Intermestik adalah pendekatan kontemporer dalam kajian hubungan internasional. Pendekatan ini berkembang di era globalisasi yang seakan menghilangkan batas-batas wilayah domestik dan dunia internasional. Hal ini bisa terjadi karena perkembangan pesat teknologi yang menyebabkan teritori domestik mudah ditembus.
Tidak ketinggalan dengan ide, gagasan, dan wacana yang menyebabkan munculnya jejaring dan proses belajar secara lintas batas. Salah satunya adalah yang terkait dengan moderasi beragama yang semakin berkembang. Isu ini tidak hanya berkembang di Indonesia, melainkan juga di dunia internasional.
Definisi Moderasi
Moderasi beragama menjadi salah satu diskursus sekaligus praktik yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat majemuk. Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (baca: pertengahan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.
Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Dari sekian banyak pengertian moderasi, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem.
Jadi, moderasi beragama dapat dimaknai sebagai sikap tengah-tengah dalam menjalankan praktik keagamaan. Artinya tidak ekstrem ke kanan dan juga tidak ekstrem ke kiri. Moderasi beragama ini berlaku untuk seluruh agama, namun karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, jadi seringnya dikaitkan dengan istilah Islam Moderat.
Moderasi Agama dalam Pendekatan Intermestik
Dalam pendekatan intermestik, terdapat tiga aktor yang dapat dikaji dalam sebuah isu yang dibahas. Ketiga aktor tersebut adalah aktor domestik, aktor internasional, dan aktor transnasional. Yang ketiganya bisa jadi saling memengaruhi satu sama lain terkait sebuah isu tersebut.
Aktor domestik adalah semua aktor yang berada di dalam teritori negara dan secara spesifik dapat digolongkan menjadi aktor negara (baca: pemerintah) dan aktor non negara (baca: masyarakat).
Dalam isu moderasi beragama, aktor domestik bisa diidentifikasi dengan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Agama, juga dengan organisasi masyarakat kegamaan.
Aktor internasional adalah seluruh aktor yang berada di luar teritori negara, seperti organisasi internasional dan pemerintah atau masyarakat negara lain.
Dalam isu moderasi beragama, aktor internasional dapat diidentifikasi misalnya Organisasi Konferensi Islam (OKI), Liga Arab, Federasi Konferensi Waligereja Asia, Takhta Suci Vatikan, dan sebagainya.
Aktor transnasional adalah aktor-aktor non negara yang bisa berinteraksi ataupun berjejaring secara lintas batas negara.
Dalam isu moderasi beragama, aktor transnasional dapat diidentifikasi misalnya organisasi keagamaan yang memiliki jejaring dan pengaruh internasional, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan dipakainya kajian intermestik, maka hal ini akan dapat memudahkan dalam membedah setiiap detail interaksi transnasional yang terjadi dalam perkembangan isu moderasi beragama. Pun juga dengan dinamika yang teerjadi dalam proses perumusan kebijakan untuk mendukung moderasi beragama.
Moderasi beragama haruslah dapat dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan.
Dengan begitu, moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Oleh karenanya, dapat penulis katakan bahwa moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan melainkan keharusan demi menjaga peradaban yang damai dan harmoni.
Tantangan dalam Kemajemukan
Namun sayang, pada kenyatannya di dalam setiap kemajemukan selalu ada tantangan dalam bentuk pandangan dan tindakan yang intoleran dan ekstrem. Yang semuanya tidak jarang disebabkan latar belakang pemahaman keagamaan akibat persinggungan dengan dunia luar. Bisa jadi persinggungan tersebut menyebabkan perubahan ideologi ataupun paradigma.
Pada akhirnya, banyak kajian dan penelitian yang menyimpulkan bahwa terorisme adalah puncak dari pengamalan ajaran agama dengan ekstrem, terlepas dari apapun agamanya.
Meskipun tidak semua sikap seperti itu bertransformasi menjadi radikal dan teroris, namun jika sikap tersebut tidak tertangani dengan tepat, maka ia akan selalu dalam posisi rentan untuk meningkat dan bertambah ekstrem.
Kemudahan akses internet yang tidak memiliki aturan baku dewasa ini, mengakibatkan siapa saja daÂpat menuliskan informasi apa pun dan menjadi komsumsi secara luas, terutama oleg generasi Y dan Z.
Tentunya hal ini menjadi ladang yang potensial untuk berkembangnya paham-paham intoleran dan radikal. Maka dari itu, konsep moderasi beragama sebagai counter-nya harus juga digalakkan melalui kerjasama yang luas.
Akibatnya terjadi pendangkalan sumber pengetahuan agama di era disrupsi sekarang ini, ada yang terlalu tekstual dalam memahami ayat-ayat suci disertai fanatisme berlebihan.
Ada yang kebablasan dalam menafsirkan isi kitab suci sampai tidak bisa membedakan antara ayat Tuhan dan yang bukan. Ada pula yang mempermainkan pesan-pesan Tuhan menjadi pesan pribadi yang sarat kepenÂtingan.
Persoalan lainnya adalah mentalitas bangsa yang belum sepenuhnya terbangun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila di tengah ancaman perubahan situasi geopolitik global.
Belum lagi jika ditambah dengaan meluasnya peran kekuatan pertahanan serta pengaruh politik negara asing. Yang kesemua faktor eksternal ini sudah dapat dipastikan dalam perkembangan isu intoleransi dan moderasi.
Dalam rangka menciptakan masyarakat yang moderat dalam beragama, aktor domestik terutama negara perlu hadir memfasilitasi terciptanya ruang publik untuk menciptakan interaksi umat beragama.
***
Jangan sampai negara justru melahirkan kebijakan sentimen dan diskriminatif. Aktor domestik, internasional, dan transnasional yang terkait dengan isu moderasi beragama harus dapat bergandeng dalam bingkai persamaan cita-cita.
Misalnya saja dengan dengan penyelenggaraan dialog antar-iman, konferensi, ataupun seminar dengan semangat moderasi beragama. Tentunya aktor-aktor seperti Kementerian Agama, Muhammadiyah, dan OKI sangat potensial untuk mewujudkan hal tersebut.
Sebagai contoh yang terbaru, The World Muslim Communities Council (al-Majlis al-‘Alami li al-Mujtama’at al-Muslimah) menyelenggarakan Konferensi Internasional di Uni Emirat Arab pada Mei 2022.
Turut menjadi pembicara sebagai perwakilan Indonesia adalah Yaqut Cholil Qouman, Menteri Agama Indonesia yang menyebutkan bahwa moderasi beragama adalah solusi atas masalah yang timbul dari paham ekstemisme dan terorisme.
Selain itu, Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (HLNKI-MUI) juga pernah menyelenggarakan forum dialog ulama internasional. Forum ini bertujuan untuk membahas Konsep dan Implementasi moderasi beragama yang tepat dalam konteks Indonesia dan Global di abad 21.
Hal ini membuktikan bahwa di antara ketiga aktor memiliki peran dan pengaruhnya masing-masing. Yang tidak jarang pengaruh tersebut benar-benar memengaruhi aktor lainnya dalam bersikap maupun mengambil kebijakan. Jadi bukan hanya dunia internasional yang bisa memengaruhi Indonesia dalam aspek apapun. Kini saatnya lah aktor domestik dan transnasional Indonesia yang memengaruhi dunia internasional, khususnya dalam masalah moderasi beragama.
Nuun Walqolami Wamaa Yasthuruun
Editor: Yahya FR
*Penulis Merupakan Mahasiswa Semester 6 Prodi Hukum Keluarga Islam (FAI) Lintas Prodi Hubungan Internasional (FISIP) UMM.