Kalender adalah panduan sistemik struktural perihal penanggalan hari. Juga buah sarana khusus bagi siapa pun dalam merancang posisi program kerja individual. Untuk itu, hal penting di tahun 2022, tentu jauh di atas rata-rata jika kalender hijriah menjadi penanggalan yang ditentukan berdasarkan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, hingga detik ini polemik antar metodologi yang direduksi untuk membentuk bulan qamariah justru tidak terselesaikan sedemikian rupa. Bahkan menjadi madzhab yang mandarah daging dan menimbulkan perbedaan-perbedaan yang kemudian membangun sekte masing-masing.
Menolak Lupa, Kasus Menetukan Bulan Ramadhan
Dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan misalnya, di satu sisi menerapkan metode Rukyah (melihat bulan), dan di lain sisi menerapkan metode Hisab (perhitungan matematika). Kedua metodologi ini, tentu mempunyai ciri khas tersendiri yang sebagian besar tak perlu disingkirkan eksistensinya.
Disebut dengan Rukyah, adalah melihat hilal secara fisik “ru’yah bi al-fi’li” yang didasarkan karena Rasulullah dan para sahabat dengan sendirinya selalu melihat hilal. Sehingga unsur mendasar dalam memahami kata Rukyah dalam hadits adalah “shumu liru’yatihi wa althiru liru’yatihi”.
Pada metode tersebut, bulan baru dapat dilihat jika sudah tiga atau lima derajat di atas horizon. Tapi dari kesepakatan negara yang tergabung dalam MABIN (Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam) menetapkan dua derajat sebagai batas minimal validitas penelitian.
Sementara itu, metode Hisab malah menafsirkan Rukyah dengan “ru’yah bi al-ilmi” (melihat dengan ilmu). Metode ini didukung perhitungan astronomi yang dapat memperoleh pemahaman tentang posisi keberadaan bulan di saat tanggal tertentu. Tentu posisi bulan dapat diketahui dari berbagai belahan dunia.
Metode Hisab disandarkan pada QS. Yunus [10] ayat 5. Menurutnya, bahwa ayat ini menjelaskan supaya umat Islam andil dalam mempelajari adanya peredaran matahari sekaligus bulan sebagai perhitungan waktu sekaligus tahun “li ta’lamu adada as-sinina wa al-hisab”.
Antara Metode Rukyah dan Hisab
Meskipun satu di antara metode Rukyah dan Hisab merupakan sebuah perspektif yang berbeda, hal yang perlu digariskan tentu metode tersebut seperti dua mata uang. Yang secara implisit tidak serta merta dilepaskan begitu saja, juga tidak dapat saling menafikan ataupun dinafikan.
Hisab bukanlah metode yang eksistensinya muncul begitu saja. Benar tidaknya Hisab bagaimana pun harus diuji berdasarkan Rukyah. Demikian pula metode Rukyah, sungguh terbilang sia-sia jika pelaksanaan Rukyah tak pernah sekelumit pun menyentuh sistem perhitungan.
Untuk itu, kombinasi Hisab dan Rukyah merupakan sistemik harmonisasi yang digunakan sebagai penentu kalender Hijriah. Walaupun, dalam arti luasnya, Hisab sebagai metode perhitungan yang diambil dari penalaran empirik, sementara Rukyah sebagai pengamatan yang didasarkan pada data.
Fase Penentuan Kalender Hijriah
Menentukan di awal bulan, ditandai oleh munculnya sebuah penampakan bulan sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi). Fase ini, bulan terbenam sesaat sebagaimana yang dialami sesudah terbenamnya matahari sehingga posisi hilal berada di ufuk barat.
Manakala hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, jumlah hari di bulan tersebut dikonseptualkan menjadi 30 hari. Dalam kalender Hijriah, tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari dan di mana yang memiliki 30 hari. Seluruhnya digantungkan berdasarkan penampakan hilal.
Tentunya dapat digarisi, kalender Hijriah juga dihitung berdasarkan rotasi bulan yang bersikukuh dengan rotasi matahari. Sehingga menimbulkan semua hari besar Islam terjadi pada musim-musim yang berbeda. Serta hari besar Islam tidak akan terjadi persis dengan musim kejadiannya.
Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa disadari ataupun tidak, yang jelas dalam menentukan kalender Hijriah sangat dibutuhkan metode Rukyah sekaligus Hisab. Sehingga hal terpenting di tahun 2022 ini, dapat terealisasikan dengan baik sesuai ilmu pengetahuan sebagai penanggalan kalender Islam.
Editor: Faiq