keikhlasan Abah Guru Sekumpul menjadi kritik halus terhadap gaya hidup beragama yang sering terjebak pada simbol dan pencitraan. Abah mengajarkan bahwa kemuliaan seorang hamba tidak diukur dari penampilan, tetapi dari kebersihan hati dan manfaat bagi sesama.

Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul bukan hanya peringatan wafat seorang ulama, melainkan momentum refleksi kolektif umat. Sekumpul mengajarkan bahwa cinta, jika dirawat dengan ikhlas, akan melahirkan peradaban kecil yang meneduhkan.

Selama nilai-nilai Abah Guru Sekumpul terus dihidupkan—dalam dakwah yang santun, dalam akhlak yang rendah hati, dan dalam cinta kepada sesama—maka Sekumpul tidak akan pernah sepi. Ia akan terus menjadi magnet cinta, tempat rindu menemukan arah pulangnya, dan umat menemukan teladan hidup beragama yang damai dan membebaskan. Lantas sudahkah kita meneladani sosok Abah Sekumpul dalam kehidupan sehari-hari? 

Helmi Abu Bakar El-Langkawi
6 posts

About author
Dosen UNISAI Samalanga, Alumni MUDI Mesjid Raya Samalanga, Pengurus PW Ansor Aceh dan Mantan Ketua PC Ansor Pidie Jaya
Articles
Related posts
Opini

Haul ke-16 Gus Dur: Jalan Sunyi "Muhammadiyah Cabang Tebuireng"

3 Mins read
Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember…
Opini

Riset: Bukan Generasi Stoberi, Gen Z adalah Agen Perubahan

6 Mins read
Menjelang tahun 2026, IDN Research Institute mengeluarkan hasil penelitian bertajuk Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026. Dalam laporan tersebut, generasi Milenial…
Opini

Generasi Penanam vs Generasi Penebang

3 Mins read
Dalam sejarah kekuasaan Islam klasik, ada satu kisah sederhana yang hingga hari ini tetap relevan, bahkan terasa semakin mendesak untuk meneguhkan kembali…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *