Falsafah

Mitologi Pandora dan Pendidikan ala Ivan Illich

3 Mins read

Kurang lebih sekitar abad ke 20, dunia pendidikan dikoyak-koyak oleh seorang pemikir ulung yang memiliki latar belakang pendidikan teologi, bahkan menjadi imam Gereja Katolik di Roma. Meskipun dengan latarbelakang yang demikian, tidak menciutkannya sebagai seorang kritikus pendidikan yang mengkritik model pendidikan di berbagai lembaga pendidikan sekolah.

Ivan Illich

Ia seorang pemikir cerdas kelahiran Wina, tahun 1926, yang bernama Ivan Illich. Salah satu karya pemikiran cerdasnya yakni buku yang berjudul Deschooling Society. Sebuah buku yang memaksa setiap manusia untuk memikirkan ulang model pendidikan yang selama ini dilakoni oleh lembaga pendidikan sekolah.

Di salah satu pembahasan dalam bukunya Deschooling Society, terdapat sebuah analogi Illich yang diambilnya dari kisah mitologi Yunani, yang menurutnya merepresentasikan dunia pendidikan hari ini. Mitologi tersebut tentang kisah Pandora.

Kisah Pandora

Oke, izinkan saya untuk sejenak memberikan dongeng mengenai kisah Pandora ini, sebuah mitologi dari Yunani. Jadi, Pandora merupakan sosok makhluk anggun, cantik, dan begitu menawan, yang diciptakan oleh Hefestus yakni seorang dewa pandai besi, atas perintah Zeus. Penciptaan Pandora sendiri merupakan bentuk siasat yang dibuat oleh Zeus untuk melakukan pembalasan kepada Promotheus atas tingkahnya yang telah menipu Zeus.

Zeus berniat menghancurkan manusia melalui Pandora dengan cara memberikan Pandora kepada Epimetheus. Epimetheus sendiri merupakan saudara dari Promotheus yang tinggal di bumi membaur dengan manusia. Kedua dewa bersaudara ini sangat dekat dengan manusia. Oleh karena itu, Zeus memberikan Pandora kepada Epimetheus.

Epimetheus terpikat oleh kecantikan dan keanggunan dari Pandora. Sedangkan Promotheus telah memperingatkan Epimetheus untuk tidak menerima pemberian Zeus tersebut. Namun, Epimetheus tidak mengindahkan peringatan Promotheus, sehingga Epimetheus justru menikahi Pandora.

Baca Juga  Yang Mempengaruhi Marx (2): Feuerbach dan Alienasi Agama

Epimetheus sendiri memiliki tugas untuk menjaga sebuah kendi (phytos) yang disegel dengan baik oleh Promotheus. Kendi tersebut berisi kejahatan, kekejiaan, dan keonaran yang dimiliki manusia. Tentu saja, bagi Epimetheus dan Promotheus tidak ingin kendi tersebut terbuka dan isi dari kendi tersebut terlepas merasuki dan menghancurkan manusia.

Namun, realitas berbicara lain. Kedua dewa tersebut malah mendapatkan petaka. Pada suatu hari, ketika Epimetheus sedang tidak ada, Pandora si istri Epimetheus ini diam-diam berkeinginan untuk membuka kendi tersebut.

***

Saking penasarannya, Pandora pun membuka kendi tersebut. Akhirnya terbukalah kendi tersebut, dan keluarlah berbagai makhluk yang sangat seram mewakili berbagai kejahatan, kebencian, penyakit dan hal-hal keji lainnya. Semua isi dalam kendi tersebut keluar merasuki manusia, kecuali satu makhluk. Makhluk tersebut yakni harapan (hope).

Pandora dengan rasa takut melihat berbagai makhluk seram yang keluar dari kendi tersebut, akhirnya dengan terburu-buru menutup kendi bersamaan dengan makhluk harapan yang terkunci di dalamnya dan tidak sempat keluar.

Promotheus yang mengetahui berbagai “kekejian” yang lepas dan berada pada manusia lantas berusaha memperbaiki kekacauan tersebut. Melalui berbagai taktik terstruktur dan terencana yang sesuai dengan ekspektasi, maka Promotheus berusaha untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi.

Namun, usaha Promotheus tersebut dirasa sia-sia. Kekacauan tetap terjadi di mana-mana dalam kehidupan manusia. Kekacauan tersebut hanya mampu diperbaiki melalui satu makhluk yang terkurung dalam kendi, yang dijaga Epimetheus. Makhluk tersebut yakni hope alias harapan.

Realitas Pendidikan Menurut Ivan Illich

Melalui kisah mitologi Yunani tersebut, Illich berusaha melihat realitas pendidikan yang selama ini terjadi. Terutama pada lembaga pendidikan sekolah. Dewa Epimetheus dianggap sebagai sosok yang bodoh karena tertipu oleh Zeus untuk menikahi Pandora yang justru membawa petaka. Sedangkan saudaranya, Promotheus merupakan sosok yang diangggap pintar. Selalu memiliki pikiran terencana, terstruktur untuk mengatasi segala masalah.

Baca Juga  Keadilan Sosial Islam: Konstruksi Pemikiran Cak Nur

Epimetheus sebagai representasi dari pengalaman, pengetahuan yang didapatkan dengan cara mengalami langsung. Sedangkan Promotheus sebagai representasi dari perencanaan, terstruktur, ibarat lembaga Pendidikan saat ini.

Epimetheus sebagai sosok yang memegang harapan, yang merupakan sebuah kunci dari segala kekacauan, sedangkan Promotheus mewakili ekspektasi yang akhirnya utopis dan sia-sia karena berekspektasi terlalu melangit.

Saat ini manusia kehilangan sosok Epimetheus yang memegang harapan. Manusia saat ini kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri, yang sebagai kunci atas berbagai problem. Pendidikan yang dimaksud Illich adalah pendidikan yang bersumber dari realitas, pengalaman, yang secara natural tumbuh dari masyarakat.

Model pendidikan semacam ini yang telah dinafikan. Meskipun sosok Epimetheus merupakan dewa yang bodoh, tapi dia adalah sosok yang belajar dari pengalaman. Ia belajar dari pengalaman yang terhasut oleh Zeus dan memperbaiki kerusakan yang terjadi melalui makhluk harapan dalam kendinya.

Sedangkan manusia saat ini lebih cenderung menjadi sosok Promotheus yang ambisius akan ekspektasi. Manusia percaya bahwa melalui pendidikan yang terlembaga, terencana, dan terkontrol maka akan mencapai ekspektasi yang cukup tinggi.

Pendidikan hari ini dilembagakan sedimikian rupa melalui kurikulum, standar penilaian, standar kelulusan, pembelajaran ruang kelas dan lain sebagainya yang telah diatur oleh birokrasi secara terstruktur. Padahal ekspektasi yang terencana tersebut tidak menjamin apa-apa, tanpa adanya pengalaman secara langsung dari para pelajar sebagai media belajarnya.

Illich di sini membedakan antara harapan (hope) dan ekspektasi (expectation). Harapan sebagai sebuah kebaikan dari alam yang natural sesuai dengan realitas yang ada. Sedangkan ekspektasi sebagai bentuk kepercayaan akan sebuah hasil yang sangat tinggi dari perencanaan manusia.

Oleh karena itu petuah Illich untuk dunia pendidikan yakni, “buatlah Pendidikan yang penuh harapan realistis, bukan Pendidikan yang penuh ekspektasi utopis.” Ivan Illich pun mengusulkan pada semua manusia agar selalu memiliki harapan yang penuh atas kehidupan. Inilah yang disebut Ivan Illich sebagai manusia-manusia ala Epimetheus.

Editor: Yahya FR

Mohammad Maulana Iqbal
5 posts

About author
Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Airlangga
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds