Di awal kemerdekaan Indonesia, umat Islam memiliki wadah perjuangan yang satu, yakni masyumi. Partai ini menjadi satu-satunya wadah politik umat. Representasi suara isu keumatan pun jadi jelas letak corongnya. Namun tak lama dari itu, terjadilah perpecahan dengan berdirinya partai NU. Apapun yang menjadi landasannya, hal ini perlu untuk disayangkan dan harus jadi evaluasi bagi siapapun yang memperjuangkan isu keumatan pada jalur politik.
Ketidakpuasan dan kekecewaan memang bukan hal yang mudah untuk dikelola. Butuh figur pemimpin yang kuat untuk dapat menampung dinamika ini. Namun kadang ketidaksabaran menjadi boomerang sehingga gegabah mengambil keputusan. Hal ini tercermin dari munculnya gerakan pemberontakan DI/TII dan permesta. Alih-alih ingin menerapkan syariah secara kaffah, justru menyeret induk persatuan umat dalam kehancuran yakni bubarnya masyumi.
Inilah yang kemudian menjadi jalan bagi kebatilan untuk melanggeng yakni kita mengenal dalam sejarah bahwa PKI semakin menguat. Alhamdulillah, ada momen di mana akhirnya komunisme tercerabut sampai dengan akar-akarnya. Andaikan kala itu tidak terjadi kegagalan dalam G30S, entah apa jadinya negeri kita saat ini. Melihat saudara Uyghur saja, kita tak banyak bisa membantu, apalagi kalau ideologi komunis itu juga hidup mengontrol negara kita.
Pada masa Orde Baru, kita memang pernah terwadahi secara politik dalam PPP. Seakan dengan wadah yang satu-satunya ini kita tampak kuat. Namun pada hakikatnya PPP, kala itu hanyalah pelengkap status saja. Buktinya ketika terjadi pembantaian terhadap umat Islam, tidak ada desakan signifikan dari jalur politik.
Partai dan Umat Islam yang Sulit Bersatu
Hari ini kita telah menikmati masa reformasi. Semua orang ingin menyampaikan sikapnya masing-masing. PPP sebagai satu-satunya wadah perjuangan umat di zaman orba, terbukti sebatas formalitas. Terbukti pada berdirinya banyak partai berideologi Islam. Bukan hanya tidak bersatu dalam satu wadah, bahkan yang disayangkan beberapa partai Islam kadang justru bersebrangan dari aspirasi umat. Mendukung non-muslim padahal ada calon dari muslim yang berkapasitas.
Entah apa yang ada dalam pikiran para elit kita hari ini. Cita-cita bersatunya kembali umat Islam semakin memudar. Para tokoh muslim nasional tidak mampu untuk duduk bersama ketika menghadapi perbedaan pendapat di antara mereka. Konflik yang berujung pada perpecahan baru tidak bisa terhindarkan. Bisa jadi karena elit politik kita tidak sedang memperjuangkan umat tapi mereka perjuangkan eksistensi diri mereka.
Banyaknya partai berideologi Islam, termasuk yang baru berdiri atau baru direncanakanakan berdiri, dapat kita amati justru terjebak dalam pragmatisme sekadar menghidupkan partai. Ini terlihat pada gerakan mengekor kepada partai ideologi nasional. RUU HIP misalnya, hampir semua partai Islam menandatangani draftnya. Padahal gerakan akar rumput jelas menolak.
Isu keumatan ini tidak hanya persoalan dalam negeri saja. Negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ini, harusnya juga mampu berperan aktif pada isu muslim dunia. Isu terpanas hari ini tentang Perang Libya, normalisasi UEA-Israel, dan lainnya, memperlihatkan dengan gamblang absennya suara Indonesia meski wapres kita adalah seorang kiai.
Umat Islam Harus Melek Politik
Umat Islam yang jumlahnya banyak ini hanya dijadikan lumbung suara. Isu-isu keagamaan dibentuk sebatas barang dagangan. Tidak menyentuh pada tataran hakikat masalah untuk mencari solusi. Berbeda sekali dengan perjuangan Masyumi dahulu yakni menagih janji Soekarno untuk dikembalikannya piagam Jakarta secara utuh pada pembukaan UUD 1945.
Kita lihat hari ini bisa sendiri semisal partai A bermusuhan dengan partai B di tingkat nasional tapi berkoalisi di tingkat daerah. Tentu di daerah mereka akan jualan isu yang berbeda dengan yang di tingkat nasional. Fenomena seperti ini jangan sebatas dipahami sebagai kewajaran dalam realitas politik. Bisa jadi partai-partai yang mengaku berideologi muslim itu hanyalah kemasan yang menyesuaikan pasar. Seperti kita tahu ada fenomena barang-barang berlabel halal padahal bukan konsumsi perut yang tidak perlu dipertanyakan kehalalannya.
Saya pribadi tidak berharap besar pada elit kita hari ini yang terkesan tidak mampu duduk bersama dalam kerja-kerja keumatan. Sehingga tidak bisa juga menyalahkan mereka yang akhirnya membentuk partai baru. Namun kita masih bisa untuk mempersiapkan generasi ke depan agar memiliki kesadaran politik untuk memperjuangkan isu keumatan.
Melek politik adalah keharusan bagi umat Islam. Dalam arena perpolitikan memang banyak hal-hal yang tidak sesuai nurani kita. Tapi kalau kita membiarkan politik diisi oleh orang-orang yang hanya mengejar dunia maka kekuasaan akan digunakan untuk kezaliman bagi umat. Akan berbeda ketika para pemimpin kita adalah orang-orang yang hanif. Ibarat bersatunya ‘ulama dan umaro’, maka kita bisa melihat sosok Umar bin Abdul Aziz yang keadilannya terasa di seluruh pelosok negeri.
Belajar Menjaga Amanah
Belajar dari semua kisah perpecahan wadah politik umat, sepertinya perlu bagi generasi muda untuk lebih dikenalkan pada tanggung jawab amanah. Amanah adalah sarana untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya sehingga perlu orang yang kuat agar mampu lindungi yang lemah.
Amanah adalah beban akhirat yang akan dihisab sehingga janganlah diperebutkan. Dan dalam kerja keumatan ini tidak dipandang oleh Allah tentang apa posisinya, namun seberapa besar amalan itu dipersembahkan sebagai nilai ibadah.
Dengan dipahaminya konsep amanah ini, diharapkan semangat politik yang diusahakan tumbuh pada generasi muda Islam adalah semangat untuk menghidupkan nilai Islam. Mereka nantinya dapat mengambil peran apapun di masa depan. Dan persatuan itu akan terwujud dengan sendirinya atas dasar kesamaan pandangan memenuhi amanah.