IBTimes.ID – Perbedaan paham menjadi sebuah keniscayaan. Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Masjid Agung Mataram, Kotagede, Yogyakarta, menampilkan perspektif baru dalam memandang toleransi beragama dan menemukan model baru toleransi.
Penelitian tersebut ilakukan oleh M. Syamsuddin, Kurniatul Jannah (Fakultas Ilmu Sosial), Novia Indriani (Fakultas Bahasa Seni), Aditia Pramudia, dan M. Insan Fathin (FMIPA).
Benni Setiawan, dosen pembimbing dalam penelitian ini mengemukakan bahwa temuan dalam penelitian ini mendorong masyarakat hidup damai dalam bingkai kemanusiaan. Penelitian ini melibatkan abdi dalem Keraton Yogyakarta, takmir masjid, warga Muhammadiyah, dan masyarakat Islam Kejawen di lingkungan Masjid Agung Mataram sebagai narasumber.
Penelitian Riset Humaniora didanai oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Dirjen Belmawa). Ia berangkat dari kegelisahan bahwa selama ini agama dan kebudayaan kerap dipandang melahirkan sebuah pergesekan. Penelitian yang membawa mahasiswa peneliti menuju Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-34 di Universitas Sumatera Utara ini, menemukan, bahwa keduanya bisa menciptakan nilai positif untuk mencegah disintegrasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
“Temuan pada penelitian ini sesuai dengan konsep-konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang dianut oleh kedua entitas yang sama-sama lahir dari Keraton Yogyakarta. Muhammadiyah dan Islam Kejawen menyatu dalam ruh Yogyakarta yang toleran dan damai,” terang M. Syamsuddin, ketua peneliti.
Hal itu terbukti ketika Muhammadiyah dan Islam Kejawen dapat bersama-sama melaksanakan kegiatan pada perayaan Satu Suro di lingkungan Masjid Agung Mataram. Perayaan ini dilaksanakan dalam rangka Tahun Baru Jawa. Biasanya masyarakat Jawa yang berpaham Islam Kejawen melakukan sejumlah ritual dan tradisi.
Nilai toleransi yang terbangun dalam ritual itu terbangun saat Muhammadiyah di Kotagede terlibat sebagai penghulu ritual-ritual Islam Kejawen dan acara Tahlilan. Praktik ini mengubur anggapan bahwa Muhammadiyah anti terhadap ritual dan tahlilan.
Praktik di atas bukan berarti Muhammadiyah melestarikan atau membenarkan hal-hal yang bersifat syirik, bid’ah, tahayul, dan khurafat. Akan tetapi inilah cara Muhammadiyah memahami dan menyikapi dengan pendekatan dakwah, kedewasaan, dan kemodernan Persyarikatan dalam memandang budaya.
“Ini model hubungan toleransi aktif yang ditemukan dalam penelitian ini,” tutur Kurniatul Jannah. Model toleransi mensyaratkan keterlibatan seseorang walau ada perbedaan pemahaman namun tetap memiliki tujuan guna menjaga keharmonisan. Saat semua mampu bersikap toleran secara aktif, maka disintegrasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara dapat dicegah. “Toleransi tanpa stigma negatif menjadi kekuatan riset ini,” tambah Aditia.
Reporter: Yusuf